Mohon tunggu...
Novredhana Diansi
Novredhana Diansi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Male, 22 years old, college boy, melancholist type of person, like sport. Follow me @novredhanads

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Asing di Bukit Azalea

17 Desember 2013   18:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:49 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukit Azalea. Kau tahu mengapa bukit ini dinamakan seperti itu? Ah, sungguh pertanyaan yang bodoh… tentu saja karena bukit ini dipenuhi oleh bunga azalea bukan. Namaku Edward Smith Trickster. Jangan tertawa, aku sendiri tak mengerti bagaimana ibuku bisa menyematkan nama seperti ini kepadaku. Aku lahir dan besar di Smallville, kota kecil yang begitu mempesona, setidaknya buatku. Oh, ya, bukit azalea ini tidak jauh dari rumahku. Rumahku terletak di pinggiran kota.

Dahulu, aku sering menyendiri di tempat ini. Biasanya setelah wajahku dihiasi warna biru karena lebam dan uangku yang habis dirampas dengan seenaknya oleh Kevin, si tukang pukul yang sangat brutal. Ia dan para gengnya tidak akan segan untuk menghantammu dengan tinjunya yang keras meskipun kau sudah memelas dan memohon untuk membiarkanmu pergi. Tidak ada bocah yang tidak menangis. Meskipun terkadang ada perasaan malu untuk menunjukkannya ataupun mengakuinya. Well, jangan salahkan aku. Waktu itu aku hanya bocah kurus berumur 14 tahun.

Apakah kau pernah mendengar cerita fantasi superhero dimana ketika seseorang dianiaya oleh penjahat lalu tiba – tiba muncul seorang pahlawan, yang biasanya memakai topeng dan jubah (Aku tak tahu siapa pencetus ide tolol itu sehingga setiap tokoh pahlawan selalu saja memakai setelan konyol yang sangat aneh, namun sepertinya cara itu sangat efektif untuk mempengaruhi anak – anak, salah satunya Nelson, anak tetangga sebelah yang selalu membayangkan ia bisa terbang dengan jubah dan topengnya dan selalu melakukan adegan dimana ia selalu melompat dari kasur tingkat dua, terjatuh dengan keras ke lantai, dan masih tertawa terbahak – bahak seperti tidak pernah terjadi apa – apa)datang dengan suasana dramatis, dan menolong si korban.

Well, aku pernah mengalaminya…

Meskipun kejadiannya tidak persis seperti yang kau lihat di film, namun aku merasakan seperti itu. Sore itu aku sedang duduk di tengah bukit. Seperti biasa, mengasihani diri sendiri setelah sebelumnya dibully oleh anak – anak brengsek itu. Seseorang datang saat itu. Seorang gadis, matanya coklat, tubuhnya kecil, meskipun ia memiliki rambut yang tidak panjang, namun angin yang bertiup cukup kencang membuat ia tampak begitu manis. Ia berjalan mendekatiku.

“Kau tidak apa – apa?” Ia memandangiku dengan wajah prihatin. Gadis itu tampak aneh. Begitu juga dengan aksennya, terdengar sangat asing. Tampaknya ia bukan berasal dari sekitar sini.

“Siapa kau? Apa yang kau lakukan disini?” Saat itu aku masih dalam keadaan kesal, sehingga tanpa kusadari aku bertanya dengan nada kasar kepadanya.

“Kenalkan, aku Safitri” ia mengulurkan tangan sambil tersenyum kepadaku. Setelah melihat senyumnya, kekesalanku seperti luntur begitu saja. Senyumnya begitu tulus. Tidak terkesan dipaksakan, mengingat sebelumnya aku telah bersikap tidak menyenangkan kepadanya. Aku membalas uluran tangannya “Edward”. Ia mengambil tempat untuk duduk di sebelahku. Jujur, aku agak salah tingkah. Sebelumnya aku tak pernah berbicara sedekat ini dengan seorang gadis. Tapi dia terlihat sangat percaya diri. Aku benci perempuan yang terlalu percaya diri. Membuatku terlihat bodoh…

Angin bertiup kencang. Rambut hitamnya tersibak mengikuti aliran angin. Ia menyibakkan rambutnya, menoleh kepadaku. “Maafkan aku sebelumnya, suasana hatiku sedang tidak bagus hari ini” aku merasa bersalah, sehingga aku merasa harus meminta maaf padanya. Ia tertawa “Tidak apa – apa, bisa kulihat dari wajahmu”.

“Jadi, umm… Saf…” sial, namanya begitu sulit. “Safitri” ia melanjutkan kata – kataku yang terhenti sambil tersenyum. “Ya,Safitri, apa yang kau lakukan di kota ini? Aku tahu kau bukan berasal dari sini bukan?”

“Ya Edward, aku dan ayahku sedang berlibur di sini. Ayahku adalah seorang penulis terkenal di tempat asal kami. Ia mendapat informasi bahwa tempat ini sangat bagus untuk dikunjungi. Kebetulan, aku juga sedang libur sekolah, maka dari itu aku diajaknya ke sini”

Aku berpikir, tampaknya semua ini mulai masuk akal. Ternyata dia memang bukan berasal dari sini. Aku kagum dengan profesi ayahnya. Sejujurnya aku juga ingin menjadi penulis. Penulis buku bestseller yang memenangkan pullitzer prize atau nobel kesusastraan. Ah, pasti sangat menyenangkan.

“Lalu ibumu?” aku melanjutkan pertanyaanku. Tapi, begitu mendengar pertanyaanku barusan ia terdiam. Wajahnya tertunduk. “Ibuku sudah lama meninggal” jawabnya lirih.

“Oh, maafkan aku, aku tidak bermaksud…”

“Taka pa – apa Edward, aku mengerti”

Bagus, sekarang aku berubah menjadi Edward si perusak suasana. Tapi aku agak terkejut, setelah itu tak tampak raut kesedihan dari wajahnya. Setelah itu ia malah menceritakan pengalamannya selama berkunjung ke daerah ini. Melihat dia yang begitu bersemangat suasana kembali mencair. Entah mengapa aku pun mulai menceritakan tentang diriku sendiri, hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya bahkan kepada orang tuaku sendiri. Kami bercengkrama layaknya dua orang sahabta yang baru bertemu kembali setelah perpisahan bertahun – tahun. Ia bercerita tentang keinginannya untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi seorang penulis. Bahkan sekarang ia sudah menulis beberapa cerpen. Sebagian cerpennya berhasil memenangkan lomba. Ia menyerahkan salah satu salinan cerpennya kepadaku. Ia berharap aku akan membacanya nanti. Tanpa terasa mengobrol sekian lama, langit mulai gelap. Kami berdua memutuskan kembali ke tempat masing – masing, ia kembali ke hotel, dan aku…

aku tak tahu mau kembali kemana. Seminggu yang lalu rumahku disita oleh bank setempat karena ayahku yang tidak sanggup membayar hutangnya. Biasanya aku tinggal bersama bibiku, namun seingatku hari ini ia berada di blackwood capital menghadiri pernikahan sahabatnya. Ah tampaknya tidak ada pilihan lain. Hari ini aku harus bermalam di rumah paman Jimmy. Sebenarnya aku tidak begitu suka menginap di tempat itu. Sungguh ! aku benar – benar muak jika harus tinggal di tempat terkutuk itu. Kau mau tahu alasannya ? itu karena paman Jimmy adalah ayah Kevin !

Maaf, aku lupa memberitahumu sebelumnya bahwa Kevin adalah sepupuku sendiri. Sebenarnya aku tidak menyalahkannya jika ia berperilaku seperti orang bar – bar, mengingat kedua orang tuanya yang sangat sering bertengkar. Kakaknya, cathy, saat ini berada di Fitzgerald Asylum. Tempat orang – orang “waras” berkumpul. Rumornya, cathy menjadi seperti itu karena ia diperkosa pacarnya sendiri. Tidak, tidak sendiri… melainkan digilir satu persatu oleh teman – temannya saat ia dalam keadaan sakau oleh kokain.

Tampaknya aku tak punya pilihan lain. Aku tak mau bermalam dijalanan dan mengetahui esoknya aku berada di tempat antah berantah, diculik oleh orang tak dikenal dan melucuti organ dalam tubuhku satu persatu untuk dijual di pasar gelap. “Tunggu Edward, maafkan aku. Tampaknya hari ini adalah hari terakhir kita bertemu. Besok aku harus kembali ke negaraku” suaranya membuyarkan lamunanku. Aku begitu terkejut mendengarnya. “Apa? Me-mengapa kau kembali?”

Mendengar pertanyaanku barusan, alisnya langsung terangkat. “Ma-maaf, barusan kau mengatakan apa?”

Oh tidak, tampaknya mulut sialan ini tidak bisa diajak bekerja sama. “Bu-bukan begitu, maksudku, apakah kau akan kembali mengunjungiku? Ma- maksudku mengunjungi tempat ini?”

Ia tersenyum “Mungkin, aku tak tahu Edward” ia pamit, beberapa langkah sebelum ia pergi ia kembali melihat ke arahku “Oh, ya Edward, kau boleh menyimpan tulisanku itu !” katanya setengah berteriak. Akhirnya ia pergi begitu saja, meninggalkan aku yang masih termangu di tempat itu.

Bersama bunga azalea yang terayun – ayun oleh angin, sebagian dari diriku berusaha untuk menyangkal perasaan ini. Tapi sekeras apapun aku berusaha tampaknya hal itu sia – sia. Sudah jelas, sejelas bintang – bintang yang bermunculan di langit senja, sejelas bulan yang memancarkan cahaya yang menyinari wajahku dengan temaram.

Sudah jelas, tampaknya aku meridukannya. Si gadis asing itu…

Safitri…

***

Sudah empat belas tahun berlalu. Aku masih tinggal di kota ini, bekerja mengelola sebuah peternakan. Peternakan milik bibi Rodwell. Pasti kau berpikir bagaimana caranya seorang pemuda pemalas, aneh, dan introvert ini bisa mengelola sebuah peternakan yang cukup terkenal di Smallville. Well, ceritanya cukup panjang. Yang bisa kuceritakan padamu adalah… Aku mengurus peternakan ini karena bibi Rodwell sudah meninggal, tepatnya 4 tahun yang lalu. Penyakit Diabetes Melitus yang menggerogoti seluruh tubuhnya membuatnya tak bisa lagi mengurus pekerjaannya disini. Jujur, sebenarnya aku tak begitu suka melakukan hal seperti ini. Bahkan setahun sebelum Bibi Rodwell meninggal aku berencana hijrah ke bloomwell city. Semua orang tahu bahwa kota itu lebih menjanjikan kehidupan yang layak dibandingkan daerah ini yang bahkan aku tak pernah sekalipun melihat tanda adanya kota ini dip eta manapun. Hampir setiap orang yang berasal dari sini dan pergi ke sana selalu berakhir sukses. Setidaknya aku bisa melihatnya dari keluarga Foreman yang membeli rumah di capitol hill, perumahan elite di wilayah root district, dan pindah ke sana tentunya.

Tidak, yang menahanku di tempat ini adalah karena aku merasa berhutang budi pada bibi Rodwell.Selama ayah dan ibuku yang entah menghilang kemana, ia yang merawatku, member makan, bahkan ia juga membayar biaya sekolahku. Karena ingat jasa – jasanya, aku mengalah. Sewaktu aku mengatakan keputusanku untuk tetap berada di sini. Ia tersenyum. Menatapku sendu diranjangnya,seakan – akan ingin berkata ‘terima kasih anakku’. Saat itu penyakitnya sudah semakin parah hingga untuk bicara pun rasanya mustahil.

Hari ini pekerjaanku selesai. Biasanya setelah ini aku selalu mengunjungi supermarket milik si tua Blake yang sudah berdiri sejak aku baru belajar berdiri. Membeli beberapa kaleng bir, dan menonton acara murahan di TV ditemani Roger, anjingku yang setia menemaniku. Aku merawatnya mulai dari kecil saat ia kutemukan berdiri lusuh di dekat bak pembuangan sampah, dibuang oleh pemiliknya, hingga ia sebesar ini.

Tapi, entah kenapa sekarang aku ingin sekali pergi ke bukit Azalea. Rasanya aku sudah rindu pada tempat itu. Terakhir kali aku kesana dua belas tahun yang lalu. Dan kau tahu? Aku berada di sana hanya untuk menunggu kedatangan dia ! Si gadis asing itu. Terakhir kali dia pergi meninggalkanku, setiap minggu aku selalu datang ke sana. Berharap gadis itu akan datang kembali bersama ayahnya untuk menikmati keindahan bukit ini. Menemaniku untuk berbicara, entah itu penting atau tidak. Aku tidak perduli.

Aku hanya ingin mendengarkan suaranya. Selama dua tahun aku selalu pergi ke tempat itu.

Nihil…

Ia tak pernah kembali lagi. Saat itu aku merasa sangat putus asa. Sedih bercampur marah. Namun tak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Akhirnya aku menyerah. Aku membuat keputusan untuk tidak datang ke tempat itu lagi. Mengubur kenanganku agar rasa sakit itu tidak muncul ke permukaan.

Tapi sekarang, ada sesuatu yang sangat kuat mendorongku untuk pergi ke tempat itu. Baiklah, apa salahnya kucoba. Toh, aku pergi ke sana tidak untuk menunggu siapa – siapa. Aku hanya ingin kembali merasakan diriku waktu kecil. Menenangkan pikiran dengan merasan hembusan angin semilir. Tidak ada orang lain yang mengganggu. Hanya aku, angin, dan bunga azalea. Aku melangkahkan kakiku ke sana, perlahan namun pasti. Sekitar beberapa menit berlalu akhirnya aku sampai. Aku memandanginya kembali, bunga – bunga yang diterpa angin sore. Udara yang begitu sejuk.

Sial, inilah yang kutakutkan. Ingatan itu kembali lagi. Aku berusaha menghilangkannya perlahan. Sia – sia… rasa sakit itu kembali. Begitu perih..

Aku bisa melihat sesosok gadis yang sedang duduk dip agar pembatas jalan raya. Pandangannya fokus ke depan. Tunggu ! ini bukan halusinasi. Di sana memang ada seorang gadis. Sedang apa dia disitu? Tidak, jangan – jangan dia adalah…

“Maaf” aku mendekat, berusaha memastikan kalau dia memang benar gadis asing itu. Mengenai bentuk fisik, aku sendiri tidak yakin karena dalam waktu selama itu apapun bisa berubah.

“Ya, ada yang bisa kubantu?” Ia membalas dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Tidak ada aksen asing yang khas, aku menjadi ragu…

“Kau…”

“Oh maaf, aku Sheila”

Sheila? Ah ternyata bukan. Sudahlah, ini sama sekali tidak bagus.

“Baiklah, aku minta maaf, kukira kau…”

“Ya?” Ia tampak bingung. Seperti yang sudah kuduga sebelumnya.

“Sudahlah, lupakan saja” Aku merapikan rambutku yang agak berantakan. “Baiklah, Sheila, apa yang kau lakukan disini? Kau tahu, berdiam sendirian di sini bukanlah perilaku perempuan di sini pada umumnya”.

Ia tersenyum “Tidak, sebenarnya aku sedang tersesat, apakah kau tahu dimana bukit azalea berada? Menurut peta tempat itu seharusnya tidak jauh dari sini” Perempuan itu melihat lagi ke peta yang ia bawa. Merasa ada yang terlewatkan. Aku hanya tertawa pelan.

“Maaf nona, kurasa kau sudah memandangi tempat itu sejak kau berada di sini”.

Ia tampak terkejut. “Benarkah?” Aku mengangguk. Ia tampak senang. Ia segera mengeluarkan kamera yang berada di tasnya, lalu memotret ke segala penjuru. Tampaknya ia begitu asik sampai lupa bahwa aku berada di sini, memandanginya dengan tatapan sendu. Aku merasa aneh, ada sesuatu dari dirinya yang mengingatkanku dengan gadis asing itu. Tapi aku tak bisa menyebutkan apa itu. Sudahlah… kurasa sudah cukup bernostalgianya. Lagipula langit mulai sore. Aku tak tahu gadis ini bersama siapa dan menginap di mana. Kurasa sebaiknya aku mengajaknya pulang.

“Sheila, sebaiknya kita pulang sekarang. Aku khawatir semakin malam kita akan sulit untuk menemukan jalan pulang” ujarku setengah berteriak. Ia mengangguk, memasukkan kembali kameranya ke dalam tas.

“Baiklah, apakah kau sudah menemukan tempat untuk bermalam di kota?” Aku sangat yakin, meskipun bahasanya cukup fasih ia tetaplah orang luar, ia pasti seorang turis atau semacamnya. Dan turis pasti membutuhkan tempat untuk menginap.

“Kurasa belum. Aku baru sampai di kota hari ini, aku tak sempat mencari penginapan” katanya santai.

Aku mengernyitkan dahi. Oke, turis macam apa yang tidak mencari penginapan dahulu sebelum berjalan di kota yang sama sekali ia belum paham?

“Tunggu, apakah kau kesini sendirian? Apakah kau sudah merencankan akan kemana setelah sampai disini?”

“Ya, aku sendiri, aku tak pernah merencanakan apapun jika aku pergi berlibur. Aku selalu membiarkan angin membawa langkahku. Yahhh.. dengan sedikit bantuan peta tentunya” jawabnya sambil tersenyum.

Oke, kuulangi untuk yang kedua kalinya, turis macam apa yang tidak mencari penginapan, dan tak tahu akan pergi kemana di daerah yang begitu asing? Aku menggeleng – gelengkan kepalaku. “Well, begini saja nona. Di kota ini kebetulan hanya memiliki satu penginapan, yang terletak di jalan Figueroa. Bagaimana kalau kau kuantar ke tempat itu, yah meskipun aku pesimis kau akan mendapat kamar di akhir pekan seperti ini. Setidaknya kita coba terlebih dahulu”

Ia hanya mengangguk. Kami berdua berjalan menyusuri malam. Tak terlihat sedikitpun kelelahan dari wajahnya. Sedangkan aku sendiri, yah, mataku sudah mulai memerah, badanku sudah tak bisa berdiri dengan normal. Aku berjanji pada diriku sendiri, setelah mengantar gadis ini aku akan membeli beberapa bir kaleng, tidak, bukan beberapa, tapi sebanyak – banyaknya…

Benar saja dugaanku sebelumnya. Devlin, si resepsionis mengatakan bahwa kamar sudah penuh. Gadis itu terlihat sangat bingung, ia menanyakan kepada Devlin apakah ada penginapan lain di kota ini. Devlin menggeleng. Tentu saja, kan sudah kubilang, kota ini tidak cukup besar untuk menampung lebih dari satu penginapan.

Akhirnya dengan tertunduk lesu kami keluar dari pintu hotel. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di sini. Meskipun sebenarnya aku tidak memiliki tanggung jawab apapun padanya. Tetapi nuraniku berkata lain. “Sheila, dengar, bagaimana kalau kau menginap dirumahku? Untuk hari ini saja”. Kata – kata itu tiba – tiba keluar begitu saja dari mulutku. Sial, aku memang tidak pandai menyembunyikan perasaan. Aku melihat ada keraguan dari matanya setelah mendengar ajakanku tadi. Aku mengerti, mungkin di daerah asalnya hal itu merupakan hal yang tabu. Tapi ia tak punya pilihan lain. Dan kurasa ia tak akan mau menghabiskan malam ini dengan tidur di jalanan.

“Tolong, jangan salah artikan niat baikku ini. Aku hanya berusaha membantumu, oke?”

Ia tampak sedang berpikir. Akhirnya ia setuju. Seperti yang kubilang sebelumnya… tak punya pilihan lain.

Sebelum pulang, aku dan Sheila singgah di toko kelontong Paman Blake untuk membayar nazarku – membeli beberapa kaleng bir ditambah beberapa makanan kecil. Kami sampai di moonlight farm, nama yang cukup indah untuk sebuah peternakan. Aku menyalakan lampu dan mempersilahkannya duduk di sebuah bangku panjang dekat perapian. Matanya menerawang ke sekeliling. “Maaf, tempatnya agak berantakan”. Ia menggelengkan kepalanya. “Tidak, justru aku sangat suka dengan rumahmu. Begitu klasik, temanya begitu kuat. Apakah kau mendesignnya sendiri? Atau memakai jasa designer professional?”.

Aku mengangkat alisku. Aku tak tahu apakah kata – katanya tulus atau hanya sekedar ingin menyenangkanku. Lagipula, jika rumah ini sebegitu artistiknya seperti yang ia katakan tadi, setidaknya seseorang dari “Showroom!”, sebuah acara TV popular yang membahas setiap rumah yang memiliki nilai tinggi, pasti akan datang kesini. Dan tentunya rumah ini pasti akan terkenal….

Kenyataannya, yang datang hanyalah tetangga di sekitar sini dan mereka menganggap rumah ini biasa saja.

“Tidak, biasa saja, lagipula ini rumah milik bibiku” jawabku tersenyum.

“Oh, lalu dimana bibimu sekarang?”

“Ia sudah pergi”

“Apakah ia akan kembali malam ini?”

“Tidak, maksudku, ia sudah lama meninggal”

“Oh… maafkan aku, aku kira kau…”

“Tidak, tak usah kau pikirkan. Sekarang bagaimana kalau kita menghabiskan malam ini dengan beberapa kaleng bir” Aku meletakkan dua kaleng Heineken di atas meja.

“Baiklah, kurasa itu lebih baik” Ia membuka kaleng dan memulai tegukan pertamanya. “Boleh kutahu siapa namamu?” lanjutnya.

“Orang – orang disini biasa memanggilku Smith”

“Baiklah Smith, mari kita bersulang”

Setelah itu kami berbincang – bincang cukup lama. Ia sangat suka menceritakan keindahan tempat – tempat yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Terutama saat di Paris. Dimana ia menceritakan ada seseorang pria yang menggodanya saat ia sedang minum kopi di sebuah brassiere. Seorang pria asia, dari ciri – ciri fisiknya tampaknya ia berasal dari asia tenggara. Bahasa prancisnya cukup fasih. Tapi setelah tahu mereka berasal dari tempat asal yang sama mereka memilih berkomunikasi menggunakan bahasa ibu. Pria itu mengajaknya berkencan. Hingga malam hari, Sheila diajak ke apartemen milik lelaki itu. Mereka makan malam bersama. Tampaknya pertemuan itu akan berlanjut ke tempat yang lebih ‘panas’ dari sebelumnya. Sampai entah bagaimana caranya ia mengetahui laki – laki itu adalah sepupunya sendiri! Ia terkejut setengah mati. Ia merapikan pakaiannya, mengancam lelaki itu untuk tidak memberitahukan hal ini pada keluarganya, dan lari terbirit – birit meninggalkan apartemen itu. Kami berdua terbahak – bahak. Kuakui, gadis itu memang menyenangkan dan lucu. Aku sampai tak sadar bahwa kami sudah duduk disini selama dua jam.

Menariknya, kurasa ia gadis yang suka minum. Dari 10 kaleng bir yang kubeli di toko aku hanya disisakannya sekaleng. Aku tak menyangka gadis yang dari wajahnya terlihat sangat polos mampu minum sebanyak itu. Aku ingat terakhir kali orang yang mampu meminum sebanyak itu adalah paman reggie, dan dia adalah supir truk!

Wajahnya mulai memerah, semakin lama bicaranya semakin melantur. Ah, kurasa sudah cukup. Meskipun ia mengatakan masih ingin lagi tapi aku tak memperdulikannya. Kubopoh ia ke kamar dan meletakkannya perlahan di tempat tidur. Aku melepaskan alas kakinya. Astaga, kakinya begitu bau! Akhirnya aku menjauhkan wajahku dari kakinya. Setelah kuselimuti tubuhnya aku tak langsung pergi dari kamar itu. Ia sudah tertidur, cukup cepat. Aku hanya menggeleng – gelengkan kepalaku. Benar – benar gadis asia yang aneh.

Malam itupun akhirnya aku menghabiskan malam dengan menonton TV sambil meminum bir yang disisakan gadis itu. Anjingku, Max sudah tertidur di pojok perapian. Malam ini cukup dingin sehingga membuat ia mengantuk lebih cepat. Terpaksa kali ini aku harus sendiri. Sendiri seperti malam – malam sebelumnya. Tak terasa, setengah jam kemudian, aku pun tertidur di kursi tepat di depan TV.

***

Aku masih berada di kursi. Cahaya matahari yang mulai menusuk membangunkan aku. Ah, tampaknya aku kesiangan. Tapi tak masalah, aku baru ingat untungnya hari ini adalah hari minggu. Kegiatanku tidak cukup banyak hari ini sehingga aku masih punya banyak waktu untuk bersantai. Aku mengusap – usap wajahku, berharap rasa kantuk ini segera pergi. Aku bangkit dari kursi. Tiba – tiba ada secarik kertas terlipat yang jatuh dari tempatku duduk. Penasaran, aku pun membuka dan membaca isinya.

Untuk Smith

Maaf kurasa ini sangat tidak sopan. Tapi tampaknya hari ini aku harus pulang. Pagi – pagi buta aku mendapat kabar bahwa ayahku sedang sakit parah dan aku diharap segera datang kesana, mengingat keadaanya yang semakin memburuk. Terima kasih untuk malam ini Smith. Aku sangat menghargai bantuanmu. Aku berharap bisa berjumpa lain waktu denganmu. Dan jangan lupa, pastikan di rumahmu tersedia bir yang cukup banyak!

Salam, Sheila

Membaca surat itu, kata demi kata, kalimat demi kalimat, aku tercekat! Tidak, tidak mungkin! Pasti aku sedang bermimpi!

Aku segera berlari ke kamar, membuka laci yang terletak di sebelah kasur. Mengobrak abrik isinya. Lama aku mencari sampai akhirnya aku menemukan sebuah notes. Sebuah tulisan. Di depan halamannya terpampang nama si pemilik, SAFITRI. Aku kembali ke ruang tamu. Membuka surat itu kembali dan mencocokkannya dengan tulisan di surat itu. Sial, tidak salah lagi. Tulisan itu sangat identik. Tulisan di sebuah cerpen yang diberikannya padaku dahulu sebelum ia pergi. Tak salah lagi, dia memang gadis asing itu!

Pikiranku langsung kacau. Aku tak menyangka semalaman ini aku tak menyadarinya. Aku menjedut – jedutkan kepalaku ke tembok. Menyesali kebodohanku yang membiarkannya pergi begitu saja. Aku segera mengambil kunci truk yang terparkir di gudang. Menginjak gas dengan penuh dan menuju jalan raya. Berharap ia masih belum jauh dan bisa bertemu dengannya. Aku terus menyusuri jalan raya anabelle. Melongok ke kanan dan kekiri. Berusaha mencari gadis yang memiliki rambut hitam.

Setelah sampai di persimpangan, aku melihat gadis yang sesuai dengan yang kutandai. Tapi aku tidak yakin kalau itu memang dia. Tidak, segala kemungkinan kecil harus aku perhatikan. Aku harus segera menemukan gadis ini jika aku tak mau menyesal nantinya. Aku mendekatinya dengan trukku. Sial! Ternyata itu benar. Dia sedang menunggu bus yang akan mengangkatnya ke airport. Aku langsung turun, membiarkan pintu truk masih terbuka, tampaknya dalam pikiranku sudah tak terpikirkan apa – apa lagi kecuali untuk bertemu dengannya. Setelah dekat, aku langsung menggenggam tangannya, awalnya ia terkejut. Ia hampir saja memukulku dengan tangannya sebelum melihat wajahku dan menyadari siapa orang yang mengagetkannya sebelumnya.

“S-Smith… apa yang kau lakukan disini?”

“A-Aku… tunggu…” nafasku masih memburu, aku masih kelelahan setelah tadi sempat berlari – lari.

“Maafkan aku jika tidak pamit sebelumnya kepadamu, tapi aku harus pulang hari ini juga”

Setelah aku mulai dapat menguasai keadaan, aku berbicara padanya dengan tetap menggenggam kedua tangannya.“Ya, aku mengerti, tapi bukan itu masalahnya”. Ia mengernyitkan dahi “Lalu apa?”

“Kau… kau Safitri bukan?”

Saat itu ia agak tersentak. Dari wajahnya kelihatan ia masih sangat bingung. “Da-darimana kau tahu nama itu? Sudah lama aku tidak dipanggil dengan nama itu”. Aku diam sesaat. Masih mencari kata – kata yang tepat untuk disampaikan kepadanya.”Aku… aku adalah Edward”.

“Edward, Edward Trickster maksudmu???”

“Sebenarnya, Edward Smith Trickster”

Ia semakin bingung. Sepertinya aku mengerti, gadis mana yang tidak takut kalau didatangi secara tiba – tiba oleh pria yang mengaku – ngaku sebagai pria dari masa lalunya. Tapi aku tak perduli, aku harus menyampaikan kebenaran saat ini juga.

“Tak mungkin, kau bohong!” ia menggeleng – gelengkan kepalanya. Tapi aku bisa melihat dari matanya seperti ada air mata yang mengalir. Aku mengerti, aku tidak menjelaskan panjang lebar lagi. Aku menyerahkan sebuah notes. Notes yang berisi cerpen yang pernah ia berikan dulu. Ia mengambilnya dengan ragu – ragu. Setelah ia melihat nama yang terpampang di halaman depan. Ia langsung menutup mulutnya. Perlahan ia membuka lembar – demi lembar. Mencoba meyakinkan dirinya. Kurasa ia tak membaca isi sepenuhnya. Dan kurasa aku yakin, bahwa ia benar – benar percaya bahwa benda itu adalah benda miliknya.

“A- aku sama sekali tidak mempercayainya…” ia berkata lirih.

“Begitu pula denganku”. Ia terdiam. Tak tahu harus berkata – kata apa lagi.

“Baiklah Edward, apa maumu?”

Tanpa berbasa – basi lagi aku langsung memeluknya. Ia sama sekali tak berontak.

“Aku mencintaimu, aku ingin kau menikah denganku” aku membisikkannya tepat di telinganya.

Kali ini tangisannya sudah tidak terbendung lagi. Beberapa bus yang menuju airport lewat berkali – kali. Tapi ia tak perduli. Tangannya kini sudah berada di punggungku. Kali ini perasaanku benar – benar senang. Aku tak menyadari si gadis tukang minum ini ternyata adalah gadis dari masa laluku. Situasi ini sangat aneh, tapi sangat nyata. Senyata kecupan bibirnya yang sekarang sudah mendarat di bibirku. Kami sudah tak perduli dengan pandangan orang – orang yang lewat di sekitar kami. Kami seperti tersedot ke ruang dimensi yang kami ciptakan berdua.

Tak ada apapun… tak ada siapapun… hanya kami berdua.

“Baiklah Edward, sudah tentu aku tidak akan menolak ajakanmu untuk menikahi diriku. Namun, aku ada satu permintaan yang harus kau turuti”

“Apapun itu sayang”

“Aku ingin kita menikah di depan ayahku. Pasti ia akan sangat bahagia melihatnya”.

Tanpa berpikir panjang aku mengangguk. Aku dan dia kembali peternakan untuk mengambil beberapa barang yang kubutuhkan. Malamnya kami tiba di rumah sakit. Mengutarakan niatku untuk mempersunting Safitri… atau Sheila, pada ayahnya. Ia tak bisa berbicara, namun tubuhnya masih cukup kuat untuk menyunggingkan senyum dan mengangguk tanda setuju. Esoknya kami berdua mengutarakan janji suci itu di rumah sakit, dengan hanya dihadiri beberapa kerabat dekat. Namun itu sama sekali tidak mengurangi kekhidmatan acara ini. Dari wajahnya, aku bisa melihat ayah Safitri sangat berbahagia. Kebahagiaan yang tak berlangsung lama karena dua hari kemudian. Ia kembali ke sang Pencipta. Meninggalkan seribu kenangan kepada istriku. Tapi, ketika ia meninggal. Tak sedikitpun raut wajah penyesalan terpancar dari wajahnya. Bahkan, aku masih bisa merasakan. Jauh disana, ia sedang memandangi kami berdua. Memandangi dengan bahagia, karena anaknya, telah berada di tangan yang tepat. Berada di pelukanku…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun