Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Semua Demi Rinai

31 Agustus 2018   08:53 Diperbarui: 31 Agustus 2018   18:54 2716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Hujan. Akulah yang kalian sebut dengan berbagai nama. Mulai dari yang wajar seperti "air mata langit", hingga metafora tentang "langit yang bunuh diri". Sungguh, berlebihan sekali kalian ini. Padahal, aku cuma serpihan awan yang terjatuh karena sudah keberatan badan. Sementara langit masih jauh mengawang tanpa kepastian jarak, yang konon katanya ada tujuh lapisan.

Aku sering dengar, anak-anak menerima doktrin lagu-lagu tentang langit biru dan tinggi. Kalian yakin tidak salah ucap? Langit itu hitam. Kelam. Mistis. Mata kalian saja yang membuatnya nampak biru. Lagipula langit itu jauh, bukannya tinggi.

Tapi, aku mahfum jika kalian tidak tahu apa-apa perkara atas dan bawah. Dimensi ruang dan waktu justru berbatas pada akal yang kalian tuhankan. Demi gravitasi, kalian hanya menempel di bumi seperti wijen pada onde-onde.

Kalian tidak perlu bersungut-sungut ya karena kusamakan dengan wijen. Aku memang bukan hujan yang baik. Kalau kalian pikir semua hujan itu menyenangkan, aku tidak. Aku hujan, dan aku benci kalian. Kalian yang seperti wijen. Kecil dan tidak signifikan. Jatuh dan terlepas tidak berarti. Masih banyak wijen lainnya.

Jengah sekali rasanya mendengar sajak-sajak hujan kosong dan semua yang cuma bualan. Aku menolak gombalan. Lebih baik menerima caci maki, daripada rayuan dari wijen-wijen sok romantis yang memanfaatkan hujan sebagai persona biar dikata manis.

"Tidak perlu diambil hati, dia hanya kesal karena patah hati," seru Angin sambil terkikik menuju lembah.

Aku mendelik kearahnya. Sial, kalimat itu menghujam sekali. Ung... Baiklah, karena sudah terbongkar, aku mengaku saja. Izinkan aku jadi melankolis sebagai katarsis. Aku memang sedang kesal, dan selalu patah hati. 

Pada sosok yang sama, berkali-kali.

Sekali saja, aku ingin melihat dia tersenyum saat aku datang. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Sejak rintik pertama menyentuh tanah, detik itu pula, raut bahagia di wajahnya sirna. Aku yang menggoda ratusan juta manusia untuk menjadi pujangga, gagal mengambil hati seorang saja.

Rinai, nama gadis itu. Nama yang berkaitan, tidak menjanjikan hati kami bertautan. 

"Aku takut hujan," katanya dengan tegas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun