WPC 13- Cawan-Cawan Cinta (Sekuel Awan)
By: NP
Senja baru saja dipinang malam tatkala kakiku menjejak halaman rumah yang remang oleh temaram lampu 5 watt. Beranda sepi. Kuucap salam. Muncul sesosok pemuda dari balik pintu. Ia adik Awan.
"Mbak Raina, masuk Mbak, Mas Awannya..." kalimatnya menggantung.
"Ada?" tanyaku balik. Ia mengagguk. Aku mengikuti langkahnya ke sudut ruangan yang difungsikan untuk menerima tamu. Ruangan besar ini memang berbagi dengan ruang keluarga yang komposisinya masih sama seperti 4 tahun lalu, khas dengan TV besar di atas rak besar pula. Aku pun duduk di kursi tamu lalu ia bergegas ke dalam.
Hening. Sesak menguasai perasaan. Bahkan, jangkrik yang biasanya menyenandungkan lagu malam pun ikut diam. Larut dalam kebekuan.
Aku putar pandangan. Kutatap deretan buku-buku tebal yang tak tertata di atas rak yang berada pada arah jam 3, satu meter di sampingku. Ada buku-buku panduan dengan tulisan 'windows' yang nampak besar, 'photoshop', 'reader digest' dan beberapa lain dalam bahasa asing. Kuturunkan arah pandang. Aku terkesiap oleh sebuah album foto dengan cover coklat tua bertintakan warna emas. 'RAINA', itu satu-satunya tulisan timbul dari cover itu. Tanganku tergelitik untuk meraihnya dan membuka lembar demi lembar isinya.
. . Mataku tertumbuk pada foto ini. Tiba-tiba aku merasakan bisikan Awan. 'Na, tidakkah kau rasakan kesendirian ini? Tidak sampaikah cecawan pendar rindu ini padamu? Dalam remang kucoba menjernihkan perasaanku. Tapi aku semakin dicekal kegelapan. Adakah dirimu yang akan menerangi hatiku? Kucoba mengosongkan hati. Kucoba menjernihkan fikiran. Namun, aku kalah telak oleh bayang sepi.' .
.
'Na, malam-malamku sendu. Kucoba meneguk kehangatan bersama kepulan-kepulan asap dari cawan kopiku. Tanpa tembakau. Kuingat kata-katamu, pecinta kopi sejati tidak akan mencampurkan nikotin bersama kafein. Namun, aku tetap merasa hampa tanpamu, Na! Hampa ini membunuhku.' .
. 'Na, setiap yang ada di dunia ini pasti berubah. Pelan, detik ini aku ingin merubah cara pandangku. Bisa tidak ya, Na? Kuteguk cawan lain untuk menelaah rasa ini. Berada dalam keadaan stagnan dan zona aman hanya akan mematikan kreativitas, ucapmu kala itu. Yang lebih kutakutkan dari semua ini adalah, menghambarkan cawan cintaku. Simpel. Langkah ini kuambil untuk menemukan sensasi baru, Na. Benar, ada kesejukan yang pelan-pelan menelusup di dada. Kubingkai cinta ini dalam gradasi warna sederhana. Namun, ada gairah yang membuncah yang menyeruak tiba-tiba. Tidakkah kau merasakannya?' .
. 'Na, mentari belum sepenuhnya berwarna orange ketika cawan cinta menggodaku. Lihatlah, antique bukan? Aku ingin mengajakmu berfantasi ke negeri seberang, negeri peri dan kastil, menikmati tea time ditemani croisant. Warna hijaunya akan mengingatkan dedaunan teh di puncak, tempat pertama kita bersua. Juga mawar-mawar mungil itu ... ya, seperti liliput yang imut, bukan? Fikiranku langsung tertuju padamu. Na, ku 'kan membuka diri, membiarkan hangat matari menjilat kelu ini. Aku tak mau terkurung dalam pekatnya lindap. Inginku, kita beromansa bersama. Tapi kapan, ya?' .
. 'Kau tahu apa yang membuatku seperti ini, Na? Cawan cintamu. Aku bisa merasakan lagi warna-warna indah dunia meski kesendirian ini menyelimuti. Tapi kau jangan khawatir, ada kamera ini yang akan mengabadikan detail perasaan di hidupku, di petualanganku. Aku mengerti dengan apa yang ingin kucapai. Aku pertegas dan perjelas mana saja yang menjadi prioritas. Aku tetap menunggumu dalam sendiriku.' Oh, Awan. Jadi benar kata teman-teman yang sering memojokkan kedekatan kita. Cawan-cawan cinta itu untukku? Andai kau tahu, aku juga merasakan hal sama denganmu? Andaikan waktu bisa diputar, aku tak berharap ada fase penantian-penantian panjang ini? Andai kita bisa memulainya lebih awal? Andai ... ah. Kurasa tak perlu. Toh akhirnya kita bisa bertemu. "Lama menunggu?" suara itu mengagetkanku. Ah, Awan, tak seberapa berat menunggumu detik ini bila dibandingkan penantianmu. Kau nampak terseok-seok dengan krukmu. Aku menutup album foto itu lalu bangkit. "Duduklah." Aku menghela nafas, melonggarkan diafragma. Dengan begitu, aku berharap semoga kebekuan yang tiba-tiba menyergap bisa menguap. Aku mulai memilih kata dan mengaturnya sedemikian rupa untuk memulai percakapan agak penting berikutnya. "Awan, aku akan kembali ke kotaku," ucapku setengah berbisik. Aku berharap semoga Awan tidak mendengar suaraku. Namun, sepertinya angin tetap saja menyampaikan gelombang suara lirihku ke telinganya. Aku melirik padanya. Ia memainkan ujung telunjuknya dengan mengetuk-ngetukkannya pada paha. "Kapan?" tanyanya datar. Aku semakin tidak nyaman dengan perasaanku. "Besok." Aku berhenti sejenak meletakkan album foto di atas meja. Aku mendongak. Mata kami beradu. "Cepat sekali ya liburan sekolahnya berakhir," dia tersenyum. Ah, senyum itu ... Seolah-olah tak ada apa-apa dan tak pernah terjadi apa-apa beberapa hari ini antara aku dengannya. "Awan, setelah ini aku akan mengadakan penelitian..." "Kemudian menyusun karya ilmiah, sidang, wisuda, lalu ... "Ada jeda sejenak. " ... akan memburu lapangan kerja atau membuat lapangan kerja?" kalimat terakhirnya bernada pertanyaan sekaligus sindiran. Aku hanya nyengir. Pintar sekali dia menohokku. Berapa banyak lulusan yang telantar di luar sana yang akhirnya harus 'murtad' dari disiplin ilmu yang dipelajarinya selama di sekolah demi sebuah kata, 'survive'. Lalu, bagaimana dengan karya-karyamu yang luar biasa ini? Akankah kau hanya akan menyimpannya demi kepuasanmu sendiri? Tidakkah kau ingin berbagi, minimal denganku? Aku tahu, bukan cercaan atau pujian yang kau harap. Atau ... kau ingin seperti Vivian Maier yang baru dikenal setelah menutup mata selamanya? Tidak, Awan. Jangan lakukan ini. "Hati-hati di sana, jaga diri baik-baik. Aku suka dirimu yang berprinsip, berkarakter!" Ah, kalimat apalagi yang keluar dari mulut Awan ini. "Dan aku akan baik-baik saja di dengan kruk sialan ini." Lanjutnya parau. "Tidak, Awan! Kau harus sembuh. Kau pasti sembuh. Bukankah dulu kau bilang;
bukan siapa yang paling pintar, bukan siapa yang paling jenius, bukan siapa yang memiliki fasilitas paling lengkap, tetapi siapa yang paling bersungguh-sungguhlah yang akan berhasil. Man jadda wajada. Kau harus sembuh, Awan. Kau harus bersungguh-sungguh untuk sembuh!" Suaraku agak memelas. Awan diam tanpa ekspresi. Awan, cawan airmu, cawan kopimu, cawan tehmu hingga cawan lattemu akan kurangkum bersama cawan cintaku. Karena adakalanya dunia tak hanya hitam dan putih. Ada abu-abu dan aneka warna cantik yang menanti. *** Foto 1 : Â omÂ
Stefanus Leba. Foto 2:Â
om Ouda Teda. Foto 3: om Ajie Nugroho. Foto 4: om‎'Granito Ibrahim. Foto 5: omÂ
Nino Adrianto. Untuk melihat apresiasi teman yang lain silahkan mampir ke sini. :D.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Cerpen Selengkapnya