Mohon tunggu...
novy eko permono
novy eko permono Mohon Tunggu... Pengepul Kata di Teater Dua Sisi SKND -

Pengepul Kata di Teater Dua Sisi SKND

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari 'Pesantren'

26 Maret 2016   11:03 Diperbarui: 26 Maret 2016   17:46 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pondok pesantren diakui sebagai sistem pendidikan tertua yang dijumpai dalam sejarah panjang negeri ini. Sejarah perkembangan pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam Nusantara. Pada awal masa kemerdekaan, pesantren kebanyakan masih berada di wilayah pinggiran atau pedesaan. Seiring dengan perkembangan pembangunan, pondok pesantren mengalami kemajuan pesat dan semakin mengejar ketertinggalan dengan sekolah umum. Meskiupun begitu pesantren tetap menjaga identitas sebagai basis moral. Pondok pesantren juga telah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang unik, pesantren memiliki lima elemen-elemn penting (Dhofier, 2011: 79-93). Pertama, pondok. Definisi singkat pondok adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama santrinya. Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Sedangkan kompleks sebuah pondok modern biasanya memiliki fasilitas tambahan selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan atau lahan peternakan.

Kedua, masjid atau surau (langgar). Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Dalam sistem pesantren, masjid dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat lima waktu, khotbah, dan pengajaran kitab klasik.

Ketiga, kitab-kitab klasik, yakni berbahasa Arab yang ditulis ulama terdahulu sebagai bidang ilmu pengetahuan Islam. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab klasik disebut kitab kuning oleh karena kertasnya kebanyakan berwarna kuning. Kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik pesantren sebagai alat produksi dari subkultural. Lebih lanjut  Said Aqil Siroj (2006: 58) mengatakan bahwa kitab kuning juga digunakan sebagai pedoman tata cara beragama, serta difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai referensi dalam menyingkapi segala persoalan kehidupan.

Keempat, santri. Santri merupakan unsur terpenting dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam membangun pesantren adalah adanya murid yang datang untuk belajar kepada seorang ‘alim, baru ‘alim itu disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Dan yang kelima, Kyai (Dhofier, 2011: 93). Peran penting kyai dalam pendirian dan pengembangan pesantren, sehingga dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, corak dan keberhasilan pesantren tergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karisma, serta ketrampilan kyai (Hasbullah, 1999: 144).

Dari gambaran sekilas tentang elemen-elemen yang dimiliki pesantren, orang yang pernah mengenyam pendidikan pesantren atau paling tidak mengamati ritme kehidupan pesantren dapat mencermati bahwa dunia pesantren merupakan representasi miniatur kehidupan riil masyarakat. Jadi tidak salah apabila pesantren diandaikan sebagai contoh yang tepat untuk sebuah masyarakat kecil yang multikultur karena para santrinya datang dari berbagai kultur yang beragam budaya dan suku. Keragaman ini kemudian saling mengisi satu sama lain sehingga mewarnai dan menjadi ciri khas kehidupan suatu pesantren. Oleh karena itu, sudah selayaknya pesantren mengambil peran mendamaikan dan menjadi pusat pembelajaran toleransi antar berbagai orang sesama bangsa.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan multikultural sudah seharusnya merekonstruksi dirinya menjadi pusat belajar untuk kesadaran multikultural. Karena itu, fenomena multikultural di dunia pesantren adalah hal yang wajar. Fenomena ini sejalan dengan lima pilar penyanggah pesantren yaitu tawasut, tawazun, tasamuh, ‘adalah, dan tasyawur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun