Mohon tunggu...
Novi Triani
Novi Triani Mohon Tunggu... -

hiduplah dengan rasa syukur :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keep Calm, I'm Your Secret Admirer #6

11 April 2014   14:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:48 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“haha, aku bercanda. Kenapa serius seperti itu, aku hanya bercanda saja” timpalnya memecah kesunyian. Aku segera tersadar dan ikut tertawa terbahak disusul tawa anak-anak lain.

“selera humormu aneh” kataku menghina tentu saja sambil tersenyum. Kata-kataku meluncur begitu saja tanpa terkendali. Dia sedikit melotot. Dan aku mengalihkan pembicaraan.

“ok next” perintahku santai. Dia masih menatapku tajam. Aku bergeming. Hingga seorang staffku menyenggol pelan pundakku.

“ah, iya next” kataku lagi. Semua bingung. Begitupun aku yang bingung menatap mereka yang sedang bingung. Ish. Berbelit-belit.

“mbak, ini kan waktunya mbak yang kenalan” aku menelan ludah. Gugup. Bingung.

“hah? Aku ya haha” kataku sekenanya menutupi rasa malu yang teramat sangat. Bukan kepada staff-staffku yang lain, melainkan satu bocah itu. Aku yakin sekarang dia sedang menertawakan aku puas dalam hatinya. Melihatku bertindak bodoh seperti barusan.

“ok, perkenalkan nama saya Novita Sandria Puri biasa dipanggil Tata, saya dari ITP 2012, motivasi?” kataku mnggantung.

“penting ya?” tanyaku. Mereka mengangguk bersemangat.

“saya cinta pramorlia” kataku sambil tersenyum manis. Mereka manggut-manggut. Entahlah maksudnya apa.

“ok langsung aja ya, jadi gini, bidang perusahaan itu dibagi menjadi 2 divisi, yang pertama divisi keuangan dan yang kedua divisi usaha. Setiap divisi ada pimpinan divisinya yang nantinya bisa saling berkoordinasi untuk menjalankan proker bidang perusahaan. Ibaratnya gini, divisi usaha itu bapak dan divisi keuangan itu ibu. Jadi bapak yang cari uang dan ibu yang mengolahnya. Kira-kira seperti itu. Untuk selanjutnya ini pinginnya pimpinan divisi saya pilih langsung atau ada yang mau mengajukan diri?” tanyaku menawarkan. Mereka berdehem, terlihat sedang berpikir.

Tidak sabar menunggu jawaban mereka akhirnya aku memutuskan sesuatu.

“ya udah, daripada nggak selesai-selesai ini urusannya aku tunjuk aja ya, jadi Sovi pimpinan divisi keuangan dan Dhede pimpinan divisi usaha, gimana? Sepakat?” tanyaku menawarkan lagi. Aku melihat wajah mereka berdua tersenyum kecut. Antara mau dan tidak. Tapi mereka berdua tidak juga berkomentar.

“sepakat” teriak staff-staffku (kecuali Sovi dan Dhede) mantap. Aku tersenyum lega. Satu tanggung jawab menentukan pimpinan divisi gugur. Dhede menyeringai jengkel.

“ok sekarang pembagian staff divisi ya, Arum sama Dewi ikut divisi usaha mas Dhede terus Agung sama Vita ikut divisi keuangan mbak Sovi ya. Ada yang mau ditanyain lagi? Ada yang kurang jelas? Atau mau kasih masukan mungkin?” tanyaku lagi. Dhede mengangkat tangan.

“gue, bingung harus nagapain Ta” katanya. Aku sedikit gemetar menatap matanya. Aku mendesis.

“ok gini Dhe, lu tinggal koordinasi aja sama staff-staff lu, sama staff Sovi juga nggak pa pa, buat ngadain usaha. Jualan kek atau mungkin cari sponsor. Ya itung-itung nambah khas lembaga kita. Lu tau sendiri kan uang pers turunnya nggak gampang. Masih gue urus juga” kataku menjelaskan.

“tapi gue dapet modalkan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Dia balas mengangguk.

“o iya hampir kelupaan satu” kataku segera bangkit berjalan menuju almari sekre mengambil sesuatu di dalamnya. Entah karna tersenggol pintu almari atau apa. Tiba-tiab tasku tertarik dan isi di dalamnya berhamburan keluar. Ini kedua kalinya aku bertindak bodoh di depannya. Tolol! Kutukku dalam hati.

“udah biarin aja, nanti aku beresin sendiri” kataku mencegah mereka membantu memberesi isi tasku. Aku menepuk dahiku secara tiba-tiba karena ingat sesuatu. Tepat. Kertas itu berada ditangannya sekarang. Aku segera menarik kertas itu dari tangannya.

“jangan dibaca” kataku. Dia hanya tersenyum. Atau mungkin dia telah membacanya. Keetiga kalinya melakukan hal konyol ini. Damn!

“hayo apa mbak?” tanya staff-staffku penasaran. Aku menggeleng segera memasukkan kertas itu ke dalam tasku.

Kertas itu adalah kertas bekas dimana di belakang kertas itu aku menuliskan nama Dhede lumayan besar. Sore itu aku sedang tidak ada kerjaan sehingga aku mencari kegiatan dengan menulis menggunakan pensil warna hijau tersebut. Pada saat itu aku memang masih sangat menyukainya. Masih belum pensiun jadi secret admirernya. Jadi banyak coretan-coretan di bukuku dengan namanya. Itu lah aku. Saat aku menyukai sesorang apapun akan aku tandai dengan namanya. Kekanak-kanakan? Setidaknya itu benar.

“apa mas tadi?” tanya Dewi salah satu staffku pada Dhede. Dhede mengangkat bahu sambil melihatku. Seolah berkata “aku melindungi wajahmu untuk kedua kalinya”. Aku mengalihkan pandanganku agar tidak terus tertuju padanya. Aku konsentrasi mencari sesuatu itu di lemari bidang perusahaan. Agak sulit mengambilnya karena terselip diantara buku-buku catatan anggaran dana yang tebal. Namun akhirnya bisa di ambil. Aku sedikit melemparnya ke Dhede.

“ini katalog. Kalau mau nawarin ruang iklan di majalah kita ke sponsor. Kasih liat tu katalog. Udah ada harganya. Ukuran menyesuaikan harga” kataku sambil melempar katalog dengan warna sampul pelangi itu ke dekapannya. Dia dengan santai menangkapnya. Macam pemain kasti handal sedang menangkap bola lawan.

“ok bos” katanya cepat. Aku tidak melihatnya lagi. Setelah itu aku membubarkan rapat perdana dan bersiap naik ke lantai 3 mengikuti kuliah analisis sensori.

Aku berjalan menuruni tangga dekat sekre dengan santainya serta pandangan lurus ke depan. Hingga aku merasa ada yang mensejajari langkahku. Aku menengok. Astaga! Dhede dengan langkah super santainya berjalan tepat disampingku. Entah kenapa aku jadi gugup atau lebih tepatnya salting alias salah tingkah. Aku diam begitu pula dengan dia.

“aku baca kok tadi” katanya memulai pembicaraan.

“apa?” tanyaku singkat tanpa merasa ada yang janggal. Aku menepuk dahi dengan bodohnya.

“kayanya udah sadar ya? Haha dasar lemot” katanya menghina. Aku bersungut sebal.

“itu dulu sekali...” kataku berkelit. Dia hanya tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya.

“oh dulu ya??” tanyanya dengan nada sedikit menggoda. Aku hanya menatapnya sebentar tapi tidak berkomentar.

“kalau ini? Juga dulu ya?” sambungnya sambil memperlihatkan sebuah kertas yang ia buka lebar-lebar. Aku mengakomodasikan mataku kuat-kuat berusaha membaca isi kertas tersebut. Aku terbelalak setelah menyadari sesuatu. Puisi!.

“sini in nggak?” gertakku sambil berusaha mengambil kertas tersebut. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi. Sial dia jauh lebih tinggi dariku. Aku masih terus berusaha menggapainya. Tidak sampai!.

“gak usah PD dulu” kataku berusaha mengelak.

“gak usah PD gimana jelas-jelas ini puisi gue, kenapa lu simpen?” tanyanya dengan muka menyelidik tapi juga dengan senyuman setannya.

“eee..ya itu kan hak tim formatur” kelitku. Dia mengangguk-angguk masih memegang puisi yang ia buat saat seleksi. Aku memang menyimpannya. Ya ini memang salahku selalu membawanya kemana-mana. Aku..jujur memang mengambilnya secara diam-diam.

“hak formatur? Buat apa? Dokumen? Terus lu nyimpennya Cuma punya gue? Haha, lucu banget sih lu?” katanya menghina (lagi).

“nggak Cuma punya lu kali” tungkasku cepat.

“lalu yang lain mana?” tanyanya tidak kalah cepat. Aku terdiam menelan ludah. Bagaimana aku bisa membuktikannya saat memang aku hanya menyimpan miliknya. Aku berjalan lebih cepat. Sudah tidak dapat beralasan lagi. Aku masih diam tidak berkomentar. Dia masih berusaha menghardikku dengan berbagai pertanyaan yang memojokkanku. Mengejarku dengan berbagai pertanyaan yang membuatku tidak mampu beralasan lagi untuk tetap meyakinkannya aku sudah pensiun atas segala usahaku. Hingga aku jengah mendengar juga menjawabnya.

“ lu tu kenapa sih?” tanyaku akhirnya.

“kenapa gimana?” tanyanya balik. Aku kesal. Bosan dan tidak tahu apa lagi yang aku rasakan. Aku berlalu sambil mengibaskan tangan menyuruhnya melupakan apa yang baru saja aku tanyakan. Dia diam. Hingga kami berpisah di dekat tangga lantai 3 karena ia kuliah di ruang 9 dan aku di ruang 8 yang ruangannya memang berlawanan arah.

Aku meletakkan pantat secara sembarangan di tengah-tengah antara Nurma dan Tutut. Mereka berpandangan bingung. Sebenarnya aku tahu apa yang ingin mereka tanyakan tapi aku memilih diam. Aku benar-benar kesal. Rasanya ingin meledak. Bagaimana perasaan kalian jika sesuatu yang telah kalian simpan selama ini, kalian tutup rapat-rapat sekian lama. Tiba-tiba terbuka dan menguap begitu saja dengan cepatnya. Sebal. Pasti kalian merasakan apa yang aku rasakan sekarang.

“bukannya seneng malah nyungut” kata Nurma membuka pembicaraan.

“kesel banget sama Dhede” kataku sambil memasang wajah memelas.

“kenapa?” tanya mereka hampir bersamaan.

“ketahuan” kataku cepat. Biarkan ini menjadi alasanku untuk mengatakan Dhede telah mengetahui siapa aku.

“ha? Yakin?” teriak mereka bersamaan. Aku mengernyit sambil menutup kedua telingaku. Tak ayal suara mereka memancing perhatian teman-temanku yang lain. Kami bertiga hanya melemparkan senyum kecut kepada setiap mata yang memandang kami.

“yakin ta? Kok bisa?” tanya Tutut lebih pelan dari sebelumnya. Aku mengangguk. Mereka terlihat gemas karena aku tidak menjawab pertanyaan mereka yang kedua.

“yah Tata, cerita dong” pinta Tutut memaksa. Aku hanya tersenyum berusaha tegar. Mereka terdiam. Aku menghela nafas menyiapkan mental menceritakan semuanya kepada mereka tentu saja bukan mulai dia benar-benar tahu siapa aku. Tapi mulai dari sekre tadi. Mereka hanya ber iya, ber oh, ber apa iya, dan lain-lain. Dan kalimat yang terakhir yang paling tidak aku sukai adalah

“yang sabar ya Ta..anggap aja semuanya angin lalu” menyebalkan. Kadang-kadang orang mengatakan itu bertujuan untuk menenangkan hati seseoarang yang sedang kacau. Padahal tanpa mereka sadari mereka malah membuat seseorang itu semakin kacau balau tanpa penyelesaian. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Sedikit santai karena memang aku sudah mengalami ini lebih dulu. Dipergoki oleh orang yang sangat diinginkannya. Setidaknya sebelum aku menceritakan tadi pada mereka, aku telah melaluinya. Sendiri, tanpa mereka.

Setelah kuliah selesai, -tentu saja setelah berhadapan dengan dosen berdarah dingin yang seenaknya sendiri dan moody, untung dia ganteng, ya setidaknya sedikit mengurangi citra killernya dihadapan kami-, kami (aku, Tutut, dan Nurma) bergegas meninggalkan ruang kuliah. Aku celingukan di depan pintu ruangan memeriksa mungkin saja Dhede sedang duduk bercengkrama dengan teman-temannya di bangku panjang dekat kamar mandi. Dia memang sering duduk-duduk disitu sebelum menuruni tangga untuk menuju parkiran. Janga tanya bagaimana aku bisa tahu, kan aku sudah bilang kalau aku dulu secret admirernya. Benar saja, dia sekarang sedang duduk di bangku itu. Tepat di paling pinggir. Hingga sedikit saja ia memutar kepalanya ke arah kiri, ia akan memergoki aku.

“shit” umpatku sambil menarik Tutut berjalan tepat disampingku agar badannya menutupi aku. Tutut mengedarkan pandangannya memeriksa apa yang sedang terjadi hingga aku bersembunyi disampingnya. Air mukanya jelas telah menangkap sesuatu. Dia hanya tersenyum geli. Sial! Namun ia terus melaju. Aku masih berada disampingnya. Aku berjalan agak menunduk agar mukaku tidak terlihat olehnya. Aku terus berjalan dengan santai, bersikap senormal mungkin -agar tidak ketahuan aku sedang bersembunyi- setelah agak jauh dan telah menuruni tangga aku merenggangkan jarak denga Tutut. Bernafas panjang karena lega. Nurma menatapku sama seperti Tutut tadi, dengan senyuman geli. Aku mendengus kesal. Hingga ponsel yang sedang ada di genggamanku bergetar. Aku membuka pesan yang masuk.

085768231***

Mau sembunyi kaya apapun, dijidat lu tu udah ada tulisan lu suka sama gue, udah deh jangan kira gue nggak tahu lu lewat tadi. Percuma! Untung gue orangnya baik ya. Jadi nggak suka mempermalukan orang lain didepan umum. Makanya gue diem aja.

Aku hampir berteriak menerima sms ini karena kesal. Kesal sekesal kesalnya. Jadi apa gunanya gue sembunyi tadi? Nggak ada! Cuma mempermalukan diri saja seperti kejadian-kejadian sebelumnya.

“coba lihat, nyebelin banget kan. Hih. Pingen gue tampar aja tu anak. Kesel gue” kataku terus memaki sambil menyodorkan ponsel ke Tutut dan Nurma. Mereka terbelalak sesaat. Setelah itu justru tawa mereka yang meledak. Anjir banget deh.

“Ta, ini gila ta haha” komentar Tutut sambil memegang perutnya menahan tawa. Aku memanyunkan bibirku kesal.

“tau deh, kalian ni sama nyebelinnya” kataku menukas pembicaraan. Mereka tetap mengekor dibelakangku dengan ketawa-ketiwinya. Aish. Sial sial sial. Mereka ini.

***

Aku menaruh badanku sembarangan setelah berada di kamar kos. Capek. Kesal. Lelah. Lemah. Lesu. Lapar. Semuanya menjadi satu. Aku hanya ingin satu sekarang yaitu TIDUR. Tapi lagi-lagi aku tidak dapat mengabulkan keinginanku sendiri saat sadar aku belum membalas sms Dhede. Sebenarnya itu penting nggak sih. Ya setidaknya aku masih menganggap itu penting. Haha.

Tata: lu lihat gue ya? Haha

Dhede: jelas.

Tata: gue nggak sembunyi. Cuma gue nggak tau lu aja.

Dhede:haha, lu pikir gue bodo? Gue tau lagi lu celingukan di depan pintu.. dan lu sadar gue ada dibangku itu makannya lu sok-sokan nunduk

Tata: aish. Ya sudahlah. Tidak usah dibahas.

Dhede: gue udah dapaet sponsor satu. Usaha temen gue sendiri. Laundry.

Tata: wessss hebat bener lu, udah gerak secepat itu.

Rasa-rasanya sifat menyebalkan dari dia belum juga hilang. Dia tetap saja seperti dulu saat aku masih menjadi secret admirernya. Menghilang begitu saja saat smsan seperti ini. Hash, peduli apa. Persetan lah!. Aku sibuk mempersiapkan apa yang harus aku bawa besok menemui pembantu dekan 3 dan bagian keuangan fakultas. Menyiapkan legalitas lembaga, anggaran dana, anggaran rumah tangga, GBPK, rencana-rencana proker, bukti pembuatan majalah. Dan lain-lain. Ok ok memang tepatnya aku belum menyiapkan apa-apa. Satu lagi yang harus aku cari yaitu partner. Aish. Sulit sekali mencari teman yang mau di ajak berepot-repot ria sperti ini. Siapa yang mau coba? Hmm. Aku pun jika bukan menjadi pimpinan bidang juga berpikir 1000 kali lipat untuk ikut. Sayangnya aku tidak memiliki kesempatan berpikir itu.

Aku segera menghubungi Tutut dan Nurma untuk meminta mereka menemani aku menemui para petinggi itu besok pukul 10 pagi. Tapi entah mengapa mereka kompak menjawab tidak bisa. Tutut harus menyelesaikan surat-surat untuk kegiatan Diklat sedangkan Nurma sedang sibuk mempersiapkan acara untuk Diklat tersebut. Sialnya nasibku ini. Aku menghubungi beberapa teman baikku yang lain. Tapi apa? Nihil alias tidak ada yang bisa. Otakku buntu. Aku tidak menyangka akan senekat ini. Tapi ini benar-benar di luar kendaliku. Aku menghubunginya. LAGI!.

Tata: eh..lu besok luang nggak jam 10 an?

Dhede: kenapa? Lu mau ngajak gue kencan? Gue nggak mau. Gue nggak suka sama lu.

Tahu bagiamana perasaanku sekarang? Luluh lantah, hancur, berkeping keping. Sekuat tenaga aku menyimpan airmataku agar tidak jatuh membasahi pipiku. Sekuat tenaga. Aku benar-benar mencobanya sekuat tenaga.

Tata: tenang aja, gue nggak mau ngajak lu kencan kok. Gue Cuma mau minta tolong temenin pas menghadap PD 3 sama bagian keuangan fakultas. Gue nggak cukup punya nyali buat sendiri

Dhede: ajak temen lu yang lain lah. Lu kan punya banyak temen baik di Pramorlia. Masa nggak ada satupun yang bisa

Tata: nggak!

Dhede: yang bener? Lu bukannya mau modusin gue kan?

Tata: terserah deh lu mau ngomong apa aja, terserah lu! Gue nggak peduli. Gue menghubungi orang yang salah

Aku memutus komunikasiku. Semakin berkomunikasi lebih intens dengan dia akan benar-benar membuat aku semakin sakit hati dan sakit jiwa. Dia juga tanpa perasaan tidak membalas smsku yang terakhir. Dasar manusia es. Tidak berperasaan sama sekali. Aku menangkupkan bantal tazmaniaku di atas muka. Kemudian tertidur karena lelah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun