Kompleksitas kehidupan memicu munculnya aneka stressor penyebab stres. Aneka variasi gangguan yang mempengaruhi kestabilan emosi. Mulai yang mengarah ke dalam, menjadi penyendiri, menutup diri hingga yang eksplosif.
Kesehariannya tetap dapat melaksanakan aktivitas, seolah tidak berbeda dengan orang lain. Tanpa pengenalan dan deteksi dini dapat berkembang ke tahap yang lebih parah.
Kini perhatian terhadap masalah kesehatan mental mengalami perbaikan. Kesadaran diri dan keluarga inti maupun pendukung meningkat. Dukungan publik juga kian ramah.
Klinik psikologi, psikiatri menduduki tempat yang setara dengan klinik gigi, klinik jantung. Ada pribadi yang memiliki masalah gangguan jantung. Mengapa harus dibedakan dengan penderita masalah gangguan mental atau kejiwaan.
Hari kesehatan mental sedunia
Permasalahan gangguan mental bukan hanya bersifat lokal kasuistik. Menjadi keprihatinan tingkat global. Hingga dicetuskannya hari kesehatan jiwa sedunia yang digaungkan setiap tanggal 10 Oktober (dua). Diinisiasi oleh the World Federation for Mental Health pada tahun 1992. Fokus untuk tahun 2019 adalah masalah bunuh diri.
Penyadaran masalah kesehatan mental yang sederap dengan upaya peningkatan masalah kesehatan fisik. Bila teknologi peningkatan kesehatan fisik semakin berkembang. Tentunya layak pula bila kesadaran, pendekatan dan pengobatan kesehatan jiwa juga sepadan.
Upaya edukasi masyarakat yang berkelanjutan. Penerimaan dan tak menjadikannya tabu dalam perbincangan. Penderita dan keluarganya diberi kesempatan mendapat penjelasan, diterima dengan wajar di tengah komunitas umum.
Komunitas mendapat edukasi untuk menerima seseorang yang sedang menderita gangguan kejiwaan dengan aneka tingkatannya. Penerimaan yang menjadikannya bersemangat mencari upaya kesembuhan.
Era komunikasi global mempermudah transfer teknologi dan rekayasa penanganan penyembuhannya. Pendekatan teknologi, psikologi hingga ranah rekayasa sosial.
Belajar Peduli Kesehatan Jiwa dari Pupuh Tembang Dandanggula