Kaki-kaki bergegas meninggalkan rumah-rumah yang diam-diam kesepian malam-malam. Mereka membawa koper, memanggul ransel, yang memberi ruang pada gawai secara maksimal dibandingkan makanan bekal. Menuju lokasi-lokasi kekinian yang dipermak hingga layak masuk Instagram. Tapi, haruskah alam berdandan?
Hm, saya pernah menerima wangsit dari seorang penulis tidak terkenal, katanya:
"Para pengembara berlomba-lomba menyatakan cinta pada kebebasan. Mereka berkelana dalam tempurung dunia, dan berakhir sebagai metafora. Dari bosan ke bosan, dari hampa ke hampa, dan tak pernah menemukan apa-apa."
Benarkah kini traveling menjadi sedemikian tidak bermakna? Karena waktu yang terlalu bergegas atau orang-orang butuh lebih dari sekadar kesegaran? Pengakuan, misalnya. Akankah mereka berhenti mengembara jika media sosial tidak lagi ada, karena sadar bahwa their journey means nothing without audience? Ironic.
Lalu, apa yang tersisa?
Di sisi lain, hype terkait traveling, perjalanan, pengembaraan, dan penjelajahan pada tiap-tiap destinasi, lebih dari sekadar keramaian. Di balik lalu-lalang, ada perekonomian yang terpupuk dan berkembang. Ada kehidupan yang menggantungkan harapan.
Maka, alasan menjadi tak penting lagi. Manusia senantiasa semakin dewasa. Begitu juga para traveler yang mengikuti arus pada mulanya, akan bertumbuh dan mulai mencari-cari makna pada akhirnya. Dari kebiasan, menuju pemaknaan.
Lantas, apa sebenarnya makna yang tersimpan di balik traveling?
1. Menjajaki segala penjuru
Luasnya bumi, akan mubazir tanpa dijelajahi. Bergeraklah, berkelilinglah. Ada beragam arah dan penjuru mata angin yang bisa kita ikuti. Mengapa harus diam dan bosan, jika berkelana akan membuatmu lebih bahagia? Namun, tidak apa-apa jika ketenanganmu ada pada sunyi. Karena, ruang-ruang kosong di bumi juga harus tersedia bagi jiwa-jiwa yang butuh sendiri.
2. Melihat lebih dekat