Tersebarnya agama Islam di Indonesia tidak terlepas dari sembilan ulama atau biasa dikenal dengan sebutan Walisongo. Mereka telah mengajarkan agama Islam kepada masyarakat pribumi dengan berbagai cara, mulai dari melakukan dakwah melalui kesenian, membangun pondok pesantren, dan lain sebagainya. Dalam tulisan ini, saya ingin membahas tentang  salah satu sosok wali kharismatik yakni Sunan Giri atau Raden Paku.
Raden Paku merupakan putra dari Maulana Ishaq dan Dewi Sekar Dadu (keturunan Raja Blambangan). Saat masih bayi  Raden Paku pernah dimasukkan  ke dalam peti dan dihanyutkan ke laut.  Peti itu bersinar terang di tengah lautan , sehingga menjadikan orang yang melintasi lautan merasa heran. Kemudian peti tersebut diambil oleh awak kapal lalu  diserahkan kepada pemilik kapal, Nyai Ageng Pinatih. Nyai Ageng Pinatih yang tidak memiliki keturunan merasa sangat senang atas kehadiran sosok bayi itu, beliau mengasuhnya dengan penuh kasih sayang.
Saat beranjak dewasa, Raden Paku menuntut ilmu kepada Sunan Ampel di Surabaya. Berbeda dengan santri-santri lain yang menetap di pondok pesantren saat menuntut ilmu, Raden Paku memilih setiap hari pulang ke Gresik. Meskipun jarak antara Surabaya dengan Gresik cukup jauh, Raden paku selalu datang tepat waktu. Hal inilah yang menjadikan sang guru bertanya-tanya, bagaimana Raden Paku dapat menempuh perjalanan dengan waktu yang sangat singkat?. Â Untuk menjawab pertanyaan itu, Sunan Ampel mengutus salah satu santrinya guna mengintai Raden Paku sepulang mengaji. Â
Santri utusan Sunan Ampel melihat keajaiban saat mengintai Raden Paku. Kala Raden Paku pulang dari Surabaya menuju Gresik, tiba-tiba wilayah Gresik berada di hadapannya, sehingga Raden Paku hanya perlu menggerakkan satu langkah untuk mencapai tujuannya. Setelah Raden Paku berdiri di wilayah Gresik, bentuk wilayah itu kembali sebagaimana mulanya. Lantas santri yang diutus itu melaporkan kejadian tersebut kepada Sunan Ampel. Mendengar cerita bahwa santri yang beliau didik merupakan manusia istimewa, Sunan Ampel menyuruh Raden Paku untuk bermukim di pondok pesantren.
Raden Paku mematuhi perintah Sunan Ampel untuk menjadi santri mukim. Selama di pondok pesantren, Raden Paku dikenal sebagai santri yang cerdas, rajin dan patuh, sehingga disayangi oleh gurunya. Pada suatu malam saat seluruh santri telah terlelap, Sunan Ampel mengelilingi area pondok pesantren. Sunan Ampel menyaksikan suatu pancaran cahaya dari salah seorang santri yang sedang tidur. Sunan Ampel pun memberi tanda kepada santri tersebut dengan cara mengikat ujung sarungnya. Keesokan harinya, Sunan Ampel menanyakan kepada para santri terkait siapakah yang menemukan ikatan pada sarungnya. Raden Paku pun mengakui bahwa sarung miliknya terdapat ikatan yang dimaksud. Â Peristiwa ini semakin meyakinkan Sunan Ampel bahwa sesungguhnya Raden Paku akan menjadi sosok yang sangat berpengaruh di masyarakat.
Suatu ketika, Raden Paku ingin pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Sebagai santri yang taat, Raden Paku tak lupa memohon izin kepada Sunan Ampel terlebih dahulu. Sunan Ampel pun merestui keinginan Raden Paku dan menyuruhnya untuk singgah ke Pasai sebelum menuju Makkah.
Saat berada di Pasai, Raden Paku bertemu dengan seorang guru yang sangat hebat. Raden Paku merasa terkejut karena ternyata sosok guru itu merupakan ayah kandung beliau, Syekh Maulana Ishaq. Di sana Raden Paku menggali banyak ilmu tentang agama serta ilmu kewalian. Setelah Syekh Maulana Ishaq memberikan ilmu, beliau menyarankan Raden Paku untuk membatalkan niatnya pergi ke Makkah tetapi kembali ke tanah Jawa. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih membutuhkan dakwah beliau. Ketika hendak kembali ke Pulau Jawa, Syekh Maulana Ishaq memberikan sebuah bingkisan kepada sang buah hati.
''Kuberikan sesuatu kepadamu'' ucap Syekh Maulana Ishaq.
''Apa yang ayah berikan kepadaku ini?'' tanya Raden Paku saat menerima bingkisan.
''Itu merupakan segenggam tanah'' jawab Syekh Maulan Ishaq.
''Untuk apa ayah memberikannya kepadaku?'' Raden Paku bertanya lagi.