Bukan....ini bukan tentang film pendek yang sedang viral. Menelisik kisah tilik dan pulang yang membuat keceriaan susuh keluarga. Menyulut bibir eh paruh menceriap tiada henti. Dari berisik hingga tak mampu berkata-kata.
Terminologi pulang dan tilik
Meminjam kisah keluarga burung yang bersusuh di tepian Rawa Pening. Induk pulang, begitu kata singkat. Celoteh riuh para piyik anak-anak burung menyambut gembira kepulangan induk. Apalagi melihat thotholan yang disemat diantara paruh.
Pulang ke susuh. Yuup susuh sederhana. Teranyam dari rerumputan yang bersifat fana. Menjadi lekat oleh air liur kasih sayang induk burung bagi keluarganya.
Thotholan karena mode kerjanya memang dithothol. Disantap dengan menggunakan paruh. Meski lazim disebut dipatuk, namun jarang dijumpai sebutan patukan. Thotholan mengait ilusi dithothol sehingga menambah kenikmatan. Itu juga istilah kami kalau menikmati penganan.
Saat membahagiakan induk burung adalah saat melatih para piyiknya belajar terbang. Saat mengharukan adalah melepas anak burung belajar membuat susuhnya sendiri.
Meski mereka memiliki susuh sarang sendiri secara berkala mereka mengepakkan sayap. Pulang.....
Kata pulang sungguh sederhana, terdiri dari 2 huruf hidup/vokal dan 4 huruf mati/konsonan. Mari berhitung, entah berapa kali sehari kita mengucapkannya. Energi yang terlontar dari kata pulang luar biasa.
Kata pulang selalu menceriakan susuh keluarga, saat anak burung menceriapkannya ke induk mereka. Tak perduli betapa sering dari interval jadwal mingguan hingga berjalin bulan. Tak peduli pula seberapa singkat dari semingguan hingga waktu singkat di Sabtu subuh hingga Minggu siang memanfaatkan liburan akhir pekan saja.
Singkatnya waktu maupun panjangnya jeda kejadian terulang tak mampu mengubah terminologi pulang menjadi tilik atau menjenguk. Kata pulang mampu memompakan semangat, meniupkan rasa tenteram. Kembali ke rumah, kembali ke asal, meringkuk di susuh yang membesarkannya dalam keluarga.