"Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang....." petikan lirik dari lagu Ebiet G. Ade yang bertajuk Berita Kepada Kawan. Nah diadopsi sedikit, "coba kita bertanya pada pohon Bodhi yang berbudi........" Saatnya kita bertanya, tanaman menjawab.
Pohon Bodhi di Vihara Watu Gong
Bagi pelintas jalur Semarang-Solo melalui jalur nontoll, akan melewati kawasan Watu Gong. Terlihat bangunan menjulang di sebelah kiri jalan. Itulah pagoda Avalokitesvara, lebih dikenal dengan sebutan Vihara Buddhagaya Watu Gong, Semarang.
Sebelum melangkah ke undakan di depan vihara, terpikat dengan pohon Bodhi. Sosoknya tinggi sekaligus besar melebar, berdiri anggun menyapa setiap pengunjung. Mari sejenak mengenalnya.
Sebagai perekatnya pohon ini dinamai dengan pohon Bodhi alias sacred fig atau ara suci. Dikenal pula sebagai pohon Bo, dengan nama ilmiah Ficus religiosa. Dapat dijumpai pada hampir seluruh bangunan keagamaan Budha, semisal di Candi Borobudur, Vihara Buddhagaya Watu Gong.
Ficus religiosa masuk dalam Moraceae, keluarga ara dan mulberi. Memiliki banyak sebutan, semisal di India dan Nepal disebut pohon pippala, pohon peepal atau pohon ashwattha. Artikel umum menyebutnya Pipal tree.
Mari tengok daunnya. Tanaman yang selalu menghijau ini memiliki daun dengan bentuk yang unik yaitu hati yang ujungnya seolah berekor panjang. Hati yang semakin meruncing lurus, kedalaman tiada batas.
Dari tangkainya, buah lebat melekat....aneka ukuran, beragam tingkat kematangan. Wujud buahnya mirip dengan buah Ara atau buah Tin saudaranya sesama kelompok fig.Â
Ukuran bijinya sebesar kelereng. Lumayan mencolok dari pohon nan tinggi besar buahnya relatif mungil, seperti pada pohon beringin raksasa yang berbuah mini kecil.
Tak heran masyarakat di India menggunakannya sebagai anti bakteri untuk pengobatan kulit. Kini dikembangkan untuk ekstrak aneka metabolit sekunder dasar fitofarmaka. Mengingat penulis, simbok kebun buta fitofarmaka, disertakan saja tautannya.
Pembelajaran dari Pohon Bodhi Berbudi
Menikmati semilir angin di keteduhan pohon Bodhi sambil liyer-liyer, menetes setitik pencerahan keteladanan.
Satu, hidup harus berbuah seberapapun ukurannya. Tidak ada buah yang terlalu kecil, pun tidak ada buah yang membanggakan diri karena berukuran besar. Buah tidak harus dimaknai dalam rupa keberhasilan atau kehebatan. Buah adalah hakekat hidup, bukan tujuan hidup.
Menarik pada F. religiosa, buah muncul dari ranting. Tentunya hanya ranting yang melekat pada pokok alias dahan yang mampu berbuah. Ranting yang tiada berbuah siap berhadapan dengan Tukang Kebun sejati yang berbekal gunting pemotong.
Dua, buah lebat yang ditopang oleh daun hati yang meruncing. Seolah menegaskan buah adalah hasil tempaan "mesu ati" mengasah hati terus menerus. Banyak orang mengatakan proses tidak mengkhianati hasil.
Buah kehidupan merupakan resultante aneka proses penyertanya. Pemaduan akal budi dalam setiap aktivitas nyata. Proses yang tidak pernah selesai selama hayat masih dikandung badan.
Tiga, dari setiap organnya didapat sari obat. Tiada bagian tanpa fungsi. Seolah setiap solah atau gerakan aktivitas bersifat anti. Mungkin anti hoax, anti gosip, anti meri serta aneka anti. Kehadirannya menyehatkan dan penuh fungsi. Senada dengan falsafah urip iku urup.
Empat, dahan yang mengepak melebar memberi kesejukan sesiapa tanpa memandang rupa. Seraya puncak pohon tetap bertumbuh ke atas mengarah ke sang surya sumber energi kehidupan utama. Gerak vertikal berbarengan dengan relasi horisontal.
Permenungan di bawah pohon Bodhi sekian warsa lalu yang belum mampu diwujudnyatakan dalam kehidupan nyata. Terima kasih pohon Bodhi, engkau kembali menyentilku di Hari Raya Waisak 2020. Coba kita bertanya pada pohon bodhi yang berbudi....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H