Sekolah di zaman sekarang ini banyak menggunakan "jargon" atau "Motto" untuk menarik minat para calaon peserta didik untuk masuk belajar di dalamnya. Misalkan sekolah adalah rumah kedua bagi anak. hal ini tentu sah-sah saja bagi lembaga atau institusi pendidikan sesuai dengan UUD 1945. Apalagi dengan banyaknya kasus-kasus asusila yang sering kali menelan korban bocah-bocah kecil tidak berdosa, seperti di sekolah internasional beberapa waktu lalau di Jakarta, atau banyak lagi di daerah-daerah yang tidak tercover oleh media massa.Â
Sekolah adalah kawah candradimuka bagi anak-anak untuk mengembangkan kecerdasannya, lifeskill, pengetahuan dan aspek religiusitasnya. oleh karena itu, sekolah harus membebaskan "anak" dari kungkungan hegemoni tembok dan jeruji pengetahuan yang terkadang bersifat dogmatis. Sehingga sekolah harus "Memerdekakan" anak-anak buan sebaliknya, justeru "Memenjarakan" fisik dan "ideologi" anak. Sekolah harus menjadi ruang ekspresi anak--sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku--sesuai dengan bakatnya, sehingga menjadi tempat yang ramah, anggun, nyaman dan menstimulir anak untuk berimajinasi secara nalar sehat.
Apabila seorang siswa tidak mendapatkan kenyamanan dan ketenangan dalam belajar di sekolah, bahkan mendapatkan hukuman hingga menemui kematian, maka bisa dikatakan sekolah tersebut menurut Rabrindanath Tagore adalah penjara. Menurut Rabrindanath Tagore sekolah yang demikian hanya menyebabkan siswa terkekang dan tidak mampu menyatakan dirinya sebagai manusia sejati. Rabrindanath Tagore pada tahun 1924 berbicara kepada para guru tentang pengalaman pendidikannya. "Sering aku hitung tahun-tahun yang harus aku jalani sebelum aku memperoleh kemerdekaanku bagiku seakan-akan sekolah adalah sebuah penjara. Sekolah sebuah tempat menunggu yang pengap, sebelum seorang anak boleh pergi setelah dianggap 'jadi'. "Betapa inginnya saya untuk dapat melintasi masa 15 atau 20 tahun yang menghalang itu, dan dengan semacam sihir ghaib, serta-merta jadi seorang dewasa.
Bisa jadi. Ada benarnya pendapat Rabrindanath Tagore kalau sekolah adalah seakan-akan adalah penjara, sebab dia sendiri mengalami langsung "penderitaan" di sekolahnya sampai dia sebut sebagai "siksaan yang tak tertahankan." Sampai kemudian Rabrindanath Tagore keluar sekolah pada usia 13 tahun dan memilih menjadi seorang penyair dan sastrawan, bahkan menjadi pemikir India paling terkemuka hingga hari ini; orang Asia pertama yang mendapatkan Hadiah Nobel untuk kesusastraan.
Dalam beberapa literatur, penulis mendapatkan satu definisi bahwa sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pendidikan dan pengajaransiswa di bawah pengawasan guru (Wikipedia). Definisi ini menempatkan dua makna penting dalam sekolah, yaitu; pertama sekolah adalah lembaga pendidikan tempat berlangsungnya proses internalisasi IMTAK yang berlangsung selama manusia hidup sebagai bekal hidup dalam masyarakat. Kedua, sekolah adalah lembaga pengetahuan untuk mentransfer IPTEK dari guru kepada siswa. Dari kedua proses tersebut, kegiatan mendidik mempunyai makna yang lebih elementer karena berkaitan dengan penanaman budi pekerti, karakter, nilai keagamaan, serta perlindungan lahir dan batin dari seorang guru kepada siswa.
Benarkah sekolah adalah bentuk aufimismepenjara? Dalam beberapa titik simpul "kemanusiaan" sekolah dan penjara mempunyai kesamaan, yaitu memberikan pelajaran kepada manusia tentang kehidupan dan "memanusiakan" manusia. Tetapi tentu dalam konteks yang berbeda, kenyataanya siswa masuk ke sekolah di awali dari sesuatu yang positif dalam hidupnya dan diharapkan berujung pada yang positif juga.Â
Sementara manusia masuk penjara di awali dengan sesuatu yang negatif dalam hidupnya, tetapi tetap diharapkan berujung pada hal yang positif juga. Tetapi nalar aufimismeterkadang sulit untuk membedakan mana proses "pemanusiaan" yang terbaik, apakah di sekolah ataukah di penjara?. Manusia begitu bangga ketika berhasil masuk ke sebuah lembaga pendidikan bonafit/terkenal, tetapi manusia begitu bersedih ketika mendengar diri/saudaranya masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (aufimismedari penjara).
Padahal sekalai lagi. Dalam beberpa titik simpul, keduanya mempunyai tujuan yang sama. Lalu, kenapa lembaga-lembaga pendidikan yang diciptakan oleh manusia melalui sistem norma, adat, susila, justeru menjadi boomerang?Dan, justeru manusia sendiri yang menghancurkan semua sistem tersebut? Tentu pendapat Rabrindanath Tagorebahwa sekolah seakan-akan penjara tidak bisa digeneralisir dan dijadikan sebagai postulat untuk mempersamakan sekolah dengan penjara.Â
Bagaimanapun pendapat itu lahir dari latar belakang yang menimpa dirinya. Kenyataannya sekolah tetap menjadi salah satu lembaga alternatif  bagi  anak manusia untuk belajar dan berlatih "memanusiakan" orang lain, bukan sebaliknya saling "menghilangkan" orang lain. Lembaga penjara juga demikian. Artinya, bukan lembaganya yang salah mendidik, mengajar dan mengayomi anak-anaknya tetapi menusia sendirilah yang menjalankan lembaga tersebut yang salah menurutkan nafsinya.Sementara kedua lembaga tersebut membutuhkan hatinya.
Kita berharap bahwa kasus pelecehan seksual, kekerasan dan perkelahian di dan atas nama sekolah yang menimpa siswa, taruna dan praja menjadi pelajaran buat kita semua terutama Kemendiknas agar lebih baik lagi menata kurikulum IMTAQ di semua tingkatan pendidikan. Dan, ke depan tidak ada lagi kasus-kasus yang menistakan "manusia" di lembaga yang justeru menjunjung tinggi nilai-nilai keteladanan, kedisiplinan, kejujuran, pendidikan, pengajaaran dan kemanusiaan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H