Kerasukan langit termasuk satu penyakit yang paling aku rindui. Hitam legam kelam, seperti oli omprengan yang lama tidak mengunjungi montir langganan. Muram terbungkam, dan paham benar apa itu kekacauan.
Kelak, aku tidak ingin anak-anakku terperangkap dalam sertifikat mangkrak dan kertas-kertas berisi angka yang congkak. Jiwa mereka seluas semesta, tak perlu meringkuk tercambuk oleh tampuk serapuh kerupuk.
Biarlah perkara tidak pasti, jadi satu-satunya yang kita sepakati. Karena sejarah yang mereka pelajari terdiri dari apa-apa yang tidak terjadi. Tatkala ilusi dan puisi lebih mampu bicara realita dibandingkan statistika.
Lari, anakku, lari!
Dari orang-orang berdasi yang berdusta menggunakan grafik dan persentase berisi janji-janji. Lidah yang manis, sekaligus bengis. Menghidupkan bunga-bunga pinjaman yang menggoda kumbang untuk menjadi tumbal.
Lari, anakku, lari!
Agar kelak kau punya ruang untuk berdendang dan mengamati capung-capung jarum di pucuk ilalang. Menyalami kumbang dengan takzim dan berdansa bersama hujan. Menghirup aroma mawar, yang jelas-jelas lebih wangi dari bau uang di pelabuhan.
Lari, anakku, lari!
Lautan tidak perlu tangan untuk memberimu pelukan. Dan angin, tidak perlu aksara untuk berbisik tentang hikayat cinta. Percayalah pada mereka yang tidak menawarimu apa-apa, kecuali ruang hampa.
Lari, anakku, lari!