Pedih sekali, ditakuti oleh orang yang kamu cintai. Selepas mendengar pengakuan itu, aku langsung uring-uringan. Menggerung, menderas, membanjiri jalan-jalan, melongsorkan perbukitan. Aku tak bisa mengendalikan diri.
Sungguh, aku ingin kembali pada masa ketika kami seolah tak berjarak. Pada masa aku dan Rinai pernah satu.Â
Aku suka sekali kala senyumnya melebar, kepalanya menengadah, menunggu terpaan dariku. Kami bergembira. Tak peduli Ibuk meneriaki Rinai untuk masuk rumah ketika aku mulai menderas  kesenangan.
Kami tak terpisahkan, menantang dunia tanpa pernah kelelahan.
Sampai hari itu.
Hari ketika aku membuat kesalahan.
Senja, selepas musim kemarau. Rinai tidak keluar saat aku mengetuk jendela kamarnya. Dia meringkuk, tampak kesakitan memegangi perut. Menutup mulut rapat-rapat ketika Ibuk menyodorkan sesuap bubur ayam. Satu hari, dua hari. Terus seperti itu, hingga Rinai terlihat kuyu dan kurus. Binar matanya lenyap tergerus.
Aku kalut, ingin segera masuk. Membantu Ibuk membujuk Rinai agar dia mau makan. Sesuap saja, lalu aku akan kembali menunggunya di luar.
"Tolonglah, bantu aku masuk ke kamar Rinai. Lima menit, tidak lebih," aku memohon pada Angin.
Bukan permintaan yang sulit. Kulihat, ada celah pada atap seng yang terbelah. Angin hanya perlu menyingkapnya sedikit dan mendorongku masuk.
Whuuush.