Keseharian saya, menggunakan bahasa daerah setempat dan bahasa Indonesia. Menggunakan ya menggunakan, belum tahap menguasai. Meski keseharian berbahasa Indonesia, begitu banyak kaidah bahasa Indonesia yang saya langgar baik dalam bahasa tutur maupun bahasa tulis.
Begitupun dalam berbahasa daerah. Tata krama berbahasa, pemilihan diksi sering diabaikan. Prinsip dasarnya asalkan pasangan bicara saling memahami makna percakapan. Apalagi penguasaan aksara daerah, dalam hal ini huruf Jawa. Nol puthul....alias buta aksara, meski sudah pernah mendapatkan pelajaran tersebut.
Bahasa daerah dan sastra bagian dari budaya. Budaya yang menunjukkan peradaban suatu bangsa. Untuk estafet antar generasi, bagaikan benih perlu disemai dan dirawat agar lestari. Salah satunya melalui wujud blog dan kegiatan ngeblog. Upaya menularkan virus positif bangga berbahasa daerah.
Berhasilkah? Aha, jauh panggang dari pada api. Sebagai penghiburan, minimal sudah mencoba. Ini sebagian ceritanya.
Blog Wijikinanthi
Wijikinanthi. Ya wijikinanthi dipilih sebagai penanda blog. Penggabungan dari kata wiji dan kinanthi.
Wiji dimaknai sebagai benih. Bagian dari tumbuhan yang menyimpan sumber kehidupan. Pengaturan alam untuk melestarikan generasi. Umumnya berukuran kecil, semisal benih sawi maupun wortel. Ada kalanya berukuran besar, semisal bibit kelapa
Kata kinanthi bermakna disertai perawatan. Kinanthi juga bagian dari sekar macapat. Karakternya adalah pemeliharaan baik oleh bagian masyarakat yang dituakan maupun oleh Sang Pemelihara Agung.
Penanda wijikinanthi disematkan dengan harapan, benih niat kecil suka bahasa dan sastra daerah ini menjadi sarana pembelajaran, khususnya budaya Jawa. Menjadi pemantik untuk menarik kolaborasi yang lebih luas agar kemanfaatannya bermakna. Begitulah yang disajikan pada postingan perdana, atur pambagya yang bertanggal 19 Januari 2015.
Pertumbuhan Wijikinanthi