Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyimak Budaya "Uwur-Tutur-Sembur" di Kompasiana

6 Januari 2021   16:13 Diperbarui: 7 Januari 2021   15:02 3794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Energi tutur melibatkan gerakan lidah dan bibir, sentuhan jemari pada papan kunci. Energi yang sesungguhnya berasal dari olah pikir dan olah rasa. Menyatunya kata ucap dan kata tindak. Yuup energi tutur yang sangat positif berasal dari keteladanan sang penutur. Ibaratnya sang penutur adalah surat terbuka.

Bukankah Kompasiana ladang dengan hamparan tutur yang senantiasa siap dituai? Mari pilah pilih tutur yang pas dengan kebutuhan kita yang dinamis.

Sembur mewakili rasa kata berkat dan lantunan doa. Kembali meminjam kata bijak sesepuh, apabila tangan tak mampu uwur, mulut tak sampai katakan tutur, bukankah hati masih mampu mendaras sembur?

Sembur mewujud dalam tindakan membawa seseorang dalam hati, menempatkannya dalam ingatan baik. Mendaraskan pinta doa yang terbaik bagi seseorang yang disembur dalam relasi vertikal maupun horisontal. Sembur melahirkan penerimaan dan didasari oleh empati.

Sapaan hangat yang meningkatkan kepercayaan diri, meraih pribadi dalam relasi juga bagian nyata dari sembur. Sembur yang memotivasi, menginspirasi dan menghargai diri pribadi serta sesama. Coba kita tengok betapa ragam sembur dalam kehidupan berKompasiana, semisal melalui tegur sapa komen dan vote yang saling membangun.

Budaya "Uwur-Tutur-Sembur" tumbuh subur di Kompasiana. Dilakukan lintas generasi melalui kegiatan membaca dan menulis. Apapun motif penggeraknya entah pelajar mahasiswa mengerjakan tugas, aktualisasi diri. Hingga lansia tetap aktif berbagi seraya merawat semangat sehat.

Sapta Windu Bahtera

Saat meracik tulisan ini, salah satu rujukan adalah pasangan Ibu Roselina-Pak Tjiptadinata Efendi. Saya menyapa beliau Pak Tjip terkadang Angku Tjip dan Ibu Lina. Sapta windu bahtera telah berlayar. Windu artinya 8 tahun, sapta adalah 7, sapta windu bermakna 7X8 atau 56 tahun bahtera keluarga beliau.

Beliau berakar dari kultur Ranah Minang, bertumbuh kembang dalam budaya Nasional bahkan Internasional. Saya yakin beliau tidak keberatan dengan budaya uwur-tutur-sembur yang sekilas berbau keJawaan. Karena beliau menerapkannya dalam lingkungan Kompasiana.

Masalah uwur beliau pelaku aktif melalui aneka bentuk. Sebagai Grand Master Reiki beliau tak lelah uwur ilmu kesehatan batin dan raga. Untuk tutur, produktivitas, konsistensi dan persistensi menulis telah beliau buktikan. Beliau adalah surat terbuka atas tutur yang dituliskannya. Begitupun untuk sembur, sapaan kehangatan beliau adalah sembur menyejukkan di lingkungan Kompasiana.

Angku Tjip-Ibu Lina selamat syukur atas berkat Sapta Windu Bahtera. Terima kasih atas keteladanan budaya uwur-tutur-sembur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun