Mohon tunggu...
nowo adhi S.T, M.T
nowo adhi S.T, M.T Mohon Tunggu... -

Mechanical, Philosophy, Psychology, Planner

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Prabowo Dalam Lelucon Politik ORBA

2 Mei 2014   00:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:58 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="259" caption="jokowi prabowo"][/caption] Jokowi Prabowo Dalam Lelucon Politik ORBA. Masyarakat memiliki kecenderungan amnesia. Melupakan sejarah dan menganggap orang baru adalah benar benar baru. Jokowi yang secara personal tidak memiliki sangkut paut dengan ORBA sebagaimana Prabowo, sejatinya merupakan perpanjangan tangan PDIP yang merupakan partai politik pelengkap ORBA dimasa soeharto berkuasa. Menyelami kembali lelucon Politik tahun1991 dalam insiden Santa Cruz Dili Timor Timur, teramat besar kemungkinan peristiwa itu terulang kembali. Kekuasaan membuat seorang yang lemah lembut menjadi beringas dan menindas, sementara semua perangkat dibawa kendali penguasa bersandiwara memenangi semua kepentingan pribadi dan kelompoknya atas kepentingan rakyat banyak. Dr Seno Gumira Ajidarma lewat tulisan menggelitiknya bertajuk Saksi Mata membuat kita tersadar betapa rakyat yang dalam jargon demokrasi merupakan penguasa menjadi tak berarti apa apa di hadapan hukum yang dikendalikan oleh penguasa yang sebenarnya. Sedikit kutipan paling menampar sekaligus mengundang senyum adalah beberapa untaian kalimat sindiran berikut: Dengan sisa semangat, sekali lagi ia ketukkan palu, namun palu itu patah. Orang-orang tertawa. Para wartawan, yang terpaksa menulis berita kecil karena tidak kuasa menulis berita besar, cepat-cepat memotretnya. Klik-klik-klik-klik-klik! Bapak Hakim Yang Mulia diabadikan sedang memegang palu yang patah. “Palu yang patah” digunakan sebagai sindiran keras bahwa Hukum tidak berarti apapun terhadap penguasa. Celah inilah yang sebenarnya secara psikologis mendorong baik Jokowi maupun Prabowo bersikeras menjadi penguasa nomor 1 Indonesia. Logikanya kalau memang keduanya memiliki cita cita sama untuk memajukan Indonesia, kan keduanya dengan mudah duduk dan bekerja bareng, tetapi kenapa mereka berebut kursi no 1? Karena memang pada level 1 seseorang memiliki hegemoni politik atas semua perangkat negara lainnya, meskipun secara normatif tidak disebutkan demikian. Mengingat kisah tragis Dili 1991 melalui sebuah rentetan kata bagi sebagian orang yang mengalami langsung kejadian tersebut tentu menjadi kenangan tersendiri yang tak gampang dihapus dari ingatan. Dr Seno Gumira Ajidarma berhasil mengangkat kritik tajam atas ketidak adilan penguasa ORBA dalam sebuah cerpen cantik menggelitik yang mengundang senyum gelak tawa di beberapa sudut paragrafnya. Sebagai catatan cerpen Saksi Mata ini dimuat harian Suara Pembaharuan, 1992. Diterjemahkan ke bahasa Inggris olehJan Lingard, dimuat kembali sebagai“Eyewitness”dalam TheWeekend Review, suplemen harian The Sydney Morning Herald (Sydney, 16-17 Desember 1995). Diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Cara Ella Bouwman, dimuat kembali sebagai “De Ooggetuige”dalam Een Bron die Nooit Dooft: Stemmen van Tegenspraak in Proza en Poezie uit Indonesia (Amnesty International, 1997). Diterjemahkan ke bahasa Jepang oleh Oshikawa Noriaki, dimuat kembali sebagai “Shounin” dalam majalah sastra Gunzou (1997) Cerpen ini disandingkan dengan 14 cerpen karya SGA lainnya yang telah dipublikasikan beberapa media cetak terkemuka, menjadi sebuah buku kumpulan cerpen yang diberi judul sama “Saksi Mata”. Buku ini mengantarkan penerimaSEAWrite Award1987 ini meraih penghargaanDinny O'HearnPrize for Literary tahun 1997. Cukup banyak kearifan politik tergambarkan dalam sebuah kisah pendek ini. Bagi yang belum membaca tidak ada salahnya mencermati beberapa kutipan berikut: Saksi mata itu datang tanpa mata..... Kalimat pembuka cerpen ini berhasil memancing rasa ingin tahu untuk membaca lebih jauh. “Syaraf lucu” beberapa orang berhasil tergelitik, katanya saksi mata, kok buta, lalu mata yang mana yang menyaksikan peristiwa yang akan disidangkan?Beberapa orang terkekeh-kekeh ketika saksi mata tanpa mata itu di-interogasi Pak Hakim. “Saudara Saksi Mata.” “Saya Pak.” “Di manakah mata saudara?” “Diambil orang Pak.” “Diambil?” “Saya Pak.” “Maksudnya dioperasi?” “Bukan Pak, diambil pakai sendok.” “Haa? Pakai sendok? Kenapa?” Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.” (masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red) Baca Cerpen Lengkap Aslinya di Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun