Alkisah disebuah negeri (masa depan kayanya), di “kahyangan” atau tempat para penguasa dan orang-orang kaya berada, mereka mengadakan sebuah festival tahunan berisi sekumpulan anak muda berusia 12-18 tahun yang nanti ditempatkan dalam sebuah arena untuk kemudian saling membunuh satu sama lain untuk mencari satu pemenang pada akhirnya.Para peserta tersebut diambil dari rakyat jelata yang berasal dari 12 district (setiap daerah mengirimkan satu pria dan satu wanita ), dimana festival ini dibuat untuk memberi peringatan kepada para rakyat jelata untuk tidak berani memberontak kepada para penguasa seperti yang pernah dilakukan dan menyebabkan district 13 musnah.
Katnis Everdeen (Jennifer Laurence) adalah seorang gadis muda yang tinggal di district 12 (yang merupakan district termiskin) bersama adiknya prim everdeen semenjak kematian ayahnya, sialnya adiknya ternyata terpilih menjadi salah satu peserta atau disebut tribute.Bersama Peeta (Josh Hutchinson), seharusnya prim maju menjadi kandidat, namun Katnis kemudian mengajukan diri untuk menjadi pengganti Prim demi keselamatan adiknya.Kini pasangan anak muda ini harus turun kesebuah belantara untuk belajar membunuh agar dapat kembali ke kampung halaman mereka.
Sebenarnya premis yang di usung film ini sangatlah sederhana, dua orang yang terpilih kemudian harus mempersiapkan diri dan kemudian mengadu nyawa di sebauh turnamen, tanpa harus menspoiler, rasa-rasanya penonton pun juga bakal tahu bagaimana akhir kisah ini bukan ?, so what makes this movie special ?
Yang pertama adalah karakterisasi yang sangat kuat dari karaker Katnis Everdeen yang dimainkan dengan baik oleh Jennifer Laurence.Kita bisa merasakan bagaimana karakter Katniss tumbuh mengalami berbagai fase pertumbuhan emosi secara alamiah, dari seorang gadis muda (yang emang jago panah ) dan seorang kakak yang baik, kemudian “terjebak” dalam situasi yang tidak diinginkan, namun kemudian harus mau merubah dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat agar bisa selamat sampai ke akhir.Tanpa mengesampingkan semua aktor pendukung (Woody harelson, Stanley Tucci, Josh Hutchinson, Elizabeth bank, Wes Bentley, Donald Sutherland) yang juga bermain apik, semua nyawa film ini benar-benar berada di penampilan brilian seorang Jennifer Laurence, dan Katniss Everdeen niscaya menjadi seorang karakter yang akan tumbuh menjadi favorite dari para penontonnya.
Yang kedua adalah settingnya, dengan Budget yang katanya tinggi untuk ukuran sebuah studio kecil seperti Lionsgate, hasilnya benar-benar maksimal dan memanjakan mata.Dengan gaya pakaian yang nyentrik dan tata bangunan yang megah, kota para penguasanya benar-benar mampu dibikin kontras dengan kondisi district yang ada.
Satu yang tak lupa terpuji adalah scoring yang indah dan mendayu-dayu, namun tidak cengeng, berhasil mengajak penontonnya ikut merasakan bagaimana suasana hati para karakter, yang mana sekali lagi membuat para karakter menjadi sangat terhubung dengan penonton.
Satu hal yang sangat membekas di hati saya adalah betapa kuatnya sindiran sosial yang ada di cerita ini ( thanks to you suzzane collin )..bagaimana festival ini diadakan sebagai sebuah acara tonton (tv life) dan ditonton oleh para “penguasa” yang mengklaim dirinya beradab.Bagaimana setiap tribute/peserta disiapkan dengan baik, dipoles dengan diberikan fasilitas dan makanan mewah yang tidak pernah dapatkan sebelumnya di district asal mereka, untuk kemudian di adu untuk saling membunuh disaksikan dengan tawa-tawa gembira dari para penontonnya disebuah layar besar.Bukankah ini adalah salah satu cerminan “keberadaban” yang ada dijaman sekarang ?
Bandingkan dengan acara reality show yang sekarang banyak beredar distasiun televisi yang sepertinya disindir oleh THG, berkedok acara pemberian bantuan kepada kalangan miskin, namun dengan syarat “membongkar” habis profil kemiskinan para penerima bantuan tersebut, dan juga tak lupa mengeksploitasi lugunya reaksi para rakyat jelata ketika menerima fasilitas mewah yang mereka terima walau hanya dalam sekejab.
Atau dalam keadaan sehari-hari, ketika banyak tawaran untuk menceritakan pengakuan akan aib, dengan pendekatan seolah-olah ikut prihatin, namun sebenarnya adalah kedok untuk memuaskan diri sendiri untuk mengetahui danmelihat aib dari orang lain.Bukankah itu semua adalah ciri dari kata-kata “beradab”yang diagung-agungkan oleh masyarakat bukan ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H