Jujur memiliki dua makna. Pertama, jujur sebagai karakter kepribadian. Kedua, jujur dalam berkata.
Seseorang yang jujur, dilihat dari makna pertama, adalah seseorang yang:
Selalu menepati janji;
Sejalan antara perkataan dan perbuatan;
Memegang teguh amanah yang diberikan kepadanya;
Tidak suka mengecewakan orang;
Tidak suka merugikan orang lain.
Dengan karakter kepribadian seperti di atas tentu saja orang jujur akan sangat disukai dan dipercaya oleh banyak orang. Jujur dalam konteks ini sama sekali tidak berbahaya. Justru semua orang mendambakan sosok seperti itu untuk dapat dijadikan pemimpin di tengah masyarakat — pemimpin yang jujur.
Dari perspektif kedua, ‘jujur’ lebih banyak dikaitkan dengan perkataan (cerita, pengakuan, atau kesaksian). Dalam konteks inilah kejujuran bisa bermanfaat atau berbahaya.
Kejujuran bisa jadi merupakan sesuatu yang bermanfaat. Kejujuran dari pasien covid-19 tentang gejala dan riwayat perjalanan penyakit akan memutus rantai komunikasi interpersonal, informasi ini akan menyelamatkan banyak orang.Â
Apabila pasien tidak jujur mengenai riwayat perjalanannya justru hanya menambah masalah dalam sistem pelayanan kesehatan dan membahayakan. Kejujuran dalam situasi ini sangat diharapkan dan tentu akan bermanfaat.
Kejujuran juga bisa memberbahayakan. Kata ‘berbahaya’ di sini bisa terhadap terhadap diri sendiri atau orang lain. Contoh, apabila teman kita dengan suaranya yang pas-pasan menanyakan persetujuan kita untuk dia mengikuti ajang pencarian bakat.Â
Menahannya dan mengatakan suaranya tidak bagus tentu akan menyakiti perasaannya. Terpaksa kita harus berbohong untuk kebaikan (white lie) dan menyetujuinya ikut ajang pencarian bakat menyanyi karena takut menyakiti perasaannya.Â
Padahal, kita tahu bahwa suaranya tidak terlalu bagus, bahkan cenderung sumbang.
Kejujuran sebagai sebuah karakter kepribadian sangat diperlukan sementara kejujuran dalam hal perkataan (kecakapan berbuat) bisa sangat bermanfaat bisa juga sangat berbahaya. Di sinilah kita harus cerdas dan bijak dalam memberi sikap.