Mohon tunggu...
Nurul Huda
Nurul Huda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebelas Tahun Pasca Tsunami, Penduduk Banda Aceh Mencapai 257.000 Jiwa

26 Desember 2015   13:21 Diperbarui: 27 Desember 2015   16:55 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelas tahun yang lalu tepatnya Minggu 26 Desember 2004, Banda Aceh yang memiliki luas 6135,90 Ha dan terdiri dari 9 kecamatan menjadi salah satu wilayah yang terkena bencana dahsyat tsunami. BPS mencatat jumlah penduduk kota Banda Aceh pra-tsunami pada tahun 2004 sebanyak 239.146 jiwa. Sementara itu, setahun pasca tsunami jumlah penduduk kota Banda Aceh menjadi 177.881 jiwa. Data tersebut menjelaskan bahwa tsunami telah merenggut 61.265 penduduk kota Banda Aceh. Namun tahun demi tahun pun berlalu, jumlah penduduk Banda Aceh terus mengalami peningkat.

Banyak orang yang kehilangan pasangan atau anak – anaknya. Sehingga, angka pernikahan dan kelahiran pun meningkat. Selain itu, banyak juga para pendatang baru yang datang ke Banda Aceh dengan tujuan untuk mencari pekerjaan atau membuka lapangan pekerjaan baru. Mereka menganggap Banda Aceh yang sedang dalam masa pembangunan merupakan lapangan yang tepat untuk mencari pekerjaan atau membuka lapangan pekerjaan baru.

Pada tahun 2014 BPS mencatat jumlah penduduk kota Banda Aceh sebanyak 249.499 jiwa. Pada tahun 2015 diperkirakan jumlah penduduk kota Banda Aceh mencapai 257.920 jiwa.Pertambahan jumlah penduduk ini juga akan menambah masalah – masalah kependudukan, seperti berkurangnya lahan pemukiman. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang bekerja di Banda Aceh namun tinggal di Aceh Besar.

Melihat kenyaataan tersebut, pada pertengahan tahun 2015 lalu pernah ada wacana dari pemerintah untuk memperluas wilayah ibu kota provinsi Aceh dengan cara menjadikan beberapa wilayah yang menjadi perbatasan antara Banda Aceh dan Aceh Besar sebagai wilayah Kota Banda Aceh. Wacana tersebut rasanya tidak perlu direalisasikan, pemerintah Banda Aceh dan Aceh Besar hanya perlu bersinergi dan beriringan dalam merencanakan tata ruang dan pembangunan wilyah. Sehingga dapat saling membantu dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu contoh permasalahan yang perlu dibicarakan bersama antara pemerintah Banda Aceh dan Aceh Besar adalah transportasi umum bagi masyarakat yang kesehariannya bekerja di Banda Aceh, namun tinggal di Aceh Besar. Saat ini, transportasi umum yang mampu menampung banyak orang adalah labi – labi (angkot).

Kini pengguna labi – labi terus berkurang, sementara volume pengguna kendaraan pribadi terus meningkat. Hal inilah yang menyebabkan beberapa ruas jalan utama di Banda Aceh mulai mengalami kemacetan. Melihat kenyataan tersebut, pemerintah pun berusaha menghadirkan transkutaraja yang akan diresmikan awal tahun depan.

Dua puluh dua unit trans kutaraja telah disiapkan, rencananya akan digratiskan bagi pelajar. Trans kutaraja akan melewati enam jalur, yaitu Kota Banda Aceh – Darussalam, Bandara SIM – Terminal Batoh dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh Mata Ie, Kota Banda Aceh – Ajun hingga Lhoknga, Ulee Kareng – Terminal Batoh, dan Keudah – Syiah Kuala. Selain itu, halte – halte trans kutaraja juga telah bermunculan disepanjang ruas – ruas jalan yang akan dilewatinya.

Berbagai pro dan kontra mengenai pengadaan trans kutaraja mulai hadir di kalangan masyarakat. Seperti layaknya kanan dan kiri, setiap keputusan pasti ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Namun dibalik segala pro dan kontra tersebut, sudah efektifkah pengadaan trans kutaraja yang diperkirakan menghabiskan dana puluhan milyar tersebut?

Proyek pemerintah ini sebenarnya patut diacungi jempol. Dengan adanya proyek ini, pemerintah Kota Banda Aceh dapat dikatakan cepat tanggap terhadap permasalahan yang ada. Sebelum Banda Aceh mengalami kemacetan parah seperti di ibukota – ibukota provinsi lain, pemerintah Kota Banda Aceh segera mengantisipasi terlebih dahulu.

Namun kenyataannya proyek ini dapat dikatakan belum matang. Mengapa demikian?, karena jalan – jalan yang akan dilewati trans kutaraja merupakan jalan yang ramai dilalui masyarakat dan jalan – jalan tersebut dapat dikatakan tidak terlalu besar untuk menerima tamu sebesar bus trans kutaraja yang akan bolak – balik berkali – kali dalam satu hari. Bukannya mengurangi kemacetan, keberadaannya malah bisa jadi menyebabkan kemacetan dan mengganggu pengguna jalan lainnya. Oleh karena itu, trans kutaraja butuh jalaur sendiri agar lebih unggul dalam hal kecepatan waktu dan tidak mengganggu penggguna jalan lain sehingga menjadi ketertarikan bagi masyarakat.

Selain itu 622 halte trans kutaraja yang saat ini sedang dalam proses pembangunan dinilai tidak ramah disabilitas. Halte – halte tersebut masih kurang memperhatikan calon penumpang berkebutuhan khusus atau disabilitas. Hal ini dilihat dari tidak adanya ramp (jalur landai untuk kursi roda) yang terdapat pada halte yang tengah dibangun. Di sejumlah halte memang terdapat ramp, namun kemiringannya terlalu curam sehingga tidak bisa diakses secara aman oleh penyandang disabilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun