***
Fragmen 8. Segala Andai di Tepi Sungai
(Semesta dalam perspektif orang kelima)
Aku terus menebak-nebak isi kepala laki-laki itu sejak delapan panggilan tak terjawab terpampang di layar telepon pintar. Panggilan kesembilan, berhasil kuangkat dan bukan kabar baik. Panggilan rapat dadakan, di tengah hari libur yang semestinya menyenangkan.
Masalah terbesarnya, tidak sebatas pembatalan rencana tidur siang. Keluar rumah bukanlah ide cemerlang ketika hujan deras dan kemacetan menjalar di jalan-jalan utama Karagan. Butuh sekitar tiga jam untuk menjangkau ruang rapat. Usaha berlebihan yang mengorbankan selimut hangat dan gangguan bagi seorang "orang tua akhir pekan".
Kalau bukan karena intonasi Pak Wira yang memberi sinyal bahaya, barangkali aku menolak tiba. Ada kondisi darurat yang butuh reaksi cepat. Kutebak, terkait aliran sungai yang seketika menjajaki aspal atau hal-hal lain beranggaran besar.
Tak disangka, ternyata lebih dari itu.
Belasan orang yang hadir hanya menatap tingkah lakunya tanpa berani menyela. Kami hampir menganggapnya gila. Mengadakan rapat dadakan, ketika hujan, banjir, dan kepadatan jalan tidak masuk akal.
Lalu, kami disuguhi aksi teatrikal bakar-bakar berkas layaknya demonstran. Lebih dari itu, program-program yang dia perjuangkan sebelumnya, kini tinggal abu ringan yang berterbangan.
"Apa yang dilakukan Pak Walikota barusan?" tanya Kepala Dinas Sosial padaku selepas Pak Wira pergi dengan dramatis.
"Sudah jelas kan? Beliau membatalkan hampir semua program dan menyiapkan program baru," jawabku datar, membayangkan hal-hal yang terjadi selanjutnya.
"Iya, itu sudah jelas. Tapi, kenapa? Anda wakilnya, masa' tidak diberitahu?"