Minggu 21 Februari 2016 bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajak masyarakat Indonesia untuk diet kantong plastik melalui kebijakan kantong plastik berbayar. Untuk mendapatkan plastik, konsumen diharuskan membayar Rp 200 perlembar plastiknya.
Hal ini sesuai dengan surat edaran bernomor S.1230/PSLB3-PS yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 17 Februari 2016. Kebijakan ini terbilang baru dan masih sebatas uji coba hingga Juni mendatang. Kota-kota yang ditunjuk untuk menerapkan kebijakan ini antara lain Jakarta, Bandung, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, Palembang, Medan, Balikpapan, Banjarmasin, Makassar, Ambon, Jayapura, Pekanbaru, Banda Aceh, Kendari dan Yogyakarta. Rencananya, uang hasil penjualan plastik akan dimanfaatkan untuk pengelolaan sampah.
Kebijakan yang diambil pemerintah ini cukup beralasan. Pasalnya, menurut Jenna Jambeck, seorang peneliti asal Universitas Georgia memaparkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua penghasil sampah plastik ke laut setelah Cina sebesar 187,2 juta ton pada tahun 2015 lalu. Dan dibutuhkan waktu yang tidak sebentar bagi tanah untuk mengurai sampah plastik tersebut.
Melalui kebijakan plastik berbayar ini diharapkan masyarakat dapat mengurangi konsumsi plastik. Selain Indonesia, terdapat empat negara yang sudah menerapkan kebijakan ini lebih dulu yaitu Inggirs, Amerika Serikat, Skotlandia, dan Wales. Pada keempat negara tersebut kebijakan ini terbilang berhasil. Penggunaan plastik di keempat negara itu menurun hingga 80%.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja yang akrab dipanggil Ahok setuju dengan adanya kebijakan ini. Ia berharap masyarakat menjadi “enggan” memakai kantong plastik karena harus membayar Rp 200 setiap lembarnya. Namun, ia merasa Rp 200 terlalu kecil nilainya. Menurutnya, harga yang cocok adalah Rp 5000 perlembarnya. Hal senada diungkapkan Ridwan Kamil, walikota Bandung. Ia merasa untuk kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung Rp 200 terlalu murah. Ia membandingkan dengan harga toilet Rp 1000 hingga Rp 2000.
Lain hal yang dilontarkan oleh aktivis lingkungan Yayasan Peduli Lingkungan Hidup (Yapelh), Uyus Setia Bhakti. Menurutnya, aturan kantong plastik berbayar tidak akan berdampak signifikan terhadap pengurangan sampah plastik. Apris Nur Rakhmadani, pegiat lingkungan di Purwokerto mengatakan perilaku masyarakat saat ini sulit diubah, karena masyarakat sudah biasa “dimanjakan” dengan kantong plastik gratis setiap kali berbelanja.
Uyus Setia Bhakti mengemukakan seharusnya langkah yang diambil pemerintah adalah bukan memberlakukan plastik berbayar melainkan mengkampanyekan pemanfaatan yang bisa dilakukan pada plastik bekas berbelanja, bukan memperlakukannya seperti sampah, yang setelah dipakai langsung dibuang. Apris Nur Rakhmadani menambahkan seharusnya pemerintah bisa mengajak masyarakat untuk membuat kantong belanja kreatif dengan bahan-bahan yang mudah ditemukan di rumah.
Tujuan diberlakukannya kebijakan ini tak lain adalah mendisiplinkan diri untuk mengurangi penggunaan plastik. Namun, dalam pelaksanaannya efektifkah kebijakan ini? Karena tak jarang saya menemui konsumen yang dengan tenangnya menjinjing belanjaan menggunakan plastik dari supermarket atau minimarket yang dikunjungi. Mereka tampak biasa saja dengan kebijakan baru ini.
Malah ketika awal bulan waktu yang tepat untuk belanja kebutuhan bulanan saya pernah mendapati beberapa orang belanja kebutuhannya sebanyak satu troly dan belanjaan-belanjaan itu dibungkus menggunakan plastik supermarket. Melihat kejadian ini saya berpikir kebijakan ini tak berpengaruh apa-apa, kecuali ‘menciptakan’ peluang bisnis di bidang retail. Memang Rp 200 tidak begitu bernilai di mata sebagian masyarakat.
Namun coba hitung kira-kira berapa hasil penjualan plastik itu satu hari lalu kali kan dengan jumlah pengunjung di salah satu cabang minimarket kemudian kali kan lagi dengan jumlah minimarket itu di kota tersebut. Hasilnya akan fantasis bukan? Itu hanya satu hari dan hanya satu minimarket yang ada di satu kota, belum ditambah dengan minimarket maupun supermarket lainnya yang berada di kota-kota lainnya. Memang, rencananya uang hasil penjualan plastik itu akan dialokasikan untuk pengelolaan sampah.
Tapi benarkah demikian? Jangan sampai uang itu malah masuk ke kantong-kantong orang yang tak berhak. Akan lebih baik apabila masyarakat juga turut dididik untuk memanfaatkan tas atau bahan lainnya yang bisa digunakan sebagai pengganti plastik. Dengan begitu ‘mental’ masyarakat sebagai pengguna plastik berubah menjadi pengguna tote bag atau tas belanja. Selain lebih praktis karena memuat banyak barang, masyarakat juga turut mengurangi sampah rumah tangga. Tak dipungkiri, dibutuhkan juga kesadaran diri dari masyarakat itu. Mengubah mental ini memang sulit, namun sulit bukan berarti tidak bisa dilakukan bukan?