Pelafalan huruf vokal e memiliki variasi dari e pepet, e (taling terbuka) dan e (taling tertutup). Tanpa informasi pelafalan diakritik, sering terjadi penyimpangan makna karena kesamaan huruf. Malah sering juga untuk bahan canda penyegar suasana. Asal tidak menyebabkan salah makna yang prinsipial.
"Tolong, kecap masakan ini, rasanya kurang kecap" Tulisan kecap pertama berbeda cara pengucapannya dengan kecap, kata berikutnya. Atau, "Tolong ada orang kenthir kentir...." Baiklah itu ranah ahli bahasa Indonesia. Namun pengguna awampun tidak tabu menyoalnya.
Antara kenthir, kentir dan kreativitas
Menyimak jagad alit Kompasiana beberapa hari ini lumayan riuh dengan celethukan bernuansa kenthir. Sebenarnya bukan hal baru. Toh merujuk pada aneka celoteh nostalgia, terdapat komunitas planet kenthir yang ngetop pada zamannya.
Baca juga: Mengenal Penuturan Arkifonem dalam Kajian Fonologi Bahasa Indonesia
Menekuk definisi yang dipahami mengurung kebebasan, para sahabat memaknai kenthir secara unik. Kenthir, dengan huruf e pelafalan diakritik e pepet. Senada dengan lafal senyum atau sedikit. Kenthir dimaknai sebagai tidak mengikuti pakem atau arus utama.
Terdapat unsur nyleneh, tidak biasanya. Namun jauh dari paugeran kenthir pada umumnya loh. Kenthir yang lumayan bersaudara dengan gemblung ataupun gendheng. Padahal ada tokoh Ki Gendheng Pamungkas yang jauh dari gendheng sesungguhnya.
Tidak mengikuti pakem tidak selalu bermakna penyimpangan. Bisa jadi itu perluasan teba. Atau mengambil sudut pandang yang berbeda sehingga memberikan pemahaman yang lebih holistik.
Bukankah cara berfikir di luar kebiasaan itu penanda awal kreativitas? Minimal ada kesamaan bunyi konsonan awal antara kenthir dengan kreativitas. Utak-utik setengah memaksa.
Kosakata berikutnya adalah kentir. Kentir, dengan huruf e pelafalan diakritik e taling tertutup. Senada dengan lafal sate. Kentir dimaknai sebagai hanyut oleh aliran yang deras. Arti harafiah semisal kentir di Kali Tuntang.