Cermin mereka hanya terdiri dari karya-karya yang telah hadir, dan karya-karya yang akan terlahir.
Saya pernah merasakan kemerdekaan semacam ini, ketika menulis rangkaian cerita Tenggelam di Langit. Saya bahkan menyebarkannya dengan bebas, karena saat itu, saya hanya ingin berkeluh kesah melalui kisah. Menyuarakan keresahan, kegelisahan, dan kecemasan, tentang reklamasi Teluk Jakarta, tanpa ingin menjadi sekadar sampah.
Saya tidak menggarap Tenggelam di Langit untuk mudah dipahami, kecuali bagi mereka yang benar-benar ingin mengerti. Pembaca, tidak menjadi variabel yang saya perhitungkan. Katakanlah, menjadi karya yang buruk bagi industri. Tapi, saat itu, saya belum peduli.
Ya, "belum".
Menulis untuk Menyampaikan Pesan
Ada perubahan persepsi, saat saya mulai menulis dengan mengemban misi dan ingin membahasakan nilai-nilai melalui fiksi. Ketika menyampaikan pesan-pesan, maka jumlah pembaca, serta tingkat pemahaman mereka, menjadi salah satu parameter utama. Membuat karya yang berkualitas, dipahami, dan disukai publik, menjadi wajib hukumnya.
Di ranah ini, seorang penulis menjadi pihak yang haram memikirkan diri sendiri. Kualitas karya akan ditentukan oleh aspek-aspek yang berkaitan dengan segmentasi pembaca. Karya berupa puisi, cerpen, atau novel, menjadi media komunikasi, yang tentu saja, memerhatikan respon dan memedulikan reaksi.Â
Kepada siapa saya bicara? Apa dampak yang saya inginkan? Kira-kira, itulah pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran.
Tidak heran, dalam kondisi ekstrem, kecenderungan ini dapat membuat seorang penulis kehilangan "nyawa". Rawan terombang-ambing dalam selera dan pemahaman pembaca, yang terkadang, belum benar-benar matang mengapresiasi suatu karya.
Lantas, bagaimana dengan penulis yang resah ingin "didengarkan", namun tidak ingin kehilangan kemerdekaan?
Maka, keseimbangan selalu menjadi koentji.