Syekh Machudun adalah seorang ulama yang bergabung di Majelis Tarjih Ittihadul Ulama Sumatera dengan beberapa ulama yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pembaca al-Mizan dari berbagai daerah. Al-Mizan adalah majalah Islam dwi-mingguan berbahasa Melayu berabjad Jawi yang terbit dua kali sebulan di Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat dari 1918 hingga 1922. Majalah ini dikelola oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah di bawah asuhan Syekh Hasan Basri, seorang ulama terkemuka di Maninjau yang aktif dalam Ittihad Ulama Sumatra (Persatuan Ulama Sumatra).
Perkumpulan ulama pendiri majalah ini tergabung dalam badan bernama Sjarikat Al-Ihsan. Al-Mizan umumnya berisi karangan mengenai agama serta memuat rubrik jawaban pertanyaan kiriman pembaca. Setelah Al-Mizan berhenti terbit, Ittihad Ulama Sumatera sempat menerbitkan majalah Ar-Radd wal-Mardud di Ladang Laweh pada 1921. Majalah tersebut tercatat diasuh oleh Sirajuddin Abbas (sebagai kepala redaktur) dan Mustafa Salim. Majalah ini terbit hingga tahun 1926. Setelah Syekh Saad Mungka meninggal pada tahun 1923, organisasi Ittihad Ulama Sumatera pun menjadi padam.
Syekh Machudum, dikenal juga dengan Pakiah Wahi, merupakan salah satu pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Minangkabau pada tahun 1928. Beliau juga sebagai pendiri masjid Raya di Kenagarian Tanjung Bingkung Kec. Kubung Kab. Solok Provinsi Sumatera Barat Indonesia. Pada sewaktu wafatnya, beliau dikebumikan di Nagari Tanjung Bingkung tepatnya di belakang masjid Raya Tanjung Bingkung.
Beliau juga termasuk penganut paham Ahlussunah wal Jama'ah dan Mazhab Imam Syafi'i. Tidak hanya itu beliau juga melaksanakan Tarekat Naqsabandiyah dan Tariqat-tariqat Muktabarah lainnya. Beliau menegakan paham Ahlussunah wal Jama'ah dan Mazhab Imam Syafi'i tersebut bersama-sama dengan tokoh lain. Diantara tokoh tersebut ialah Syekh Abbas Al Qadi, Syekh Moh Saad, Syekh Khatib Muhammad Ali, Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Abdul Wahid, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Majid, Syekh Jalaluddin, Syekh Muhammad Arifin, Syekh Muhammad Salim, dan beberpa Syekh lainnya.
Pada tahun 1924, Syekh Machudum diusir dari Minangkabau oleh penjajah Belanda. Alasannya karena beliau mengeluarkan fatwa "haram hukumnya untuk membayar belesting atau pajak kepada orang kafir". Beberapa tahun kemudian, Syekh Machdum diizinkan kembali pulang ke Minangkabau oleh Penjajah Belanda, berkat pendekatan yang dilakukan oleh Syekh Chatib Muhammad Ali kepada Penjajah Belanda. Sebelum pengusiran tersebut, beliau sudah belajar agam Islam juga di Makkah sejak tahun 1905 sampai 1915. Dan beliau telah memahami betul masalah usul fiqih. Sehingga sewaktu dibuang penjajah Belanda beliau berangkat ke Makkah dan beliau tidak diragukan lagi diangkat menjadi imam besar Masjidil Haram untuk mengajar di Masjidil Haram.
Beliau Syekh Machudum ini, orang Minangkabau kedua yang diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk mengajar di Masjidil Haram setelah Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Mufti Besar di Makkah. Pada tahun 1920 di Solok Syekh Machudum telah mengubah sistem halaqah menjadi sistem berkelas. Sistem itu dimulai dengan 3 lokal dengan nama Madrasah Ahlussunah Wal Jamaah yang didirikan tepatnya di Nagari Tanjung Bingkung yang lebih dikenal dengan Suniyah School.
Berdasarkan hasil pertemuan tanggal 5 Mei 1928 di Canduang disepakatilah halaqah menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Kemudian Syekh Sulaiman Arrasuli dikatakan bahwa yang mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah adalah sepulah orang yaitu: Syekh Sulaiman Arrasuli, Sykeh Abbas Al Qadhli, Syekh Chatib Muhammad Ali, Syekh Muhammad Jamil, Syekh Abdul Wahid As Shalilly, Syekh Muhammad Arifin, Syekh Jalaluddin, Syekh Abdul Majid, Syekh Alwi, dan Syekh Machudum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H