[caption caption="Salah satu foto Aiptu Pudji saat memeriksa kondisi TKP yang diduga terdapat mayat."][/caption]Seru dan mendebarkan. Itulah penilaian saya seusai membaca buku TKP Bicara karya Aiptu Pudji Hardjanto. Kata sang penulis, buku ini tinggal menunggu hari untuk diterbitkan secara luas. Saat ini buku Pudji masih beredar di kalangan internal Polri dan wartawan.
Buku ini merupakan karya fenomenal. Di Indonesia buku Crime Scene Investigation (CSI) belum ada. Ini adalah buku pertama yang mengulas soal itu. Boleh dibilang buku pelopor.
Awalnya saya menduga buku ini materinya membosankan. Terlebih ditulis oleh seorang polisi yang notabene anggota Inafis. Bukan meremehkan cara menulisnya. Tetapi biasanya buku-buku yang ditulis aparat penegak hukum atau pakar hukum, professor, dan akademisi selalu membosankan. Sebab, mereka menulis tidak pernah lepas dari kaidah-kaidah keilmuannya. Sehingga menjadi bacaan yang khusus dan hanya diminati oleh penghobi ilmu saja.
Di sini Pudji justru menunjukkan something new. Penulis telah berani keluar dari koridor keilmuannya. Apa yang disampaikan di buku tersebut justru jauh dari bayangan. Kendati ada hal-hal teknis tentang olah TKP dan identifikasi, tetapi penulis seolah-olah membuatnya begitu mudah dipahami. Pembaca pasti tidak akan menemukan kesulitan membaca tulisan Pudji. Isinya tidak berbelit-belit, lugas dan sederhana.
TKP Bicara seperti mengajak kita melihat sebuah visual (menonton) cerita, bukan membaca. Awal-awal cerita, penulis membawa pembacanya bernostalgia di masa lalu. Atambua menjadi cerita pembuka. Di sini karakter sang tokoh ditonjolkan cukup kuat, sekaligus menjadi rentetan cerita perjalanan TKP berikutnya.
Yang menarik, penulis menceritakan bahwa dia pertama kali menemukan TKP pembunuhan dari hutan. Dia juga mengaku belajar ilmu rumput dan jejak dari seorang pemburu. Pada bab berikutnya diceritakan perjalanan Pudji setelah dari Atambua. Dia kembali ke Surabaya dan menjelma sebagai sosok petugas Inafis yang luar biasa. Atau, istilah Dr Aji, petugas forensik lapangan. Sebab dari tangan dinginnya, Pudji berhasil mengungkap kasus-kasus besar. Â
Nah sekarang bayangkan sendiri. Pudji setelah pulang dari Atambua lantas di kota besar menjadi petugas identifikasi yang handal. Bukankah ini persis dalam cerita pewayangan Gatot Kaca, bahwa sebelum menjadi sakti dia harus dicemplungkan di kawah candradimuka. Orang lantas bertanya-tanya, apakah ilmu TKP berasal dari Atambua? Ha…ha…ha…kalau ini hanya bualan saya saja.
Intinya, TKP Bicara menyuguhkan cerita-cerita luar biasa. Ada sebuah ketelitian, keuletan, spirit, keberanian, kegagalan, bahkan kekonyolan.
Dalam menjalani profesinya, Pudji termasuk orang yang super teliti. Itu yang terulis di buku. Terbukti, beberapa kasus yang terbongkar berasal dari hal-hal yang sepele. Di antaranya pembunuhan seorang janda di Nganjuk. Hanya gara-gara suara sapi, pelaku pembunuhan berhasil dibekuk. Bahkan, itu menjadi satu-satunya kasus yang sensasional karena tidak ada pengakuan dari tersangka. Semua berdasarkan temuan alat bukti di TKP. Kalau bukan ketelitian dan keuletan, saya yakin orang biasa tidak mungkin mengungkap kasus tersebut.
Kasus lain diceritakan pencarian mayat di rumah padat penduduk. Yang unik, jenazah ditemukan hanya dari petunjuk satu batang rumput. Menurut saya, ini teori baru yang pernah dilakukan seorang polisi dalam mengungkap suatu kasus. Semangat dan perjuangan Pudji patut diacungi jempol. Ketika semua orang sudah menyerah, Pudji tetap saja ngeyel bahwa di TKP ada mayat. Konyolnya, dia diajak taruhan jika dapat menemukan mayat. Berkat kejeliannya menguasai ‘ilmu rumput’ akhirnya mayat tersebut berhasil ditemukan.
Ada lagi diceritakan Pudji mendadak menjadi tim SAR. Padahal dia tidak memiliki bekal apapun saat hendak mengambil jenazah di limbah beracun. Bahkan di sini dia nyaris mati karena menghirup racun limbah. Menurut saya, ini adalah keberanian luar biasa yang ditunjukkan Pudji.