Pagi ini, saya memutuskan untuk menulis, tentang apa saja. Asal bisa menghabiskan waktu luang yang saya punya, akibat sakit. Sedikit repot sih, soalnya, saya yang terbiasa tidak bisa diam, dan sedikit hyperactive, kini harus berpuas diri, jalan dari dapur, kamar, beranda, balkon, dan kembali lagi ke tempat yang itu-itu. Apalagi sekarang sedang hujan, dan saya tidak bisa keluar ke halaman, untuk sekedar mengagumi bunga anggrek yang sedang bermekaran dengan sangat susah payah, akibat cuaca dunia yang akhir-akhir ini menjadi aneh. Bahkan musim buah yang biasanya sudah lewat, sekarang baru saja mulai bermekaran.
Saya sangat tidak menyukai keadaan pasif seperti ini, apalagi ditambah dengan housemaid yang sudah quite the job, otomatis saya harus melakukan segala sesuatu sendirian dirumah. Well, sebenarnya sih saya tidak keberatan, karena toh meskipun punya housemaid, ada banyak hal yang sering saya lakukan sendiri, tanpa bantuan housemaid. Namun ketika saya sakit, roda pemerintahan dalam rumah tangga seperti macet. Bicara tentang roda pemerintahan, kedengarannya kok seperti politik ya? Memang harus seperti itu. Perempuan dan politik adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Tidak usah jauh-jauh berpikir, pernahkah kita sadari sedikit saja, bahwa melakoni sebuah rumah tangga, tidak jauh berbeda dari melakoni suatu kehidupan politik?. Bahkan bisa dibilang, seorang perempuan adalah seorang presiden dari suatu negara kecil, bernama "KELUARGA"
Coba kita berpikir sejenak, seorang perempuan harus menjadi seorang pemimpin dalam rumah tangganya setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, 1 x 24 jam, dan tidak pernah memiliki waktu libur. Tidak percaya? Coba kita tanyakan pada diri kita sendiri, dan berpikir sedikit lebih jauh, kadang kita harus menjadi "Pengadilan" bagi anak-anak kita yang sedang bertengkar, atau "Ahli Ekonomi" yang memutuskan anggaran mana yang harus kita kurangi disaat rumah sedang kekurangan dana, apa yang harus didahulukan, dan mana yang harus disingkirkan.
Perempuan juga harus bisa menjadi "GURU" yang harus mendidik anak-anaknya, belajar bersama-sama dan memeriksa PR, lalu ikut-ikutan stress (seperti saya) ketika mendapati bahwa pelajaran anak masa kini sangat berbeda dengan kami dulu yang lebih sederhana. Untung saja saya termasuk Ibu yang melek teknologi, sehingga kalau sudah terlalu sulit, terpaksa saya HARUS MENGADU pada Mbah Google yang super-duper pintar.
Dengan suami, kita sering menjadi "PSIKOLOG" dadakan, yang harus siap menerima keluh kesah setiap dia pulang kantor, dan bercerita tentang masalah-masalah dikantornya, atau tentang ini itu hal remeh-temeh, dan bahkan seperti saya, harus adu otak tentang bola kaki! Karena suami saya adalah seorang penggila bola-luar biasa aneh-yang tidak bisa hidup tanpa olahraga yang satu itu (setidaknya dalam bentuk nonton pertandingan bola di TV, lihat berita bola di internet, atau bertanding bola dengan Playstation anak-anak!)
Belum lagi kaum perempuan yang sering menjadi diplomat ulung, yang pintar mengarang berbagai macam alasan saat suami pengen "itu" dan kita lagi "nggak mood" dan terpaksa lahirlah alasan klasik "sakit kepala" atau "sakit perut" dan lain-lain sebagainya, yang tidak menyinggung perasaan!
Well, jadi, ketika seorang perempuan masuk kedalam kancah politik, sering kali dia dipandang sebelah mata oleh kaum lelaki. Padahal, yang mereka tidak tahu sama sekali adalah, perempuan itu adalah seorang politikus, dalam kehidupannya sehari-hari, dan dia adalah a nature born political person!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H