Oleh:Â Nikolaus Powell Reressy
Hari masih terlalu pagi. Matahari pun belum sepenuhnya menampakkan diri. Namun, di dalam kamar kost-ku, jari-jariku sudah sedari tadi menari-nari di atas keyboard komputer. Draf proposal skripsi sudah harus aku selesaikan pagi ini untuk didiskusikan dengan dosen pembimbingku, di jam 10 nanti.
Sudah dalam satu tahun terakhir aku disibukkan dengan kegiatan akademik di kampus. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, sudah waktunya aku menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini. Sejenak aku hentikan aktifitas di depan komputer. Dari sayup-sayup suara berita televisi yang sengaja aku hidupkan semenjak bangun dari peraduan tadi, ada sesuatu yang menggelitik. Ternyata pemerintah kembali berencana untuk menaikkan harga bahan bakar minyak dalam tahun ini. Perlahan aku tarik napas, tidak begitu dalam. Memoriku tiba-tiba menampilkan cerita klasik tentang orang-orang kecil yang setiap harinya banting tulang mencari barang seribu dua ribu rupiah, demi kepulan asap di dapur. Mereka ini orang-orang otentik, yang menakar keberadaan mereka sebagai manusia dengan bekerja. Lalu, memori itu kembali menampilkan cerita klasik lainnya. Kali ini tentang sekelompok orang berdasi yang setiap hari berusaha untuk terus menggerogoti uang rakyat. Mereka ini orang-orang upahan, yang bekerja dengan iming-iming mendapatkan kekayaan dengan jalan pintas, dan tentunya dengan cara-cara yang tidak halal. Korupsi memang sudah meraja lela di negeri ini. Tidak mengherankan jika kemiskinan begitu gampang dijumpai di sekeliling kita. Kembali aku tarik napas, kali ini lebih dalam.
... under construction
Â
Rancabentang Bandung, 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H