Mohon tunggu...
Taufikul
Taufikul Mohon Tunggu... Editor - www.receh.in

blogger www.receh.in

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Infotainment di Luar Jurnalisme

25 Juli 2010   12:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:37 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bersikerasnya kalangan pendukung tertentu terhadap keberadaan infotainmen sebagai bagian dari pekerjaan jurnalistik adalah wajar. Para penghibur ini tentu berharap pekerjaan mencari-cari informasi individu-individu yang masuk dalam ketegori selebriti dilindungi oleh hukum (sekalipin apa yang mereka lakukan melanggar privasi orang lain). Ada kegarangan untuk membela secara mati-matian agar para pencari informasi seputar selebriti juga disebut wartawan, toh sebagian dari mereka pernah mengenyam pendidikan jurnalistik maupun komunikasi dan barangkali pernah ikut pelatiha jurnalistik dasar. Meskipun, hal itu sama sekali bukan dasar kalau mereka ingin disebut wartawan.

Saya juga menilai apa yang mereka perjuangkan sebagai kegigihan untuk menghidupi panggung hiburan televisi kita. Pekerja infotainmen adalah bagian dari bisnis media. Mereka menjadi elemen yang membuat panggung itu tampak terus gemerlap dan penuh dengan cerita-cerita di balik layar yang menghebohkan. Sekalipun para pekerja itu tak sadar, meski saya kira mereka tahu, bahwa infotainmen adalah garda depan bisnis hiburan media televisi di Indonesia. Mereka, bagi saya, adalah buruh-buruh yang juga memiliki kepentingan untuk berada di zona selamat, dimana mereka digaji besar, mendapat gengsi, diperhatikan oleh orang-orang sekitar karena diangap tahu gosip-gosip seputar artis dan sebagainya.

Selebriti maupun artis bukanlah public figure, jika kita mengacu pada public yang sesungguhnya. Bahwa yang disebut public figure itu adalah pejabat-pejabat publik di pemerintahan. Selebriti juga bukan tokoh jikalau mereka didirikan hanya sebagai selebriti semata. Baik, kita sebut saja mereka itu seniman, meski saya pribadi meragukan nilai seni, misalnya, dari sinetron dan tayangan-tayangan televisi. Anggap saja, tanpa ngeyel, mereka memang seniman.

Nah, seniman2 ini menjadi bagian dari industri hiburan pula. Jadi, saya sangksi kalau mereka ikut dalam gerbong yang menolak pekerja infotainmen sebagai wartawan. Sekalipun para selebriti, suatu saat, dijatuhkan oleh berita-berita gosip, mereka tetaplah bagian dari kendaraan hiburan yang sangat membutuhkan sensasi dan ketenaran. Jadi, barangkali, hanya segelintir selebriti yang cerdas dan independen yang mau menolak para pekerja infotainmen digolongkan sebagai wartawan.

Saya kira, terlalu bodoh kalau PWI kemarin dulu memasukkan golongan pekerja infotainmen ini ke dalam kelas wartawan. Kalaupun sampai sekarang mereka masih digolongkan wartawan, seharusnya PWI bersikeras membela para pekerja infotainmen ini. Kesalahan PWI itu sesungguhnya cukup fatal, mengingat pengertian kerja jurnalisme sendiri seharusnya menjadi sesuatu yang tak asing bagi PWI. Kalau sekarang PWI mengoreksi diri, itu juga belum terlambat. Sekalipun saya menilai mereka akan jadi bagian dari suatu masyarakat reaksioner yang tidak memiliki peta akan masa depannya sendiri.

Pekerja infotainmen, saya menghargai mereka sebagai sesama warga negara yang memiliki kemerdekaan menyampaikan pendapat sama seperti setiap orang di negeri ini, dan selebriti adalah roda industri hiburan. Sekalipun bukan mereka yang paling banyak mereguk keuntungan, melainkan para produser, para pemilik media, para orang kaya yang akan semakin kaya dengan tingginya ketertarikan masyarakat terhadap gosip, namun para pekerja hiburan itu juga menggantungkan hidup dari industri hiburan. Saya hargai usaha hidup itu. Namun, kalau kita memiliki hukum positif atau pun etika profesi, atau juga adat dan agama, apa yang mereka kerjakan memang sepatutnya selalu mendapat koreksi. Kegiatan melanggar privasi orang jelas hal yang tak dapat kita terima. Oleh karena itu, apa yang mereka kerjakan dengan cara melanggar privasi itu tak lebih seperti apa yang dilakukan penjahat kelas teri, seperti preman yang mangancam. Preman itu tak melakukan tindak kekerasan, mereka hanya berpenampilan sedemikian sehingga tampak 'mengintimidasi' dan akhirnya mendapatkan receh dari pekerja-pekerja lain semacam sopir angkot dan pedagang asongan. Jadi, antara pekerja infotainmen dan selebriti hanya dua entitas yang saling membutuhkan meski kondisinya tidak selalu sama.

Saya tidak menafikkan bahwa mereka, pekerja infotainmen, adalah orang-orang berpendidikan. Namun, pendidikan atau sebetulnya sekolah bukan jaminan adanya pengetahuan, apalagi moral dan etika. Penjahat-penjahat paling berbahaya bukanlah penjahat yang hanya mengadalkan otot, tapi penjahat berotak yang bahkan sekolahnya sampai S2 atau S3. Kita tahu lah, mana ada koruptor kakap yang hanya lulusan SD. Dan, kejahatan paling keji adalah kejahatan yang oleh pelakunya disebut sebagai hal baik dan demi untuk ini dan itu.

Pekerja infotainmen, bagi saya, hanyalah bagian dari riteme industri hiburan. Mereka adalah, sama seperti saya, karyawan-karyawan biasa yang dilindungi Jamsostek. Jadi, kalau pekerja itu melanggar privasi orang lain, marilah kita tuntut ia di hadapan hukum saja. Dan, saya tidak pernah sekali pun mau menyebut mereka wartawan. Itu sangat merendahkan para jurnalis betulan yang bekerja susah payah untuk memberika fakta-fakta yang berguna bagi publik.

Barangkali, yang paling keras akan membela adalah mereka yang diuntungkan dari industri hiburan karena dari sanalah nafas mereka berasal. Para pemilik PH dan dari lingkaran industri televisilah yang akan dengan gigih menjadi yang tervokal. Dari pekerja infotainmen sendiri paling hanya satu dua. Toh, kalaupun mereka bersuara, tak banyak yang akan memperhatikan dengan serius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun