Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengenal Lebih Jauh Cognitive Science

10 November 2024   05:44 Diperbarui: 10 November 2024   06:56 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilmu kognitif  atau Cognitive science  mulai banyak dibicarakan setelah Prof. Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendikti Saintek), dilantik oleh Presiden Prabowo.

Stella Christie (lahir 11 Januari 1979) adalah seorang akademisi dan ilmuwan kognitif asal Medan, Sumatera Utara, Indonesia, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Ia menyelesaikan gelar sarjana di Harvard University dan meraih gelar Ph.D. di bidang psikologi kognitif dari Northwestern University. Selain itu, ia juga merupakan profesor di Tsinghua University, Beijing, China, di mana ia menjabat sebagai Research Chair di Tsinghua Laboratory of Brain and Intelligence dan Direktur di Child Cognition Center. Stella juga merupakan anggota Dewan Pengurus Cognitive Science Society dan berperan aktif sebagai penasihat di bidang sains dan pendidikan untuk Pemerintah Indonesia.

Prof. Stella, yang memiliki keahlian di bidang ilmu kognitif, muncul dalam perbincangan. Publik.Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu kognitif, dan apa saja yang dipelajari dalam disiplin ini?

Ilmu Kognitif  merupakan cabang ilmu yang bersifat interdisipliner, yang mempelajari pikiran dan berbagai proses mentalnya. Ilmu ini mengkaji sifat, fungsi, dan tugas kognisi secara umum. Fakultas-fakultas mental yang menjadi perhatian para ilmuwan kognitif meliputi bahasa, persepsi, memori, perhatian, penalaran, dan emosi. Untuk memahami berbagai aspek ini, para ilmuwan kognitif mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai bidang, seperti linguistik, psikologi, kecerdasan buatan, filsafat, neurosains, dan antropologi. Penelitian dalam ilmu kognitif biasanya mencakup berbagai tingkat organisasi, mulai dari proses belajar dan pengambilan keputusan hingga logika dan perencanaan; dari sirkuit saraf hingga organisasi modular otak. Salah satu gagasan dasar dalam ilmu kognitif adalah bahwa "proses berpikir dapat lebih dipahami melalui struktur representasi dalam pikiran dan prosedur komputasional yang bekerja pada struktur-struktur tersebut."

Pencarian  trends cognitive science dalam laman google schoolar, menunjukkan jumlah  penelitian yang sangat besar yakni sekitar  5.100.000  hasil. Bidang ini sangat diminati dn terus berkembang pesat.

Ilmu kognitif menghadapi masalah representativitas, di mana sebagian besar penelitian dilakukan pada populasi yang terpelajar dan terindustrialisasi. Sebuah tinjauan terhadap 10 tahun penelitian lintas budaya menunjukkan kemajuan dalam mengatasi masalah ini, tetapi penelitian masih terbagi secara bimodal antara penduduk kota terpelajar dan populasi kecil di pedesaan. Sepanjang dekade ini, telah terjadi kemajuan dalam pemahaman kognisi individu (misalnya persepsi, penalaran), kognisi interpersonal (teori pikiran, kepribadian), dan kognisi sosial (pembelajaran sosial, norma, kerja sama, moralitas). Model formal pembelajaran sosial dan evolusi budaya semakin meningkatkan pemahaman kita tentang mekanisme yang mendasari variasi dan kesamaan manusia, tetapi kita masih jauh dari penjelasan yang memadai tentang sifat manusia dan universalitas kognitif manusia. Tanpa ilmu kognitif yang lebih inklusif, gambaran kita tentang kognisi manusia akan tetap tidak lengkap. 

Salah satu tujuan utama ilmu kognitif adalah untuk memahami kognisi manusia, namun kesimpulan kita didasarkan pada sampel yang tidak representatif dari populasi dunia. Gelombang baru ilmu kognitif lintas budaya telah berupaya mengatasi hal ini dengan studi yang semakin luas, skala, dan visibilitasnya. Dalam artikel ini, saya meninjau keadaan gelombang baru penelitian ini. Gambaran kognisi manusia yang muncul adalah variasi pada tema yang sama, dengan kapasitas khas spesies yang dibentuk oleh budaya dan pengalaman individu. Gelombang baru ini telah memperluas pemahaman kita tentang proses yang mendasari variasi manusia dan perubahan budaya kumulatif, termasuk mekanisme pembelajaran sosial dan transmisi budaya. Namun, konsensus yang lebih sedikit tercapai mengenai dasar kognitif dari sifat manusia. Janji dari ilmu kognitif lintas budaya tidak akan terwujud sepenuhnya kecuali kita terus lebih inklusif terhadap populasi dunia dan berusaha untuk mendapatkan gambaran kognitif yang lebih lengkap tentang spesies kita.

SEJARAH COGNITIVE SCIENCE

Ilmu kognitif muncul sebagai sebuah gerakan intelektual pada tahun 1950-an yang dikenal dengan revolusi kognitif. Meskipun demikian, gagasan-gagasan yang mendasarinya dapat ditelusuri hingga teks-teks filsafat Yunani kuno, seperti karya Plato, serta Meno dan De Anima oleh Aristoteles. Para filsuf modern seperti Descartes, David Hume, Immanuel Kant, Benedict de Spinoza, Nicolas Malebranche, Pierre Cabanis, Leibniz, dan John Locke, meskipun sebagian besar tidak membaca karya-karya Aristoteles, menentang skolastisisme dan menggunakan alat serta konsep yang berbeda dari yang digunakan oleh ilmuwan kognitif masa kini.

Akar budaya modern ilmu kognitif dapat dilacak kembali pada para cybernetician awal pada tahun 1930-an dan 1940-an, seperti Warren McCulloch dan Walter Pitts, yang berupaya memahami prinsip dasar pengorganisasian pikiran. McCulloch dan Pitts mengembangkan varian pertama dari apa yang sekarang dikenal sebagai jaringan saraf buatan, sebuah model komputasi yang terinspirasi oleh struktur jaringan saraf biologis.

Pendahulu penting lainnya adalah perkembangan teori komputasi dan komputer digital pada 1940-an dan 1950-an. Tokoh-tokoh seperti Kurt Gdel, Alonzo Church, Alan Turing, dan John von Neumann memiliki peran penting dalam kemajuan ini. Komputer modern, atau mesin Von Neumann, nantinya akan menjadi alat yang sangat berperan dalam ilmu kognitif, baik sebagai metafora untuk pikiran maupun sebagai perangkat penelitian.

Istilah ilmu kognitif pertama kali diperkenalkan oleh Christopher Longuet-Higgins dalam tanggapannya terhadap laporan Lighthill pada tahun 1973, yang membahas perkembangan riset kecerdasan buatan pada waktu itu. Pada dekade yang sama, jurnal Cognitive Science dan Cognitive Science Society didirikan. Pertemuan pembentukan Cognitive Science Society berlangsung di University of California, San Diego pada tahun 1979, yang menjadikan ilmu kognitif sebagai disiplin ilmu yang diakui secara internasional. Pada tahun 1972, Hampshire College mulai menawarkan program sarjana pertama di bidang ilmu kognitif, yang dipimpin oleh Neil Stillings. Selanjutnya, pada tahun 1982, dengan bantuan Stillings, Vassar College menjadi perguruan tinggi pertama di dunia yang memberikan gelar sarjana dalam ilmu kognitif. Pada tahun 1986, Cognitive Science Department pertama di dunia didirikan di University of California, San Diego.

Pada 1970-an dan awal 1980-an, seiring dengan meningkatnya akses ke komputer, penelitian kecerdasan buatan semakin berkembang. Peneliti seperti Marvin Minsky menulis program komputer dalam bahasa seperti LISP untuk mencoba menggambarkan langkah-langkah yang dilalui manusia dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, dengan harapan dapat lebih memahami pemikiran manusia dan bahkan menciptakan kecerdasan buatan. Pendekatan ini dikenal dengan "AI simbolik"

Namun, batasan-batasan dari pendekatan AI simbolik mulai tampak. Misalnya, tampaknya tidak realistis untuk secara lengkap mencatat seluruh pengetahuan manusia dalam format yang bisa digunakan oleh program komputer simbolik. Pada akhir 1980-an dan 1990-an, munculnya jaringan saraf dan koneksionisme sebagai paradigma penelitian memberi alternatif baru. Dalam pandangan ini, yang sering dikaitkan dengan James McClelland dan David Rumelhart, pikiran dianggap sebagai serangkaian asosiasi kompleks yang terstruktur dalam jaringan berlapis. Meski demikian, kritik terhadap koneksionisme muncul karena model ini sering kali terlalu kompleks dan kurang memiliki daya penjelasan yang jelas, sementara model simbolik lebih efektif untuk beberapa fenomena tertentu. Belakangan ini, terdapat upaya untuk menggabungkan kedua pendekatan tersebut, sehingga memanfaatkan kelebihan keduanya. Meskipun kedua pendekatan ini bermanfaat untuk menguji hipotesis dan mengeksplorasi pemahaman kognisi serta fungsi otak tingkat rendah, keduanya masih menghadapi kekurangan dari segi kelayakan biologis.

Koneksiisme telah terbukti berguna untuk memodelkan bagaimana kognisi berkembang dalam otak manusia dan muncul seiring perkembangan. Pendekatan ini memberikan alternatif untuk memahami berbagai cara kognisi berkembang, selain pendekatan yang terlalu spesifik pada domain tertentu. Sebagai contoh, ilmuwan seperti Jeff Elman, Liz Bates, dan Annette Karmiloff-Smith berpendapat bahwa jaringan-jaringan otak berkembang melalui interaksi dinamis antara jaringan tersebut dan input dari lingkungan.

Kemajuan dalam komputasi kuantum, termasuk kemampuan untuk menjalankan rangkaian kuantum pada komputer kuantum seperti IBM Quantum Platform, telah mempercepat penelitian yang memanfaatkan prinsip-prinsip mekanika kuantum untuk model kognitif.

Ilmu kognitif adalah disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pikiran manusia bekerja, termasuk proses-proses mental seperti persepsi, perhatian, memori, bahasa, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan pembelajaran. Bidang ini menggabungkan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk psikologi, ilmu komputer, linguistik, neurosains, filsafat, dan antropologi, untuk memahami bagaimana otak dan pikiran berfungsi.

Secara umum, ilmu kognitif berfokus pada bagaimana informasi diproses oleh otak, bagaimana kita memahami dunia di sekitar kita, serta bagaimana kita menghasilkan perilaku dan tindakan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman. Dalam perkembangan terbaru, ilmu kognitif juga sering berhubungan dengan kecerdasan buatan (AI) dan pengembangan teknologi yang dapat meniru atau mendukung fungsi kognitif manusia.

Beberapa subtopik yang dipelajari dalam ilmu kognitif antara lain:

  1. Persepsi -- Bagaimana kita merasakan dan menafsirkan dunia melalui indera kita.
  2. Memori -- Proses penyimpanan, pengorganisasian, dan pengambilan informasi.
  3. Bahasa -- Bagaimana kita memahami, menghasilkan, dan memproses bahasa.
  4. Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan -- Cara kita menganalisis situasi dan membuat keputusan atau solusi.
  5. Kognisi Sosial -- Bagaimana kita memahami orang lain dan berinteraksi dalam konteks sosial.
  6. Neurosains Kognitif -- Studi tentang hubungan antara otak dan proses kognitif.

Ilmu kognitif berusaha menjelaskan bagaimana kita menginterpretasikan dunia, berpikir, belajar, dan berkomunikasi, serta bagaimana proses-proses tersebut dapat diterapkan dalam teknologi, pendidikan, dan pengembangan perangkat lunak yang lebih pintar.

Mengembangkan ilmu kognitif di Indonesia menghadapi sejumlah kendala yang dapat menghambat kemajuan dan penerapannya secara optimal. Beberapa kendala utama tersebut meliputi:

1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang Terlatih

Ilmu kognitif memerlukan pemahaman yang mendalam dalam berbagai bidang, seperti psikologi, linguistik, ilmu komputer, neurosains, dan filsafat. Di Indonesia, jumlah tenaga ahli yang memiliki kompetensi multidisipliner dalam ilmu kognitif relatif terbatas. Banyak profesional yang memiliki keahlian hanya di satu bidang saja, sehingga kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu menjadi lebih sulit untuk diwujudkan.

2. Kurangnya Infrastruktur Penelitian dan Laboratorium yang Mendukung

Ilmu kognitif, khususnya dalam aspek neurosains dan penelitian berbasis teknologi, membutuhkan infrastruktur dan fasilitas yang memadai, seperti laboratorium dengan perangkat penelitian canggih. Di Indonesia, fasilitas ini masih terbatas, dan kebanyakan perguruan tinggi atau lembaga penelitian belum memiliki peralatan yang diperlukan untuk melakukan eksperimen yang rumit dan penelitian jangka panjang dalam ilmu kognitif.

3. Kurangnya Pendanaan untuk Penelitian

Penelitian dalam ilmu kognitif, terutama yang melibatkan eksperimen kompleks atau pengembangan teknologi baru, memerlukan dana yang cukup besar. Sumber pendanaan penelitian di Indonesia, baik dari pemerintah maupun sektor swasta, masih terbatas jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju dalam bidang ini. Hal ini seringkali menghambat riset dan pengembangan ilmu kognitif yang dapat bersaing di tingkat internasional.

4. Tantangan dalam Kolaborasi Antar Disiplin Ilmu

Ilmu kognitif adalah disiplin yang sangat multidisipliner, yang melibatkan psikologi, linguistik, ilmu komputer, neurosains, dan filosofi. Di Indonesia, kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu ini masih cukup terbatas. Banyak akademisi dan peneliti yang bekerja dalam silo atau bidang mereka sendiri, sehingga integrasi antara bidang-bidang ini yang diperlukan untuk pengembangan ilmu kognitif yang komprehensif menjadi lebih sulit.

5. Kurangnya Pendidikan dan Program Khusus dalam Ilmu Kognitif

Meskipun beberapa universitas di Indonesia mulai menawarkan program-program terkait ilmu kognitif, jumlah program akademik yang terfokus pada bidang ini masih terbatas. Pendidikan tinggi di Indonesia lebih banyak menekankan pada disiplin ilmu tradisional, sementara ilmu kognitif sebagai bidang yang relatif baru belum mendapatkan perhatian yang memadai. Oleh karena itu, jumlah lulusan dengan kompetensi dalam ilmu kognitif yang dapat mendukung pengembangan bidang ini masih sangat sedikit.

6. Keterbatasan Akses terhadap Literatur dan Penelitian Internasional

Ilmu kognitif adalah bidang yang berkembang pesat di luar negeri, dengan banyak penelitian dan literatur terbaru yang diterbitkan di jurnal internasional. Di Indonesia, akses terhadap literatur ini sering kali terbatas, baik karena kendala biaya untuk membeli akses ke jurnal-jurnal internasional maupun keterbatasan dalam kemampuan untuk menerjemahkan atau memahami penelitian yang kompleks. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam pengetahuan antara peneliti Indonesia dan peneliti internasional.

7. Kurangnya Pemahaman Umum tentang Ilmu Kognitif

Di Indonesia, ilmu kognitif masih kurang dikenal luas oleh masyarakat umum, termasuk oleh pengambil kebijakan di bidang pendidikan, penelitian, dan teknologi. Padahal, ilmu kognitif dapat memberikan manfaat besar, baik dalam pengembangan teknologi (seperti kecerdasan buatan) maupun dalam meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana manusia berpikir dan belajar. Kurangnya pemahaman ini menyebabkan kurangnya dukungan dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk mengembangkan bidang ini lebih lanjut.

8. Tantangan Budaya dan Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan di Indonesia yang lebih terstruktur dan terkadang kaku dalam pendekatan pengajaran dapat membatasi pengembangan pemikiran kritis dan multidisipliner yang diperlukan dalam ilmu kognitif. Budaya akademik yang lebih mengutamakan spesialisasi dalam satu bidang sering kali menyulitkan pengembangan pola pikir lintas disiplin yang diperlukan dalam ilmu kognitif.

Solusi yang Mungkin:

  1. Meningkatkan Kolaborasi Internasional: Meningkatkan kerjasama dengan universitas dan lembaga penelitian luar negeri dapat membantu memitigasi kendala sumber daya manusia dan fasilitas penelitian.
  2. Mengembangkan Program Pendidikan Khusus: Menyediakan lebih banyak program studi dan pelatihan dalam ilmu kognitif di perguruan tinggi untuk menghasilkan lebih banyak ahli dalam bidang ini.
  3. Peningkatan Pendanaan Penelitian: Mendorong pemerintah dan sektor swasta untuk lebih banyak berinvestasi dalam riset ilmu kognitif, termasuk melalui pendanaan dan hibah penelitian.
  4. Mempromosikan Ilmu Kognitif kepada Masyarakat: Kampanye untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya ilmu kognitif dapat membantu menarik lebih banyak perhatian dan dukungan.

Dengan mengatasi berbagai kendala ini, ilmu kognitif di Indonesia berpotensi berkembang pesat dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di tingkat global. Moga bermanfaat****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun