Ibu bumi menebah dada merintih lara. Bapa angkasa, jangan biarkan hujan merancang diet. Anak-anak bumi akan berselimutkan pilu, mendaras duka.
Hujan bergumam lirih. Aku adalah rupa sabar curahan rindu bapa angkasa memeluk ibu bumi. Bila hadirku dicandra pembawa petaka, haruskah aku menahan diri?
Pepohonan seru memohon. Ki hujan, maafkan kami bersaudara. Tak mampu menadah berkatmu di badanku. Menghisap tirta bumi dan menguarkannya. Berdarma air biru bagi titah madyapada. Pasukan kami tutupan tajuk menciut seiring warsa.
Bantala tanah berhatur sembah. Rinai hujan tak lagi leluasa mengelusi hamba. Badan hamba berlabur aspal diseling gedung nan pejal. Tak mampu hantarkan deraimu mengisi perut bumi. Meruahkan limpasan permukaan.
Got, sungai, kanal, setu dan rawa ribut bersahut. Kami pasukan badan air tak mampu menampung aliran limpasmu. Engkau tiwikrama membesar menakutkan. Badanku sesak mengendongmu.
Berpadu serapah limbah sampah. Sebagian badan kami lebam menanggung urugan hunian. Kami menangis melepasmu meronta, meluber, membandang seraya menerjang meluapkan putus asa. Bena.... Â Â
Ibu bumi menunduk, menyapa pelan bernadakan kegetiran. Duhai anak-anak bumi, berhentilah menghujat hujan. Andai hujan menata diet. Tirta bumi kian langka. Intrusi air laut makin merangsek. Sengsara bakal mendera.
Keterangan: [bantala: tanah; bena: banjir; madyapada: alam manusia; tirta: air; tiwikrama: pengubahan diri menjadi raksasa ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H