Namaku Siti Roehana, atau biasa dipanggil Ruhana Kudus. Hari ini adalah hari kepindahanku ke Alahan Panjang. Dengan berat hati aku harus meninggalkan kampung halaman dan ikut ayah kesana. Alasan ayah membopong kami sekeluarga ke Alahan Panjang adalah karena ayah dipindah tugaskan sebagai seorang juru tulis. Sedari dulu, keluargaku memang sudah berkutik dengan kegiatan membaca maupun menulis. Dan kebiasaan itu pun turun kepadaku.
Setelah perjalanan lumayan panjang, akhirnya aku sampai di rumah baru kami. Rasanya cukup aneh karena mendapat lingkungan baru, tapi ayah bilang lama-kelamaan aku pasti akan terbiasa. Dan benar saja, setelah beberapa hari tinggal disini, aku mulai terbiasa dan  mengenal beberapa orang. Salah satunya adalah pasangan suami istri yang merupakan tetanggaku. Mereka bernama Lebi Jaro Nan Soetan yang merupakan seorang jaksa dan istrinya yang bernama Adiesa. Mereka tidak memiliki anak, sehingga mereka menganggapku sebagai anak sendiri.
Aku diperlakukan dengan sangat baik di keluarga ini. Adiesa selalu mengajakku bermain ke rumahnya, dan aku selalu senang jika pergi kesana. Disana aku bukan hanya diajak untuk bermain, tapi aku juga diajari beberapa hal seperti membaca, menulis, bahkan menghitung. Seperti biasa, hari ini aku pergi ke rumah Adiesa.
"Ruhana, sudah kau bawa alat tulisnya?" tanya Adiesa.
"Sudah, Tante" jawabku.
Aku pun mulai diajari membaca. Walaupun sedikit kesusahan tapi Adiesa selalu mengariku dengan sabar. Hingga setelah 2 tahun, saat ini aku sudah mahir membaca, menulis dalam huruf Arab, Arab Melayu, dan latin. Aku juga sudah bisa menghitung dan berbahasa Belanda.
"Ruhana sangat pandai. Kau sudah menguasai ini semua di umur mu yang masih belia, yaitu 8 tahun" ucap Adiesa memujiku. Aku yang mendengarnya hanya bisa tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.
Perjalanan pendidikanku tidak berhenti sampai sana. Aku terus belajar dan membaca banyak buku. Ayah sangat mendukung kegemaranku dengan berlangganan buku dongeng anak terbitan Medan, Berita Ketjil. Terkadang, ayah juga membelikan buku cerita terbitan Singapura atau mendapat oleh-oleh buku anak dari rekannya yang merupakan pegawai Belanda.
Suatu hari, ayah baru saja pulang kerja sambil menenteng 1 buah buku dongeng.
"Baru tibo, Yah?" aku bertanya sambil memberikan segelas air putih.
"Iyo. Kau alah makan?"Â
Aku menjawab pertanyaan ayah dengan anggukan."Buku dari ma iko, Yah?" aku menanyakan buku yang sedari tadi ayah pegang.
 "Dari kawan ayah. Jan lupo dibaco, kau pasti dapek ciek atau duo ilmu dari buku tu," ucap ayah.
"Iyo, Yah"
"Ayah yakin kau kan jadi wanita nan tangguah jo baguno di maso nan akan datang," ayah berkata sambil mengusap rambutku.
Mendengar itu, aku bertekad untuk tidak menyia-nyiakan seluruh usaha yang telah ayah berikan. Aku akan menjadi wanita yang tangguh dan berguna. Aku juga akan menggunakan seluruh ilmu yang kupunya untuk kebaikan.
 Setelah beberapa tahun berlalu aku pun tumbuh menjadi wanita dewasa. Aku kembali ke kampung halamanku yaitu Koto Gadang. Aku kembali kesana karena pada tahun 1897 ibuku meninggal. Disana aku menikah dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris yang selalu mendukungku seperti ayah.Â
Setelah kepulanganku ke Koto Gadang, aku bisa melihat dengan jelas kondisi para perempuan di daerahku. Aku merasa prihatin melihat mereka yang tidak memiliki pendidikan yang layak untuk bisa hidup sejahtera dan mandiri. Budaya disini telah menetapkan perempuan dalam wilayah kerja yang sudah tentu, yakni sumur, kasur, dan dapur. Hal ini menyebabkan banyaknya perempuan yang tidak dibenarkan untuk mengecap pendidikan dengan layak.
Aku sangat tidak setuju dengan pola pikir seperti itu. Bagiku, para perempuan harus memasuki dunia pendidikan guna memberdayakan dan membentuk karakteristik perempuan yang mandiri. Karena itu, aku mulai mengadakan beberapa kelas kecil dengan perempuan-perempuan di desaku untuk memberikan pengetahuan mengenai keterampilan busana seperti menyulam dan menjahit.
Usahaku dalam meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan di desaku ternyata tidak mudah, banyak sekali rintangan yang harus ku hadapi. Mulai dari dana untuk membiayai kegiatan kelas, cemoohan, dan pandangan miring dari masyarakat. Pembaruan yang aku lakukan dalam menyekolahkan dan menghadirkan perempuan dalam area pendidikan formal ternyata belum bisa diterima oleh para warga disini.
Oleh sebab itu, aku sedikit tertekan dengan kondisi ini. Tetapi suamiku terus menyemangati dan mendukung upayaku dalam mendidik perempuan.
"Tak perlu kau pikirkan omongan para tetangga. Fokus saja dalam meraih mimpimu untuk dapat menaikkan derajat para perempuan," ucap Abdul kepadaku.
"Iya, Uda. Ruhana juga berniat untuk membuat sekolah untuk para perempuan di desa kita"
"Apa yang ingin kau ajarkan disana?"
"Ruhana ingin mengajarkan berbagai jenis keterampilan, seperti baca-tulis, budi pekerti, mengelola keuangan, pendidikan bahasa Belanda, dan juga pendidikan agama" ucapku yakin.
"Itu adalah niat yang sangat baik. Uda akan mendukung kau dengan sepenuh hati"
Setelah itu, dengan dukungan suamiku dan keluarga, akhirnya aku berhasil mendirikan sekolah yang kuberi nama Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Di sekolah itu aku merekrut sekitar enam puluh siswa perempuan yang berasal dari desaku.
Walaupun sekolah ini sudah berdiri, ternyata cemoohan masyarakat tak kian berhenti. Masih banyak yang beranggapan bahwa perempuan tak perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah. Tapi menurutku, perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik.
Maksudnya, aku ingin perempuan mendapatkan pendidikan yang layak. Karena untuk menjadi wanita sejati, kita butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Aku tidak ingin menghiraukan pandangan masyarakat lagi. Sekarang aku hanya fokus pada sekolah agar berjalan dengan lancar. Semakin hari, KAS mengalami perkembangan yang cukup baik, dan aku senang akan hal itu. Tapi aku masih ingin memperluas pendidikan ini kepada perempuan diluar sana, bukan hanya di daerahku. Akhirnya aku mendiskusikan masalah ini dengan Abdul.
"Hal apalagi yang menganggu pikiranmu, Ruhana?" tanya Abdul.
"Begini, Uda. Menurut Ruhana, kalaupun hanya mengajar, yang bertambah pintar hanya murid-murid saya saja. Ruhana ingin sekali berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan kaum perempuan di daerah lain, sehingga bisa membantu lebih banyak" jawabku.
"Lalu apa yang ingin kau lakukan?"
"Ruhana ingin menyebarkan pendidikan ini lewat surat kabar agar ilmu yang Ruhana punya bisa tersebar ke daerah lain"
"Baiklah jika mau kau begitu. Uda akan terus memberikan dukungan untuk kau"
Setelah mendiskusikan itu dengan Abdul, akupun langsung mengirim surat kepada Datoek Soetan Maharadja, yaitu seorang pemimpin redaksi Oetoesan Meladjoe yang berada di Padang. Dengan harapan mendapat balasan baik dari Maharadja, akhirnya setelah ditunggu surat itu terbalaskan juga dengan datangnya Maharadja ke Koto Gadang, kotaku. Saat bertemu, kami pun langsung membahas masalah ini.
"Saya sangat tersentuh dengan niat baikmu yang ingin menyebarkan pendidikan kepada orang banyak," ucap Maharaja.
"Terimakasih, Pak" aku tersenyum mendengar ucapannya. "Tapi tujuan saya bukan hanya sebatas pemberian ruang bagi tulisan perempuan, tapi juga menerbitkan surat kabar khusus untuk para perempuan di Oetoesan Melajoe," ucapku serius.
"Baik, saya setuju dengan idemu," balas Maharadja.
"Tapi, Pak. Ada satu kendala. Saya tidak bisa melakukan itu seorang diri. Saya tidak bisa meninggalkan sekolah yang sudah saya bangun"
Maharadja terlihat berpikir sejenak. "Bagaimana kalau begini saja. Anak saya, Ratna Djoewita Zoebaidah akan membantumu mengurus masalah ini. Ratna mengurus keperluan redaksi di Padang, sedangkau kau mencarikan kontributor untuk mengisi rubrik-rubrik surat kabar," ucap Maharaja memberikan usulannya.
Aku menyetujui usulan Maharaja. Hingga pada tanggal 10 Juli 1912, terbitlah surat kabar yang bernama Soenting Melajoe. Kata "Soenting" mengacu pada hiasan kepala tradisional yang dipakai perempuan, sedangkan kata "Melajoe" mewakili nama asal daerahku. Maksudnya, surat kabar ini diperuntukan bagi para perempuan di seluruh tanah Melayu. Soenting Melajoe berhasil menjadi surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Dimana semua pengurusnya, bahkan penulisnya adalah perempuan.
Isi tulisan di Soenting Melajoe sangat beragam. Mulai dari membahas isu-isu sosial, tradisionalisme, masalah poligami atau perceraian, pendidikan anak perempuan, hingga puisi. Beberapa teman dan murid dari sekolah Kerajinan Amai Setia juga pernah menulis di Soenting melajoe. Salah satunya ada tulisan tentang obat sakit kolera oleh salah satu temanku. Lalu ada puisi yang ditulis oleh muridku.
Selain dari itu semua, aku juga memfokuskan menulis tentang kegundahanku terhadap realita dunia sekarang. Terutama realita yang berkaitan dengan nasib kaum perempuan, yang masih terpenjara dalam pemikiran-pemikiran sempit. Aku ingin mendobrak pemikirin masyarakat disini agar lebih maju.
Adanya Soenting Melajoe membuatku menjadi lebih sibuk. Aku tetap mengajar di KAS selama 2 jam, lalu mengurus perkumpulan perempuan, dan malamnya aku fokus mengurus Soenting Melajoe. Tapi aku sangat menikmati kegiatanku sekarang.
Banyak yang bertanya mengapa aku harus bekerja sekeras ini. Jawabannya hanya satu. Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum perempuan. Oleh sebab itu aku memilih menyebarkan pendidikan perempuan di surat kabar agar pergerakan yang aku lakukan tidak hanya bersifat lokal, tetapi bisa disuarakan dengan lantang melalui media masa dan bisa dibaca oleh lebih banyak orang.
Seperti biasa, aku dan Ratna menulis artikel. Hari ini aku menerbitkan artikel yang berjudul "Perhiasan Pakaian". Artikel itu memuat tentang keterampilan perempuan Minangkabau dalam menjahit dan merangkai manik-manik pada pakaian.
"Mengapa hari ini kau membahas tentang perhiasan pakaian dalam artikelmu?" tanya salah satu kawanku.
"Bukankah bagus jika kita memiliki keahlian itu? Kita bisa mendapat keuntungan darinya," jawabku.
"Keuntungan seperti apa?"
"Uang. Kita bisa berniaga lewat keterampilan menghias baju. Seperti bangsa lain"
"Apa betul dengan modal keterampilan ini kita bisa menghasilkan uang?" tanya ia sekali lagi.
"Bangsa lain pun bisa, mengapa pula kita tidak bisa?" jawabku menutup obrolan saat itu.
Mungkin masih banyak orang yang mempertanyakan tujuan mempelajari keahlian merias baju. Tapi menurutku keahlian ini sangat penting untuk dimiliki dan ditekuni. Apalagi jika kita bisa menurunkan keahlian ini kepada anak cucu kita, maka itu akan lebih baik. Apabila kepandaian kita itu terus dimajukan, aku yakin karya yang dibuat bisa sampai menjadi barang perniagaan seperti di bangsa lain.
Setelah menerbitkan artikel ini, aku semakin menggali tentang keahlian merias baju lebih dalam. Ilmu itu aku sebarkan kepada murid-muridku yang ada di KAS. Mereka dengan antusias mempelajari keterampilan ini. Aku sangat bangga melihat keantusiasan mereka. Bahkan karya-karya mereka berhasil terjual ke luar negeri.
Selain memasarkan hasil kerajinan para muridku, aku juga menjalin kerja sama dengan pemerintah Belanda karena aku sering memesan peralatan dan kebutuhan jahit-mejahit untuk kepentingan sekolah. Dan ini membuat sekolahku menjadi berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang dimana semua anggotanya perempuan.
KAS semakin maju dan maju. Tapi ternyata kejayaan bagi sekolahku tidak bertahan cukup lama. Pada tanggal 22 Oktober 1916, ada salah seorang muridku yang menuduhku atas penyelewengan penggunaan keuangan. Dengan kepintaran yang telah ia miliki, ia berusaha menjatuhkanku dari jabatan Direktris dan Peningmeester di sekolah Kerajinan Amai Setia. Tentu aku marah atas tuduhan yang tidak aku lakukan. Hal ini menjadi sangat serius hingga harus dibawa ke pangadilan.Â
Hari ini, aku, ayah, dan Abdul mendiskusikan masalah ini di ruang tamu rumah kami. Aku duduk di salah satu kursi sambil memijat pelipisku.
"Ruhana, ayah picayo kau indak ka mungkin malakuan hal itu. Ayah tau bana sifat kau sedari kete'," ucap ayah membuka obrolan.
"Iya, Ruhana. Uda pun setuju dengan ayah. Kau tak perlu risau, kau tak bersalah," sambung Abdul.
"Tapi, Da. Ruhana tak punya kuasa hukum yang kuat. Ruhana masih tak percaya ia bisa tega menuduh Ruhana tanpa alasan. Padahal Ruhana sudah membagikan ilmu yang Ruhana untuknya, tapi ternyata itu malah menyerang diri Ruhana sendiri," ucapku.
"Kau indak buliah bapikiran macam itu. Karano hal iko, kau jangan jadi baputus aso untuak manyabakan ilmu yang kau punyo. Itu mimpi kau sejak lamo, kan?" tanya ayah.
"Iyo, Ayah. Ruhana indak ka mungkin baranti karano hal iko"
"Tenang saja, Ruhana. Uda akan carikan kuasa hukum terbaik untuk kau. Kau jangan risau, kita semua akan mendukung dan ikut ke pengadilan," ucap Abdul meyakinkanku.
Mendengar itu, aku berusaha meyakinkan diriku agar tetap tenang. Ucapan Abdul benar, aku tidak perlu khawatir karena aku tidak salah.
Hari yang ditunggu pun tiba. Hari dimana aku menjalani serangkaian persidangan. Persidangan dihadiri Abdoel, kuasa hukumku, dan keluargaku. Sejauh ini, semuanya lancar. Ayah dan suamiku tak henti-hentinya memberikan semangat. Aku terus berdoa agar keadilan berpihak kepadaku.
Setelah melewati ketegangan di beberapa persidangan, akhirnya hasilnya pun keluar. Aku dinyatakan tidak bersalah, aku sangat bersyukur atas hal ini. Keluargaku pun turut senang dengan keputusan yang ada.
"Alhamdulillah. Kau bebas juga dari semua fitnah ini," ucap Abdul.
"Iya, Uda. Terimakasih atas doa dan dukungan uda"
"Apa yang akan kau lakukan sekarang? Kau akan kembali mengurus sekolahmu?"
"Tidak, Uda"
"Mengapa? Jabatanmu di KAS itu sudah balik. Kenapa kau tidak melanjutkan mengurus KAS?"
Aku menggeleng. "Ruhana berniat untuk pindah ke Bukittingi. Ruhana ingin mendirikan sekolah baru disana," jawabku.
Bukannya aku tak mau lagi mengurus sekolah Kerajinan Amai Setia. Tapi aku memang berniat membuat sekolah baru di Bukittinggi. Aku sudah memikirkan hal ini matang-matang. Disana aku mendirikan sekolah dengan nama "Roehanna School". Aku mengelola sekolah ini seorang diri tanpa meminta bantuan orang lain. Aku melakukan itu agar masalah kemarin tidak terulang lagi.
Roehanna Shcool cukup terkenal. Aku menerima banyak murid dari Bukittinggi hingga daerah lain. Dan di Bukittingi aku tidak hanya mendirikan sekolah, tapi aku juga memperkaya keterampilanku dengan belajar membordir pada orang Cina. Aku belajar membordir menggunakan mesin jahit singer yang hanya dikuasi oleh orang Tiongha.
Aku tak ingin pandai sendiri, aku membagikan lagi ilmu ini kepada para muridku di sekolah. Karena hal itu, aku menerima banyak pesanan mesin jahit. Dan itu menjadikanku perempuan pertama yang menjadi agen mesin jahit di Bukittinggi. Selain mengajar, aku bisa memanfaatkan posisiku untuk berbisnis.
Tak berhenti sampai disitu, aku mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra yang isinya tidak hanya perempuan, tapi ada laki-laki juga. Walaupun hanya aku guru yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, tapi aku diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda.
Selain mengajar dan mengurus sekolah, aku juga tetap aktif dalam membuat artikel. Walaupun sudah tidak bersama Soenting Melajoe, tapi pada tahun 1924 aku diangkat menjadi redaktur di surat kabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang. Tulisan-tulisanku disana juga masih sama, yaitu mengajak para perempuan untuk lebih maju.
Jika diingat perjuanganku dulu, dicemooh, dipandang rendah, bahkan difitnah melakukan kesalahan yang tidak pernah kulakukan, akhirnya sekarang mimpiku tercapai. Dengan kerja kerasku, aku dapat mengubah pola pikir masyarakat terhadap pendidikan kaum wanita yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki. Dan aku sangat menikmati kehidupanku yang sekarang. Aku akan terus belajar dan tidak pernah berhenti untuk menyebarkan ilmu yang kupunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H