Dalam dunia mobilisasi, segalanya telah berubah sejak teknologi melakukan intervensi besar-besaran. Big data. Integrasi informasi itu di satu sisi tampak menakjubkan, namun sekaligus mengerikan jika digunakan oleh pihak sembarangan. Membentuk isu-isu baru terkait keamanan data dan privasi. Dampak dari setiap jejak digital yang kita tinggalkan, semakin sulit diprediksi.
Kendati demikian, teknologi hampir tidak mungkin untuk dihindari. Kemudahan yang disajikan, efektivitas dalam pemecahan masalah, dan efisiensi transaksi, membuat setiap terobosan baru selalu berhasil menggaet pengguna meski hadir bersama risiko dan konsekuensi. Maka, konsumen dituntut untuk mencerdaskan diri, agar mampu sepenuhnya menjadi pengendali, dan bukan sebaliknya.
Sementara itu, jika kita bicara tentang optimasi teknologi dalam ranah mobilisasi di era digital, tentu akan berkaitan erat dengan kehadiran transportasi online. Jika perbaikan moda angkutan publik masih saja menjadi proyek-proyek besar yang bergelut di atas meja, selama itu pula masyarakat akan berpaling. Satu per satu, hingga kalangan per kalangan.
Pasalnya, pengguna tranportasi online bisa dikatakan sangat loyal. Terbukti, ketika perusahaan ojek dan taksi online dihentikan sementara waktu oleh salah satu pemerintah daerah, gelombang protes bermunculan. Akhirnya, proses pembuatan regulasi yang harus mengalah.Â
Well, netizen itu kedjam, Jenderal!
Untuk mencegah transportasi online berkembang dengan beragam polemiknya, maka mereka harus melawan kelas menengah dengan segenap kekuatan digital. Masyarakat telah kadung gandrung. Terlebih, fitur-fitur inovatif selalu berhasil membuat kita takjub. Berangkat dari permasalahan, mereka mampu menggaet hati konsumen yang merasa terbantukan.
Dengan niat yang lebih baik, di samping segala keuntungan, bisnis rental mobil ikut serta sebagai pemain. Demi mengurangi volume kendaraan pribadi di kota besar dan kawasan destinasi wisata, bisnis rental mobil mulai menajamkan tombak. Dengan mengangkut jumlah penumpang secara optimal, menggunakan mobil sewaan akan turut mengurangi kemacetan dan emisi kendaraan.
Semakin berpeluang, apabila bisnis rental mobil mulai berkoalisi dengan teknologi. Terutama, dengan implementasi sharing economy yang kini tengah naik daun. Berbondong-bondong, pengembang startup memasuki bisnis ini dengan konsep "pembagian kue" antara pemilik aset dan perusahaan.. Tentu saja, dengan berbagai porsi yang berbeda.
Seperti dalam marketplace rental mobil online Joorney, misalnya. Perusahaan teknologi bertindak sebagai penyedia platform dan media promosi bagi bisnis rental mobil. Sementara itu, tarif sewa diberikan secara langsung dari konsumen kepada pemilik kendaraan. Pihak platform pun hanya melakukan sedikit intervensi saja terhadap prosedur, serta syarat dan ketentuan sewa. Bisa dikatakan, konsumen dan pemilik aset leluasa untuk mengambil porsi kue yang mereka inginkan.
Lain cerita dengan perusahaan ojek dan taksi online yang telah membagi porsi melalui administrasi dan manajemen yang begitu mapan. Berbeda dengan Joorney yang menggaet konsumen dengan berlandaskan keleluasaan, perusahaan teknologi seperti Go-Jek mengandalkan fitur-fitur inovatif sebegai kekuatan. Tak masalah, selama masih berorientasi pada mitra dan pelanggan, setiap startup akan tetap jadi solusi terhadap tingginya mobilisasi.
Namun, sampai kapan kemudahan ini stagnan di kelas menengah? Harga dan tarif yang ditetapkan pada solusi ini, tentu belum bisa merangkul grass root yang masih tak memiliki banyak pilihan selain berharap pada revitalisasi angkutan publik.