Suasana politik setelah Pilkada, memang menyajikan euporia, bagi yang menang dengan melihat  hitung cepat, senyuman dan rasa syukur, dan sedikit pesta-pesta mulai tampak. Pesta  akhbar Pilkada sudah berjalan dengan lancar. Statemen para pemenang bertaburan dimana-mana, mulai dari ucapan terima kasih ke  KPU dan pemilih, kemudian keluar pernyataan,  siap melanjutkan visi ,misi  dan menepati janji kampanye. Sang rakyat tentu  menanti penuh harap. Tak sedikit, di media sosial, janji-janji mau membangun ini itu, uangnya dari mana? Siapapun menang, realisiasi janji-janji sulit diwujudkan.Â
 Di Bali, yang saya lihat  termasuk damai, yang kalah sudah legowo, dan yang menang juga tidak over acting, semua berjlana  mulus.
Untuk Bali, Pasangan Wayan Koster -- I Nyoman Giri Prasta memeroleh sebanyak  1.414.284 suara (61,49 persen) dan Pasangan Made Muliawan Arya -- Putu Agus Suradnyana memeroleh sebanyak 886.053 suara (38,51 persen), dengan selisih sebanyak 528.231 suara (22,98 persen).
Pilkada sukses, namun masih menyisakan catatan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengakui bahwa tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 lebih rendah dibandingkan dengan Pilpres dan Pileg 2024. August Mellaz, anggota KPU RI, memperkirakan partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 akan berada di bawah 70 persen. Menurutnya, hal ini merupakan suatu pola yang umum, mengingat Pilkada biasanya memiliki tingkat partisipasi yang lebih rendah dibandingkan dengan Pemilu tingkat nasional (https://kupang.tribunnews.com/2024/11/29)
Atas kejadian ini ada 3 pernytaan menarik diungkpkan,  yakni, pertama  bahwa apakah benar Ketika pemilih memiliki penilaian yang campur aduk terhadap partai-partai yang membentuk pemerintahan koalisi, mereka mengalami apa yang dimaksud suatu kondisi seperti termuat dalam Singh, S. P., & Thornton, J. R. (2016). Strange bedfellows: Coalition makeup and perceptions of democratic performance among electoral winners. Electoral Studies, 42, 114-125. Sebagai bentuk  "ambivalensi koalisi". komposisi partisan dalam koalisi pemerintahan memengaruhi persepsi terhadap kinerja demokrasi di kalangan mereka yang memilih partai pemerintah. Â
Kedua, apakah  terjadi hal baru?  karena seiring dengan meningkatnya penyebaran ideologis di antara mitra koalisi, pemilih merasakan ambivalensi yang lebih besar terhadap pemerintah.
Apakah Ambivalensi yang meningkat dikaitkan dengan penurunan dukungan terhadap demokrasi dan proses-prosesnya, perlu danalisis  lebih lanjut.
Lalu apa sesungguhnya Ambivalensi koalisi?, Ambivalensi Koalisi  merujuk pada keadaan atau situasi di mana terdapat ketegangan, ketidakpastian, atau ambiguitas dalam hubungan antara partai-partai atau kelompok-kelompok yang tergabung dalam suatu koalisi. Dalam konteks politik, koalisi terbentuk ketika berbagai partai atau kelompok dengan ideologi yang berbeda bergabung untuk mencapai tujuan bersama, seperti memenangkan pemilu atau membentuk pemerintahan.
Namun, dalam koalisi tersebut sering kali terdapat ambivalensi, yaitu perasaan atau sikap yang campur aduk, antara bekerja sama demi kepentingan bersama atau mempertahankan kepentingan masing-masing.
 Ambivalensi ini bisa muncul karena perbedaan tujuan, strategi, atau cara pandang antara anggota-anggota koalisi. Sebagai contoh: