Mulutku terkunci. Diam menjadi satu-satunya jalur menuju gerbang hati paling riuh yang pernah kamu kenali. Hujan deras turun, dan tak ada tempat berteduh yang bisa jadi tujuanmu berlari.
Jalan saja, pelan-pelan, atau berhenti.
Dengarkan bulir-bulir yang tengah berusaha bicara. Terbata. Basahnya membisiki nama yang telah lama kamu puja.Â
Aku senyap, membiarkanmu menerka.Â
Kamu terlalu lama memelihara lupa, bahkan padaku, padamu sendiri, dan pada ilalang yang mengikat kita berdua.
Sementara langit menggumamkan bahasa alam yang muram, kamu hanya bisa membalasnya dengan hal-hal kelam berbuih hitam. Kamu menjadi angin yang menolak bergerak. Aku mengataimu udara, tapi kamu tidak terima.
Baiklah.
Pada bumi, aku titipkan rasa-rasa berbahaya.
Akulah bom waktu yang berdetik, berdetak menunggumu tiba.
Kamu, tak perlu tergesa-gesa.
***