semalam ku mimpikan bintang-bintang tergenggam, planet-planet kujejaki satu persatu, kurasuki astronot yang kepayahan menjangkau mimpi. kulihat batu-batu ringan melayang seperti burung mengawang, matahari menjulang, dan kau memeluk bulan.
aku mengitari rotasi, mengehentikan waktu dan ingin mengecupmu yang tiba-tiba berubah jadi angsa dan terbang, lalu berdiriku seperti di sebuah kereta. di antara sesak manusia dan riuh tangisan anak-anak, kulihat dongengmu berkibar-kibar, lagumu menguar dari radio transistor yang dikalungkan pengemis tulen.
semalam mimpiku tenggelam di antara kata-kata yang kau kirimkan, dan aku seperti kehilangan kemampuan berenang. kata-katamu menjelma deras waktu yang memaksaku menghitung lagi sisa hidup yang berserak. dari yang kupunguti itu ada nama-nama yang tak lagi kukenali, nama-nama yang berubah jadi remah-remah.
semalam mimpiku dilanjutkan dengan keterkejutan, dengan kabar kematian yang bertubi-tubi seperti rombongan pencuri. aku bahkan tidak lagi mengenali kematian yang datang dalam email berantai itu. mereka menyuguhkan sarapan lengkap dengan ucapan belasungkawa, entah kepada kematian siapa.
sederetan gertak kujadikan lauk, seperti ucapan-ucapan selamat berjuang, kita pasti menang, dan sederet omong kosong yang tiap pagi mulai kuakrabi; menggantikan sarapan yang mulai basi.
aku mencoba beselamat pagi pada sakit punggung, pada matahari yang menusuki jendela dan mengambil tempat dudukku.
semangat pagi, teriakku keras-keras dari dalam hati sana. tak seorang pun mendengar, tak sekelebatpun berpengaruh, dan aku menyesali hidup yang jadi rutinitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H