Ternak adalah aspek maskulinitas dan tenun wujud sisi femininitas. Pewarna alam tenun diantaranya berasal dari daun tarum atau indigofera. Kandungan gizi hijauan Tarum juga menjadikannya pakan ternak unggul.
"Ada harmoni antara tenun-ternak terentang melalui hijauan tarum", batin simbok kebun. Mari simak narasinya.
Maskulinitas Ternak dan Femininitas Tenun
Visualisasi flora dan fauna dalam selembar kain sangatlah umum. Motif kain menjadi penciri produk maupun asal kain. Sebagai contoh, tenun dari kawasan Timur semisal Sumba, kerap menonjolkan unsur fauna atau hewan.
Menyimak tenun layaknya menyarikan isi kebun. Bermula dari proses mengumpulkan dan memilin serat-serat tanaman maupun hewan.Â
Semisal kapas dan wol menjadi benang. Memintal benang menjadi kain hingga sejumput mahakarya seni tenun.
Sejenak mengenal Mbak Kiki Chandrakirana dari Sekar Kawung, adalah nukilan berkah. Beliau menjelaskan bahwa esensi maskulinitas dan femininitas tertuang dalam ternak dan tenun.
Ternak merujuk pada aspek maskulinitas. Tenun mewadahi sisi femininitas. Terjalin harmoni ternak-tenun melalui visualisasi ternak dalam tenun.Â
Ternak dan tenun menjadi komponen penting dalam belis atau mahar perkawinan di Sumba.
Pewarna Alam Indigo
Sejarah panjang terentang untuk pewarna kain, serat maupun benang dari pakaian yang sekarang kita kenakan.Â
Pada mulanya semua pewarna berasal dari alam. Kebun dan lingkungan sekitar menyediakan aneka sumber pewarna alam. Pengetahuan lokal yang menjadi dasar kearifan lokal.
Salah satu contoh adalah warna biru yang diekstrak dari hijauan daun genus Indigofera. Tumbuhan yang digunakan adalah Indigofera tinctoria yang disebut sebagai indigo sejati dengan aneka nama lokal, semisal Nila, Indigo, Tarum (Sunda), Tom (Jawa).