"Ini mewujudkan mimpi mantan calon sinder hutan yang wurung/batal" terang Mbak Ketut, sahabat kebun tentang karya wastra yang digelarnya. Cenik jegeg art ecoprint, demikian penanda yang diusungnya.
Cenik jegeg... terasa nuansa Bali, cenik si mungil dan jegeg nan manis, ooh cenik jegeg si mungil yang manis. Klop dengan tampilan sang penggagas, pun gaya karya yang menggoda untuk disampirkan di pundak.
Dedaunan dalam selembar scarf
Kala seorang guru biologi, menjelaskan aneka bentuk daun dari menjari, mirip hati hingga pita. Serentak dahi bocah-bocah kecil membentuk kerut samar. Coba lepaskan anak didik ke kebun bebas, sila pilih beberapa daun yang dapat terjangkau.
Lalu sang guru memilahkan berdasar bentuk dan menjelaskannya. Yakin, kenangan itu akan terpatri lebih lama. Belajar menjadi menyenangkan.
Demikian juga kiranya konsep yang diusung oleh Mas Kikis dan Mbak Ketut. Memindahkan kebun dalam sehelai syal. Kenangan keteduhan kebun terasa membalut pemakai syal.
Hasilnya setiap lembar scarf akan beda corak. Pola jiplak sederhana yang dilakukan semasa kanak-kanak menginspirasi karya seni. Bahkan selembar daun krowak digigit ulatpun terdokumentasi dalam scarf.
Bahan scarf yang digunakan bervariasi dari sutra murni hingga aneka bahan melirik selera konsumen. Kerumitan pola dan pewarnaan menentukan penetapan harga. Warna alaminya menyuguhkan scarf pastel yang anggun.
Bahan pewarna alami
Mengagumi warna pastel yang cenderung kehijauan hingga kecokelatan mengingatkan pada tenun wastra daerah bagian Timur, semisal Sumba. Ternyata sama-sama menggunakan warna bahan alami. Mas Kikis menunjukkan besek anyaman bambu berisi aneka pewarna alami.