Kosakata uwur tutur sembur biasanya dilekatkan pada hakekat orang tua. Bukan masalah tua dalam hal bilangan umur namun juga pengalaman, kesempatan berkiprah dan estafet nilai kebijaksanaan. Apakah terjadi aksi saling tindak antara menjadi tua dan budaya uwur tutur sembur?
Budaya uwur tutur sembur laiknya benih yang bertumbuh. Akan tumbuh subur pada lingkungan yang tepat dan pemeliharaan yang runtut. Sehingga mampu menabrak pakem umur. Tidak jarang seseorang masih muda usia namun pekat menguarkan aura uwur tutur sembur.
Kompasiana sebagai blog keroyokan bersama tak ubahnya dengan ladang persemaian benih budaya uwur tutur sembur. Budaya yang dari susunan kata terlihat beraroma Jawa. Namun sungguh ini bukan masalah kedaerahan.Esensinya merebak pada kehidupan secara umum terlepas dari sekat kedaerahan.Â
Mari simak bersama narasi budaya uwur-tutur-sembur yang bertumbuh di Kompasiana.
Budaya "Uwur-Tutur-Sembur" di Kompasiana
Uwur berkenaan dengan tindakan menabur memberi bekal. Genggaman tangan membuka ke bawah, menebarkan isi kepada lingkungan di sekitar. Persyaratan dasarnya adalah genggaman yang berisi, bersedia membuka dan hukum alam gravitasi akan menebarkan ke bawah. Dorongan angin akan memperluas sebaran dengan radius yang lebih lebar.
Lalu apakah isi dari genggaman yang ditebar? Secara umum dimaknai sebagai harta benda. Sebagai pribadi yang dituakan dan menerima aneka kelebihan, alam mengajak untuk berbagi. Uwur atau kepyur kepada sesama. Kehidupan dinamis mengajarkan tidak harus menunggu menua atau berlebih untuk uwur. Bukan hanya harta benda yang diuwurkan.
Pengetahuan, ketrampilan, informasi maupun sukacita juga menjadi bagian dari budaya uwur. Kompasiana mewadahi aneka ragam wujud budaya uwur. Selaku pembaca, hati dan pikiran kita menerima aneka taburan makna dari tulisan yang kita nikmati.
Tutur lekat dengan kata-kata ataupun nasihat. Sesepuh mengatakan seandainya tidak mampu uwur ya setidaknya tutur. Secara sederhana tutur berkenaan dengan sajian lisan yang diucapkan juga verbal tulisan.
Tutur lisan maupun tertulis yang menebar rasa damai, bukan menyulut bibit perpecahan. Tutur yang mengandung alternatif pemecahan masalah. Tutur yang solutif meminjam istilah Bu Tedjo dari film Tilik.
Energi tutur melibatkan gerakan lidah dan bibir, sentuhan jemari pada papan kunci. Energi yang sesungguhnya berasal dari olah pikir dan olah rasa. Menyatunya kata ucap dan kata tindak. Yuup energi tutur yang sangat positif berasal dari keteladanan sang penutur. Ibaratnya sang penutur adalah surat terbuka.
Bukankah Kompasiana ladang dengan hamparan tutur yang senantiasa siap dituai? Mari pilah pilih tutur yang pas dengan kebutuhan kita yang dinamis.
Sembur mewakili rasa kata berkat dan lantunan doa. Kembali meminjam kata bijak sesepuh, apabila tangan tak mampu uwur, mulut tak sampai katakan tutur, bukankah hati masih mampu mendaras sembur?
Sembur mewujud dalam tindakan membawa seseorang dalam hati, menempatkannya dalam ingatan baik. Mendaraskan pinta doa yang terbaik bagi seseorang yang disembur dalam relasi vertikal maupun horisontal. Sembur melahirkan penerimaan dan didasari oleh empati.
Sapaan hangat yang meningkatkan kepercayaan diri, meraih pribadi dalam relasi juga bagian nyata dari sembur. Sembur yang memotivasi, menginspirasi dan menghargai diri pribadi serta sesama. Coba kita tengok betapa ragam sembur dalam kehidupan berKompasiana, semisal melalui tegur sapa komen dan vote yang saling membangun.
Budaya "Uwur-Tutur-Sembur" tumbuh subur di Kompasiana. Dilakukan lintas generasi melalui kegiatan membaca dan menulis. Apapun motif penggeraknya entah pelajar mahasiswa mengerjakan tugas, aktualisasi diri. Hingga lansia tetap aktif berbagi seraya merawat semangat sehat.
Sapta Windu Bahtera
Saat meracik tulisan ini, salah satu rujukan adalah pasangan Ibu Roselina-Pak Tjiptadinata Efendi. Saya menyapa beliau Pak Tjip terkadang Angku Tjip dan Ibu Lina. Sapta windu bahtera telah berlayar. Windu artinya 8 tahun, sapta adalah 7, sapta windu bermakna 7X8 atau 56 tahun bahtera keluarga beliau.
Beliau berakar dari kultur Ranah Minang, bertumbuh kembang dalam budaya Nasional bahkan Internasional. Saya yakin beliau tidak keberatan dengan budaya uwur-tutur-sembur yang sekilas berbau keJawaan. Karena beliau menerapkannya dalam lingkungan Kompasiana.
Masalah uwur beliau pelaku aktif melalui aneka bentuk. Sebagai Grand Master Reiki beliau tak lelah uwur ilmu kesehatan batin dan raga. Untuk tutur, produktivitas, konsistensi dan persistensi menulis telah beliau buktikan. Beliau adalah surat terbuka atas tutur yang dituliskannya. Begitupun untuk sembur, sapaan kehangatan beliau adalah sembur menyejukkan di lingkungan Kompasiana.
Angku Tjip-Ibu Lina selamat syukur atas berkat Sapta Windu Bahtera. Terima kasih atas keteladanan budaya uwur-tutur-sembur.
Wasana basa
Budaya uwur tutur sembur bagian dari pengikat kebersamaan. Persatuan diwarnai harmoni kerukunan. Kompasiana menjadi ladang persemaian dan tumbuh kembang budaya ini. Setiap kompasianer berperan serta melakukan bagiannya masing-masing. Salam hangat dan sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H