1: Lelaki Itu ...
By: NP
Nana kegirangan. Entah genderuwo mana yang merasuki sendi-sendi tulangnya. Pupil matanya bergerak-gerak tak nyaman, merekam segala yang ada di dekatnya.
"Ini gila, gila, gila," gumamnya yang hanya diterbangkan angin lalu untuk disampaikan pada petala langit biru berawan, terang.
Agustus yang aneh. Musim panas yang aneh. Orang-orang yang aneh. Rumah-rumah, gedung, tiang listrik, pepohonan dan gereja katedral menjulang, aneh!
"C'mon, hurry. Move, move."
Ah, suara itu. Cerewetnya melebihi ibu kos Nana, Bu Selsa. Ah, Bu Selsa, apa kabar ibu kosnya itu sekarang? Apakah baik-baik saja? Apakah masih direpotkan dengan ikan-ikan hiasnya? Lalu Ijah! Duh, Gilang, Sekar!
Sekuat tenaga Nana menahan haru dan rindu yang entah menyeruak dari mana. Sepertinya masih kemarin dia terpanggang di depan pagar teralis putih. Lalu Ijah dengan potongan kaos oblong gambar barong Balinya membukakan pintu.
"Excuse, me."
Seorang lelaki menerobos gerak lambat Nana menuju museum. Slide kenangan yang terputar tanpa permisi itu buyar seketika. Hello ... Ini bukan jalur cepat, dude! Woles sithik isa ora?
Nana melirik sekilas lelaki itu. Dih, bener-bener nih orang Asia, omel Nana dalam hati sesaat setelah melirik kulit berwarna lelaki itu, agak gelap. Sebodo dibilang rasis. Ini fakta, mennn, fakta. Kemudian lagi, fikirannya melayang pada ucapan Unao, tetangga kosnya.