Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyimak Keserakahan ala "Uthak-uthak Ugel"

19 Maret 2019   21:30 Diperbarui: 19 Maret 2019   22:04 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dongeng uthak-uthak ugel

Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kami kruntelan di dekat Bapak yang mendongeng.....

.... Uthak uthak ugel, nyengkelit kudhi bujel.....

"Hendak kemana, kek?"
"Hendak mengambil buah elo"
"Ini ada satu piring mau, Kek?"
"Emoh, kurang ..."
"Sekeranjang mau"
"Emoh, maunya satu pohon"

**

.... Uthak uthak ugel, nyengkelit kudhi bujel....

"Hendak ke mana, kek?"
"Hendak mencari minum"
"Ini ada segelas mau, Kek?"
"Emoh, kurang ..."
"Sekendhi mau"
"Emoh, maunya satu sungai"

**

Pada akhirnya uthak uthak ugel ini mati karena perutnya meletus. Buah elo satu pohon dan volume air sungai melebihi kapasitas perutnya. Mulut kami selalu menganga takjub setengah lega meski cerita ini berulang kali didongengkan tanpa bosan.

Saya merasa itu semua adalah dongeng, cara Bapak menenangkan kami agar tidak gaduh. Juga membujuk agar segera tidur saat malam menjelang. Suatu kewajaran orang tua mendongengi anak-anaknya.

Kini memandangnya dalam bingkai berbeda. Cara Bapak mengajar budi pekerti secara tidak langsung. When enough is enough..., menakar kebutuhan dan keinginan. Bila perlu sepiring atau sekeranjang mengapa harus sepohon. Perlu yang bergeser menjadi ingin dan menjadi benih keserakahan.

Keserakahan tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi komunitas bahkan lingkungan semesta. Kesatuan alam antara manusia dengan ciptaan lain baik flora maupun fauna. Keserakahan menorehnya hingga ekosistem rusak.

Keserakahan mengoyak persaudaraan komponen alam 

Tidak tahu uthak uthak ugel ini jenis titah apa. Panggilan 'kek' tidak selalu merujuk kepada titah manusia. Pun bukan melulu merujuk pada gender laki-laki. Apalagi klasifikasi umur tua.

Masyarakat Jawa pada khususnya, menggunakan sebutan 'kek' pada suatu subyek yang dirasa perlu diwaspadai. Ada kalanya penghormatan, terasa pula rasa takut akan dominansinya. Sebutan 'kek' untuk memangkas kesenjangan rasa takut. Ada nada membujuk untuk tidak mencelakai kami.

Semisal panggilan kepada binatang harimau. Kultur budaya Jawa menyebutnya 'kyaine'. Masyarakat Sumatera memanggilnya 'Datuk' atau 'Inyiak' Pengakuan kekuatan harimau. Sebutan kyaine, datuk ataupun inyiak menjadi personifikasi, mendudukkan harimau sebagai sahabat bagian masyarakat manusia. Harapannya adalah saling menjaga bukan memangsa.

Dongeng uthak-uthak ugel melibatkan sosok uthak-uthak ugel, pohon elo dan sungai. Sosok dapat berupa pribadi maupun kelompok yang menguasai pohon elo, atau kawasan pepohonan hingga hutan untuk memenuhi keinginannya pribadi. Keinginan yang melebihi kebutuhan. Mengurasnya melebihi kemampuan recoveri alam.

Makan buah elo yang berlebihan menyebabkan kehausan. Mungkin getahnya merangsang gatal di tenggorokan dan perlu gelontor air. Tak cukup satu teguk hingga satu gelas. Sungai dibendungnya sesaat. Keserakahan akan buah elo memicu keserakahan akan air. Tiada katup akan terpuaskannya kata cukup. Keserakahan mengoyak persaudaraan komponen alam.

Uthak-uthak ugel masa kini

Namun kini saya semakin bertanya mungkinkah uthak uthak ugel ini ada? Ditandai dengan menyusutnya populasi tumbuhan elo (Ficus racemosa sinonim Ficus glomerata). Sesepuh kita memanfaatkannya sebagai tumbuhan obat, pengetahuan dan kearifan lokal yang kini semakin banyak digali ulang. Benarkah karena habis dimakan uthak uthak ugel yang setiap kali makan tak cukup sepiring namun satu pohon....

Bisa jadi tumbuhan elo hanya salah satu contoh. Menyusutnya keragaman tumbuhan saat hutan hujan tropis beralih menjadi hutan produksi. Bukan anti alih fungsi lahan. Tentunya dibarengi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Peruntukan selaras dengan daya dukung alam.

Pun paparan data dan fakta semakin menjoroknya jalur intrusi air laut. Serta meningkatnya frekuensi kekurangan air, apakah juga karena disedhot uthak uthak ugel? Lalu memuntahkannya kembali dalam rupa banjir.

 Ataukah "jiwa uthak uthak ugel" merasuk dan menyemai dalam diri kita? Tidak mampu lagi menakar perlu dan ingin. Benih keserakahan merekah menjadi pola keseharian. "hiiiii wedi eh takut ...." Pengingat diri, edukasi diri bagaimana berlaku bersahabat dengan alam, meski belum ada kontribusi berarti bagi kelestariannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun