Setelah 71 tahun dilantunkan, dalam mahakarya para pemrakarsa bangsa muncul nada-nada sumbang yang berusaha mengubah simfoni ini menjadi simfoni satu nada. Sebuah simfoni yang berisikan seribu jenis alat musik pun, walau suaranya terdengar jelas sampai ke luar angkasa, tak akan bisa melantunkan melodi yang mengalir jika yang dimainkan hanya satu nada saja.
Perbedaan frekuensi gelombang yang berbeda-beda dalam nada-nada lah yang membuat suatu simfoni dapat menarik hati jutaan orang di dunia. Sama seperti simfoni tersebut, Indonesia juga merupakan sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam individual yang unik dan tak tergantikan perannya dalam menjaga persatuan kita. Merekalah Jika berbagai nada yang berbeda itu dibuang dan hanya disisakan satu nada, maka lagu-lagu indah yang awalnya dapat memikat hati ribuan orang tak ada yang dapat dimainkan lagi.
Detik-detik pilkada serentak semakin mendekat, dan oknum-oknum tak bertanggung jawab dan “peternakan-peternakan politik” tumbuh bagai jamur di musim hujan, menyebarkan spora beracun yang menyebabkan epidemi isu-isu serta rumor sesat. Rakyat digiring bagai ternak, dimasukkan dalam lingkungan terkontrol, disuapi provokasi-provokasi tanpa dasar, dan diperah opini dan suaranya.
Bukankah seharusnya kita menggunakan hak bersuara yang telah diberikan kita gunakan dengan bertanggung jawab, bukan untuk keuntungan sesaat? Jangan termakan oleh lidah-lidah beracun para politikus yang berusaha membuka ladang bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk menjalar kedalam pusat dari Bumi Nusantara.
Mereka berusaha untuk memperkaya diri mereka sendiri, dan menyaksikan orang lain menderita hanya untuk sesuap nasi. Juga jangan percaya kepada orang yang berusaha untuk meyakinkan kita semua untuk menyerang individu atau kelompok lainnya. Menyerang kelompok tertentu karena perbedaan kepercayaan tidak akan membuat masalah tersebut, dan hanya akan memperbesar ngarai yang membelah antar kedua kelompok tersebut. Gunakanlah cara damai, dan jaga persatuan yang telah diperjuangkan bersama oleh para leluhur kita.
Sebagai seorang siswa yang beragama Buddha, bersekolah di sebuah sekolah Katolik yang berada disamping Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakarta serta Masjid Cut Meutia,dan berteman dengan seseorang berketurunan Bali penganut Agama Hindu, saya bertanya-tanya kepada hati kecil saya, apakah ini yang diinginkan para pendiri bangsa dan negara kita, suatu negara dimana suara kaum minoritas tidak lagi sebanding dengan kaum mayoritas? Dimana perbedaan dianggap sebagai sebuah aib, bukan keunggulan?
Dimana orang dinilai bukan dari kompetensinya , namun ras, warna kulit, dan agamanya? Akankah mereka merasa bangga karena bangsa yang telah mereka bangun atas dasar rasa kesamaan nasib selama 2,5 abad dijajah, dibubarkan karena anak cucu mereka tidak mampu menerima perbedaan?
Saya berharap bacaan ini dapat menjadi renungan bersama. Jika anda merasa bacaan ini dapat bermanfaat bagi anda, saya mohon kepada para pembaca untuk membagikan tulisan singkat ini kepada orang-orang terdekat anda, sebagai langka kecil bagi Indonesia untuk mencapai kerukunan dan kedamaian.
Nicko Rexmarin, Pelajar SMA Kolese Kanisius
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H