Secangkir kopi di langit senja. Ini bukan tentang puisi ataupun judul fiksi. Hanya secuil cerita menyeruput kopi bersama keluarga di Bumi Kayom, Salatiga.
Secangkir kopi, panas mengepul diseruput oleh sekelompok pria berkemul sarung sambil mencakung di warung. Kadang diseling bermain catur. Itulah memori warung kopi yang ada di benak saya.
Aroma kopi tak hanya menguar dari lapau. Kini hampir setiap pojok menjelma menjadi aneka versi warung kopi. Mulai yang tersaji di cangkir blirik hingga menetes dari alat pres. Kopi tak lagi seteguk cairan yang mengaliri tenggorokan. Secangkir kopi menjadi gaya hidup.
Salah satu warung kopi yang sedang ngehits di Salatiga adalah Langit Senja. Fotonya wira-wiri di media sosial. Layaknya magnet kuat yang menarik pengunjung bahkan dari luar kota.
Mengikuti petunjuk gooegle map kami menyusuri Ramayana Mall yang sekian tahun lalu berupa Taman Sari Salatiga. Menyisir tepian Kali Taman, kolam renang dengan air sumber yang dulu menjadi tempat bermain noni dan sinyo Belanda. Mengikuti jalan Benoyo, Canden Perengsari, Makam Meijing hingga bersua lokasi Bumi Kayom.
Bumi Kayom dan Langit Senja
Menilik bentuknya, bangunan utama di Bumi Kayom adalah eks pabrik. Penamaan bumi kayom yang apik. Kayom berasal dari bahasa Jawa yang bermakna ternaungi. Merujuk pada kondisi lingkungan yang terasa teduh oleh naungan pohon-pohon berukuran besar.
Areal Bumi Kayom mencakup gabungan resto Tanah Air penyedia aneka kudapan ringan hingga berat. Bangunan semacam rumah kaca yang transparan dari segala arah berada di pekarangan dalam, inilah Langit Senja. Langit senja rumah kopi.