Setiap masa menyuguhkan keelokannya masing-masing. Menapaki jalan Diponegoro alias Toentangscheweg Salatiga di bulan April terasa berbeda, penuh guguran daun di antara deretan mahoni pohon ki hujan (Swietenia mahagoni) Â yang menaunginya. Mendongak menatap beberapa pohon mulai terlihat meranggas merontokkan mahkota daunnya.Â
Padahal Maret yang dicandra hujannya 'mak ret' intensitas turun drastis baru saja berlalu dan April yang ditandai hujan 'pril-pril' alias intensitas rendah belum mencapai puncak purnama, pun parade garengpung masih hinggar penanda awal peralihan musim hujan ke kemarau. Nyali usil saya bertanya, pesan alam apa yang diembannya?
Berjaga-jagalah
Menghadapi kemarau dengan pasokan air terbatas, mahoni sigap memangkas pengeluaran anggaran berapa penguapan alias evapotranspirasi. Betapa daun-daun mahoni yang berukuran maksimal dengan jumlah ribuan per pohon ini akan menguapkan banyak air, mampukah tanaman memasoknya melalui serapan air tanah? Tata Illahi membuatnya tanaman mahoni merontokkan daunnya.
Bila diamati dengan jeli hampir di seluruh ujung ranting terlihat bintik kemerahan yang bertumbuh dengan cepat hingga terbentuk gugusan daun baru, ooh saatnya mahoni bersemi. Â Dari sosoknya yang meranggas kokoh terlihat bak jemari yang menengadah ke atas menyembul buah mahoni penerus generasi.
Daun-daun baru dengan penguapan yang masih terbatas sekaligus daya serap air tanah yang kuat. Tanaman mahoni mempersiapkan generasi daun baru yang adaptif yang memiliki semangat dan daya juang baru untuk memacu akar tanaman menjangkau air tanah yang semakin jauh dari permukaan.Â
Pohon mahoni bijak membaca tanda-tanda alam, menghadapi perubahan, tidak sempat merangkai keluhan, semua energi dikerahkan pada antisipasi dan menyambut perubahan melalui kesigapan berjaga-jaga. Sabda 'berjaga-jagalah senantiasa' tidak hanya diberikan kepada manusia selaku titah tertinggi namun juga diamanahkan kepada pohon mahoni.
Daun mahoni ini sungguh kompak, luruh lengser secara bersamaan di masa kejayaannya pada periode dharmanya. Memberikan tempat pada kuncup-kuncup daun baru untuk tumbuh, menguat sehingga sigap tangguh pada masa sulit di puncak kemarau menjelang. Pernah daun dewasa bertanya pada ki pohon, "perlukah sebagian kami tinggal untuk mengawal kuncup daun baru, mengajari mereka menghadapi garangnya kemarau dan pedihnya polusi asap kendaraan bermotor?"Â
Dengan senyum sarehnya ki pohon membalik tanya "begitukah yang berlangsung saat kau teruna?" "Biarlah alam surya (matahari), tirta (air) maupun maruta (angin) mengajarinya, dharmamu telah usai"
Selama periode dharmanya daun mahoni telah mengemban sikap 'momot' melalui kemampuannya menyerap segala ungkapan suka cita, keluhan, umpatan bahkan polutan dari pengguna jalan. Bersikap 'momong' melalui fungsinya sebagai tanaman peneduh yang mengayomi para pejalan. Perilaku 'momor' menyatu, bergaul dan bersama dengan lingkungan sekitar dalam menjalankan fungsinya juga dilakukan oleh pohon mahoni.Â