“PENCARIAN”
Perawan Asal Blora
Pesawat Batavia Air mendarat di Bandara Juanda pukul 19.00. Seorang gadis muda menjejakkan kaki menuruni anak tangga pesawat. Dengan hati-hati dia turun menyeret satu tas besar dan tas berukuran sedang ditenteng di pundak.
Untuk pertama kali dia melihat kota besar: kota yang menjadi harapan semua orang, sebuah cita-cita yang tak pernah padam, bersatu dalam pergumulan semangat juang arek-arek Suroboyo yang memiliki semboyan rawe-rawe rantas malang-malang tuntas.
Di sini dia bakal membentuk dirinya, kotanya, lingkungannya, serta keluarganya. Semua orang bangga akan hal tersebut. Tubuh di sekitar jiwa mereka, berkeliling tak tentu arah. Jika pekerjaannya mencari sebuah peristiwa, cita-cita, cinta, penderitaan, dan kebahagiaan, maka, inilah tempatnya. Dia dapat menemukan orang dari hidup yang susah lalu menghilang. Kehidupan kota besar bisa jadi membuat susah, atau malah menyenangkan.
Dalam pergulatan batin, gadis itu menutup mata, membayangkan sebuah keadaan yang damai antara kepuasan, keindahan, dan kasih sayang.
“Ya, aku telah menemukan hidup,” tampak senyum sungging menyertainya walau 45 menit lalu kursi pesawat membuat badannya pegal-pegal.
Kebulatan hati timbul secara tiba-tiba, tapi pasti. Nasib Allea seakan sudah tertulis. Ada semacam paksaan, hanya saja ia tak bisa menghindarkannya. Sebentar lagi gadis itu bakal dihadapkan pada sebuah pilihan; sebuah perjalanan yang takkan melenceng dari cita-cita awal ataukah sebaliknya.
Sewaktu keluar dari bandara, Allea langsung dijemput lelaki berperawakan sangar, bertubuhnya gempal, berjambang tebal, berkulit sawo matang yang tampak terbakar, tetapi dengan sangat sopan dia menawarkan jasa antar.
“Mau kemana, Mbak?”
“Gubeng Kertajaya…” Allea tampak kesulitan menghafal nama, ia pun mengeluarkan secarik kertas bertuliskan alamat lalu memasukkan kembali ke tas besarnya. Tak lupa ia memberi karcis taksi yang baru dibayar dari loket.
Sopir taksi tanpa meminta ijin langsung mengambil tas Allea, meletakkannya di bagasi seraya berkata, “Silahkan masuk, Mbak!”
Allea kaget, ia pun buru-buru masuk ke taksi.
Gadis itu tidak menyangka orang Surabaya ternyata berperingai kasar. Beda dengan orang-orang di kampungnya.
Meski demikian Allea melihat orang Surabaya sejatinya tidak seperti itu. Teringat dia kata-kata neneknya. Orang Surabaya terkenal kekasarannya, bahasanya semerawut, orang-orangnya cuek, sangat individualistik. Apabila mereka tersulut api kemarahan, mereka akan berbuat nekat. Mereka sering tak mau mengalah, selalu ingin berada di atas. Namun jika mereka tersentuh kebenaran, luluh hatinya, luluh perasaannya.
Bahkan mereka rela memperjuangkan hak-hak kebenaran demi membela kaum lemah, menyetarakan kedudukannya sama seperti manusia-manusia yang lain, mau menerima kondisi dalam bentuk apapun melebihi orang Jawa totok yang terkenal tata kramanya. Berbicara mengenai persaudaraan yang terjalin di antara mereka, jika hal tersebut sudah terjadi, maka sulit dijabarkan kata-kata. Semua terasa seperti dongeng, begitu indah, begitu menyejukkan. Itulah mengapa pada 10 November 1945 arek-arek Suroboyo berhasil memenangkan pertempuran, sebab mereka memiliki rasa persaudaraan sangat tinggi.
Hanya saja Allea tidak melihat hal itu pada diri sang sopir. Tampangnya memang sangar tapi dia tidak kasar layaknya orang asli Surabaya, hanya menyerupai saja. Mungkinkah dia bukan orang Surabaya? Dari dialeknya sepertinya dia orang kulonan. Apalagi dari sorot mata sang sopir Allea memperhatikan ada ketidakpedulian dan kebencian yang mendalam. Ada duka mengaduk-aduk, kesedihan telah menginjak-injaknya, dan amarah meletup-letup bagai raksasa yang hendak keluar dari peraduan. Senyum sang sopir itu memperlihatkan segalanya. Sangat kontras dengan keadaan aslinya. Apakah dia sedang terlibat pergumulan batin antara dirinya dengan orang lain? Entahlah. Tidak baik berprasangka buruk pada orang.
Tak lama taksi melaju meninggalkan Bandara Juanda. Jalanan terlihat sepi dan gelap. Sepanjang jalan tidak ada penerangan. Mobil melaju kencang dengan kecepatan 100 km per jam. Di tengah perjalanan, seekor kucing melintas. Sopir taksi berusaha menghindar. Namun sayang, saat membanting setir, bannya selip. Seketika itu mobil terguling-guling dan memecah kesunyian. Posisi mobil terbalik. Tidak ada suara dari dalam, sebab penumpangnya sudah pingsan.
Sesaat, terdengar teriakan lirih. “Tolong, tolong,” Allea melihat sopir taksi tak bergerak.
Allea membuka pintu. Dia tidak mendapati seseorang pun. Jalanan memang sudah sepi. Dia merangkak ke tepi. Kepalanya terluka. Saat dia memegangnya, dia mendapati cairan berwarna merah. Sejurus kemudian, dia kembali pingsan.
Lama pingsan, Allea kemudian siuman. Dia merasakan sakit yang teramat sangat di kepalanya. Dipegangnya kepala, ternyata sudah ada perban melingkar.
“Akh…sial benar nasibku ini,” Allea bertutur dalam bahasa kalbu. Sesaat dia melihat ruangan yang kosong. Semua ruangan serba putih. Dia berusaha bangkit tapi tidak kuat. Kemudian jatuh lagi dalam pembaringan. Allea merasai sebuah kekecewaan. Belum apa-apa sudah ada halangan. Entah bagaimana dulu Dewi bisa betah tinggal di kota ini. “Kukira mama memang seorang yang kuat, dan Allea takkan bisa mengikuti jejak mama.”
@bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H