Akhirnya Burger King, mengikuti beberapa perusahaan lain seperti Nestle dan Unilever, membatalkan kontrak untuk membeli minyak kelapa sawit dari PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART). Berdasarkan audit independen, Burger King menilai perkebunan kelapa sawit Sinarmas telah melanggar aturan seperti menanam di kawasan lahan gambut dan hutan sekunder. Sejumalah perusahaan lain seperti Unilever, Nestle, dan Kraft telah memutuskan kerjasama dengan Sinar Mas.
Menurut Detik, pemerintah akan membuat pembelaan resmi terkait keputusan RSPO yang menyatakan Sinar Mas telah melanggar sejumlah aturan dan mengeluarkan peringatan agar perusahaan CPO tersebut segera melakukan perbaikan atau dikeluarkan dari RSPO. Mengapa pemerintah membela Sinar Mas? Adakah kedekatan luar biasa antara Kementrian Perindustrian dengan para pengusaha CPO itu? Industri CPO Indonesia sendiri merupakan yang terbesar, diikuti Malaysia. Namun, 20 persen perkebunan sawit Indonesia itu dikuasai Malaysia. Di sisi lain, sebagai penghasil CPO terbesar, Indonesia tidak bisa menentukan harga jual.
Mengamati pemberitaan di beberapa media, saya juga melihat kecenderungan pers memberi pembelaan pada Sinarmas, dengan lebih menonjolkan sumber-sumber tunggal dari Sinar Mas atau Kementrian Perindustrian. Inilah.com, misalnya, banyak mengutip Wakil Komisaris Utama Grup Sinarmas Gandhi Sulistiyanto, tanpa perimbangan dari sumber Greenpeace sebagai pihak yang dituduh melakukan kampanye hitam. Demikian juga Menko Perekonomian Hatta Rajasa dalam menanggapi diblokirnya sejumlah industri CPO oleh perusahaan internasional dengan alasan lingkungan mengesankan bahwa ada perang dagang dalam kasus itu. Pernyataan itu cenderung menempatkan Sinarmas sebagai pihak korban. Seolah, mereka meragukan "kredibilitas" tiga perusahaan besar itu dalam memutuskan pemasok CPO-nya. Mengapakah dalam wacana itu, Sinarmas "menyerang" Greenpeace dan bukan mengarahkan perhatian pada sikap Burger King, Nestle, maupun Unilever? Barangkali, lebih mudah menuduh balik daripada membuktikan bahwa mereka bersih dari masalah.
Di berita yang lain, Gapki juga menunjukkan pembelaannya. Mereka menduga, negara-negara maju tidak ingin Indonesia makin maju. Ini merupakan prasangka buruk kepada negara2 maju. Kalau memang iya, seharusnya mereka bisa membuktikannya, bukan sekadar melontarkan tuduhan aneh.
Sikap pemerintah yang tidak bisa obyektif, menandakan bahwa memang ada sesuatu di balik semua itu. Bukankah seharusnya pemerintah juga mempertimbangkan hasil audit independen, dan memberikan perlindungan terhadap alam Indonesia. Sikap obyektif seharusnya juga ditunjukkan pada industri perusak lingkungan lain seperti pertambangan batubara di kalimantan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H