Bagi pengunjung sepuh tetap dapat menikmati. Udara segar, suasana santai sejenak terlepas dari rutinitas. Bila cuaca cerah sedikit jalan-jalan di pekarangan luas ini melemaskan otot kaki.
Kami berkunjung hampir senja, lah niatnya meresapi icon Langit Senja. Bersamaan dengan derai hujan yang lumayan deras sehingga kurang bisa menjelajah sudut-sudut yang tertata apik dan terlihat elok di tebaran foto. Menyiasati rontokan daun dari pepohonan rindang, pengelola memasang kanopi jala. Menadah guguran daun sehingga pelataran tidak segera kotor. Pepohonan alami dibiarkan menjadi bagian dari taman.
Bagaimana dengan sajian kopinya? Tersedia aneka menu racikan kopi, sayangnya saat ingin menjajal kopi pencerita senja, salah satu menu andalan, sedang kosong. Kopi pencerita senja. Penamaan yang menggugah imajinasi, menyesap kopi beraura senja. Layaknya jejak pencerita senja, sebait puisi yang ditorehkan pada dinding kaca Langit Senja.
Tergoda menanyakan esensi pola latte art kepada petugas dijawab itu gambar pemanjat pohon dan penunggang kuda. Mengerutkan kening ooh benar juga terlihat sepasang dahan dan tangan yang menggapai. Penunggang kuda? Aha ternyata coretan penunggang jaranan. Siapa tahu menjadi impian sang pengelola, nantinya ditambahkan olah raga berkuda di Bumi Kayom.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H