Mohon tunggu...
Taufikul
Taufikul Mohon Tunggu... Editor - www.receh.in

blogger www.receh.in

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kalau Sepi, Bukan Kompasiana Namanya

7 Januari 2011   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:52 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sudah sekian lama tidak menulis di kompasiana karena kesibukan. Hari ini saya menyempatkan menyambangi blog kroyokan ini lagi. Setelah membaca beberapa tulisan, tampaknya kompasiana sedang diributkan para penggunanya.

Bagi saya, biasalah itu. Semakin besar suatu kumpulan narablog, makin banyak tantangan yang dihadapi. Itu risiko yang mesti dijawab bersama-sama, meski porsi terbesar ada di tangan admin.

Saya sendiri hanya penulis ecek-ecek (semacam pengamen lampu merah yang tidak berharap banyak dari apa yang dilakukannya). Apa yang saya lakukan sekadar bersenang-senang dengan tulisan, dengan jumlah klik, dengan komentar, dan dengan informasi yang menarik. Tapi saya jarang menjelajah. Jarang membaca tulisan-tulisan di sini secara rutin. Tapi untuk tulisan-tulisan yang lagi ramai, kadang-kadang saja saya menyimak sekadar suka-suka.

Tidak ada ekspektasi berlebih dari penulis gadungan macam saya. Itu wajar karena dalam bermedia, orang macam saya hanya mencari kesenangan atau demi keuntungan pribadi. Saya tidak pernah berdoa agar kompasiana jadi besar dan rankingnya di alexa naik jadi nomer satu. Rankingnya di urutan sekian juta pun saya tidak hirau. Sebab saya memang tidak berkepentingan.

Meski begitu saya juga banyak belajar dari hiruk-pikuk media sosial, dimana orang-orang disalingkaitkan satu dengan lainnya dalam lorong-lorong dunia maya. Banyak kedekatan yang terbentuk, banyak hubungan terjalin, juga friksi-friksi yang berpengaruh. Tampaknya itu risiko, bukan hanya di kompasiana.

Sebagai media sosial, kumpulan narablog macam kompasiana ini jelas berpengaruh pada tatanan sosial. Kita tidak bisa lagi memisahkan dengan jelas antara dunia nyata dengan dunia maya. Dunia maya juga kenyataan. Meski di dalamnya banyak hal-hal palsu dan menipu, namun itu juga bagian dari kenyataan. Toh di dunia nyata juga banyak yang palsu dan menipu. Yah, macam rambut palsu yang dipakai Gayus.

Gayus bisa plesiran ke mana saja meski dia dalam status tahanan, yaitu dengan menggunakan akun palsu, eh, maaf, dengan identitas palsu. Kompasianer bisa menjadi siapa saja yang diinginkannya dengan akunnya, juga bisa menyempal jadi sekian mahluk berspesies beda. Bisa jadi laki, bisa juga banci. Bisa sudah beristri, atau mengaku remaja gaul. Itulah imaji yang hendak dimainkannya, dan itu nyata. Bagi saya itu sah, sebab saya sendiri menggunakan nama samaran (hehehehe, biar enggak dilacak pak RT dan si bos di tempat kerja).

Kecakapan Bermedia

Media telah membantu meluaskan kemampuan indera manuisa. Televisi membuat kita melihat banjir bandang di wasior. Radio menyebarkan lagu-lagu yang direkam di amerika. Telepon genggam mengeluarkan suara orang yang jauhnya berkilo-kilo meter. Dan internet menjadi perluasan ruang.

Sejak kecil kita sudah disuguhi bermacam media. Dari kentongan di balai desa sampai permainan komputer online. Apakah orangtua kita mengajari bagaimana menggunakan internet? Kebanyak tidak. Sebab, orangtua kita mungkin oon dalam soal teknologi informasi. Kirim sms-pun kita yang mengajari mereka. Padahal, dalam bermedia diperlukan kecakapan agar media menjadi alat yang tepat dan tidak merusak.

Ketrampilan bermedia bisa dipejari atau diserap dari manapun, asal ada kesediaan dari kita untuk belajar. Kiranya, kesediaan untuk belajar ini sangat tinggi di masyarakat. Coba lihat, anak-anak sekolah dasar sudah bisa membuka situs porno. Mereka juga dengan mudah memainkan permainan online tanpa kendala adaptasi berlebih. Namun, apakah itu sudah cukup dalam kecakapan bermedia? Tidak, jika kita berpandangan bahwa bermedia juga perlu etika, perlu tata krama, perlu aturan, bahkan perlu adat.

Kalau kita memandang bahwa adat bermedia tidak perlu, maka dunia akan kacau oleh kesewenang-wenangan dari mereka yang memiliki sumber daya iptek. Pada kenyataannya, para pengembang teknologi adalah orang-orang yang mengerti etika, yang baik budinya. Coba lihat Mark Z itu, si pencipta facebook. Memang, dia yahudi atheis dan ahli dalam soal ilmu-ilmu komputer, tapi kita juga tahu dia seorang dermawan. Tujuannya membuat facebook pun mulia, untuk menghubungkan orang-orang di dunia.

Dan, bandingkan dengan beberapa pengguna facebook yang suka mengeluarkan caci-maki, suka mengintimidasi dengan kata-kata pedas, atau menampilkan foto-foto seksi milik pribadi. Padahal mereka hanya pengguna facebook, yang mungkin baru bisa bikin akun beberapa hari lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun