Mohon tunggu...
Novi Triani
Novi Triani Mohon Tunggu... -

hiduplah dengan rasa syukur :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keep Calm, I'm Your Secret Admirer #5

10 April 2014   01:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secret Admirer

Aku tidak percaya ini terjadi padaku

Apa yang sebenarnya kau pikirkan?

Apa yang kau inginkan dariku?

Apa yang kau kagumi dariku?

Bahkan kau mengetahui sisi diriku yang tidak kuketahui

Kau mengenal diriku lebih dari diriku sendiri

Apa yang membuatmu menggilaiku seperti ini?

Lalu pantaskah aku ini? Tolong jawab! Pantaskah?

Tanpa sengaja aku menyakitimu dengak kata kasarku

Hingga hatimu hancur tak berbentuk lagi

Tapi, tolong mengrtilah aku ingin kau berada dihadapanku

Dan mengatakan “aku lah yang mengagumimu”

Langsung kepadaku, tanpa perantara apapun!

Hingga aku dapat menjelaskan padamu

Aku bukanlah orang yag pantas kau banggakan

Orang yang pantas kau nantikan hatinya

Mengertilah..

-Dhede-

Dewangga Adyana

Aku tertegun beberapa saat setelah membaca puisi itu. Entah apa maksud Dhede dengan ini. Mungkinkah yang ia maksud dalam puisinya itu aku? Atau orang lain yang juga menyukainya? Orang lain yang sama sepertiku, yang menjadi secret admirernya. Persetan dengan semua ini aku sudah tidak tertarik lagi bergulat dengan hati dan pikiranku sendiri. Aku hanya melihatnya sebentar (sekali lagi) dan meletakannya kembali. Aku hanya ingin benar-benar menghapuskannya dari memori otakku. Aku tidak mengerti apa yang aku rasakan sekarang kepadanya entah sakit hati, malu, atau hanya berusaha menutupi kesalahan yang telah aku perbuat sendiri.

“ ini punya Tio, dia udah screening ternyata, haha baca ah” Tutut sedikit berseru sambil menyambar selembar kertas dan membawanya ke samping Nurma duduk.

“sini lihat” Nurma menimpali. Aku hanya tersenyum melihat tingkah Tutut. Aku membantu Mbak Imas membereskan beberapa tumpukan hasil tulisan peserta yang berserakan disekitarnya.

“mereka berdua kenapa dek?” tanyanya penasaran melihat Tutut dan Nurma senyum-senyum sendiri sambil membaca selembar kertas. Aku hanya mengangkat bahu pura-pura tidak tahu. Mbak Imas menggeleng sambil berdecak heran.

Aku bahkan tidak berselera lagi ikut melihat apa yang sedang mereka lihat. Hatiku dan pikiranku sedang melayang entah kemana. Tunggu, entah kemana? Jelas-jelas hati dan pikiranku masih ada pada Dhede. Seberapapun aku berusaha mengusirnya dari pikiranku dia tetap berada dengan santainya disana (di otakku).

***

Beberapa hari setelah screening akhirnya pengumuman siapa yang diterima dan siapa yang tdak terima resmi dipublikasikan. Beberapa kertas bertuliskan nama-nama mahasiswa yang diterima di LPM Pramorlia tertempel di kaca depan sekre LPM Pramorlia. Depan sekre mulai dipenuhi mahasiswa yang berharap-harap cemas akan diterima atau tidak. Di pojok dekat pohon melinjo ada beberapa mahasiswa yang sedang tersenyum senang dan saling bergurau dengan temannya. Mungkin sebagian mahasiswa yang diterima. Di seberangnya ada seorang mahasiswi dengan wajahnya legowo tersenyum masam, mungkin ini bagian yang ditolak.

Aku tersenyum simpul pada adik-adik mahasiswa yang mungkin telah mengenalku dan sedang duduk-duduk di dekat sekre. Aku sedikit mempercepat langkahku masuk ke sekre mengetahui Dhede sedang berjalan berlawanan arah denganku. Aku mengumpati semua ini. Mengapa saat aku benar-benar ingin melupakannya justru kami jadi sering bertemu. Sampai di dalam sekre aku duduk selonjoran sedikit menghela nafas yang sempat tertahan menembus beberapa mahasiswa yang berkerumunan di depan pintu sekre. Aku sengaja berangkat duluan dan tidak bersama Tutut hari ini karena ada barangku kemarin yang ketinggalan di sekre.

“sekarang jadi satu sekre dengan my top fans” kata seseorang yang berdiri angkuh di depanku sambil melayangkan senyum setannya dan melipat tangannya di dada macam bos.

Aku terperanjat dan segera membenahi dudukku melihat orang yang selama ini hanya aku amati dari jauh berada tepat dihadapanku. Aku baru mencerna kata-kata yang ia ucapkan hingga akhirnya aku menundukkan kepalaku merasa malu. Entahlah apa yang aku rasakan saat ini malu atau jengah akupun tidak mengerti. Perlahan ia ikut duduk berselonjor tepat dihadapanku. Sekarang apa maksudnya ini semua? Mempermainkan aku?

“nggak berani liat gue?” tanyanya masih dengan nada suara dingin. Aku mengutuki semua ini. Sungguh!.

“ternyata lu gak seberani yang gue kira.” Katanya meremehkan. Ingin sekarang juga aku menyumpalnya dengan sepatunya sendiri. Namun apa daya ia benar, melihatnya saja aku tidak berani.

“hei, gue bukan singa, kenapa sih nggak mau liat gue?” katanya sambil tertawa. Terpaksa aku memberanikan diriku menatap matanya. Ia menyeringai merasa menang.

“jadi lu yang sebenarnya kaya gini baru lihat lu sejelas ini. Gak usah takut. Gue nggak mau apa-apa, gue Cuma mau minta maaf buat kemarin nyipratin lu” katanya santai. Aku sama sekali tidak paham dengan ini. Sepenglihatanku Dhede bukan orang yang seperti ini, aku kira dia ini benar-benar cuek dan semua berlalu jika memang sudah berlalu. Lalu apa ini?

“kenapa? Lu nggak mau maafin gue? Kenapa? Gara-gara pengakuan lu yang dulu? Yang nggak gue jawab gue tau lu darimana? Iya?” tanyanya menyeringai lagi. Entah mengapa saat ia mengatakan yang berkaitan dengan love spyku hatiku jadi berdebar-debar.

“lu boleh kok nertawain gue sepuas hati lu, lu boleh kok nganggep gue cewek paling bodoh sedunia ato cewek murahan atau apalah itu. Gue nggak peduli! Gue kan juga uda pernah bilang sama lu, kalau lu udah tau siapa gue, semua akan kembali seperti semula. Nggak ada yang berubah sama sekali. Dan lu udah setuju kan masalah itu. Jadi nggak salahkan kalau gue diem? Kembali seperti semula, nggak saling kenal” kataku setelah pusing memikirkan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaannya. Sepertinya kata-kataku benar-benar ampuh. Dia diam sebentar dan menatapku dalam-dalam. Hatiku benar-benar bergemuruh sekarang, entah bergumuruh karena apa aku juga tidak paham. Aku tidak dapat menterjemahkan apa yang aku rasakan sekarang. Antara kesal dan, apalah itu aku tidak bisa mengungkapkannya.

“o iya satu lagi. Selamat karena lu udah diterima di Pramorlia” kataku lagi sebelum ia sempat mengatakan sepatah kata menanggapi kalimatku yang tadi. Segera setelah mengatakan itu aku beranjak meninggalkan sekre. Melihatnya? Aku terlalu takut perasaanku berkecamuk ketika melihatnya lagi untuk itu aku tidak menolehnya lagi.

Aku berjalan menuju ruang 8 sedikit terburu-buru karena obrolanku dengannya tadi membuatku sedikit terlambat mengikuti kuliah sistem pertanian terpadu dan berkelanjutan. Aku dapat bernafas lega setelah aku melongok ke dalam kelas dan dosen pengampu belum datang. Andai aku terlambat, maka aku tidak akan boleh masuk atau kalaupun boleh masuk harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan menyebalkan dan jawaban harus benar agar dapat duduk.

“darimana ta?” tanya Nurma tidak lama setelah aku mendaratkan pantatku dengan kasar di kursi sampingnya.

“dari sekre, ambil kotak pensil, kemarin ketinggalan” jawabku sekenanya.

“udah liat pengumuman dong?” tanya Tutut bersemangat.

“pengumuman apa maksudnya?” tanyaku balik.

“penerimaan pengurus?” sahutnya. Aku menggeleng cepat.

“nggak sempet, rame banget depan sekre jadi males liat deh” kataku sambil mengeluarkan kotak pensil dan binder. Tutut mengangguk-angguk. Aku paham sekali pasti dia penasaran Tio diterima atau tidak.

Tidak lama setelah itu dosen pengampu datang dengan tas ransel yang entah isinya apa yang jelas terlihat menggembung sekali, berjalan dengan seringainya. Kelas tiba-tiba menjadi senyap. Hening. Tak bersuara. Bapak dosen yang satu ini memang terkenal killer. Apa lagi dia bukan dosen dari jurusanku tapi dari jurusan sebelah. Agroteknologi.

***

Hari ini adalah hari pelantikan anggota dan pengurus baru LPM Pramorlia. Semua anggota dan pengurus telah bersiap-siap dengan jas almamater, kemeja putih, dan bawahan hitam. Kami bersiap menjadi pengurus dan anggota resmi kuli tinta FP UNS. Mendedikasikan diri pada fakultas untuk membantu menyampaikan informasi dan mengawasi keberjalanannya sistem belajar mengajar yang berlangsung di FP UNS. Bersiap dengan tinta, buku catatan, dan kamera kami untuk merekam keberjalanan FP UNS periode ini. Mungkin bukan hanya fakultas tapi bahkan universitas.

Kami pers yang masih menggenggam idealisme dan independentitas sebagai pers mahasiswa yang bebas bersuara. Mengkritisi ini itu sesuai hak dan kode etik yang kami miliki. Bukan pers yang telah termakan kekuasaan, bagai kerbau yang di cucuk hidungnya menuruti apa yang diperintahkan oleh tuannya. Menulis apa yang diperintahkan tuannya demi suara ataupun pencitraan dan tidak menulis kenyataan yang dapat menjatuhkan tuannya. Bukan. Itu bukan kami.

Satu persatu pimpinan bidang telah dipanggil ke depan untuk diperkenalkan pada anggota dan pengurus yang lain, ataupun tamu undangan sebagai pemegang amanah tertinggi di bidangnya dan yang paling bertanggung jawab atas apapun yang terjadi dalam bidangnya. Setelah Tutut dan Nurma dipanggil, giliranku. Aku sedikit gugup harus berada dihadapan orang sebanyak ini dimana semua mata tersebut hanya tertuju padaku. Aku menghela nafas panjang dan bergegas berjalan ke depan setelah nama dan amanahku disebutkan. Aku melemparkan senyum pada hadirin seraya mereka bertepuk tangan untukku. Aku menyapukan pandangan kepada seluruh hadirin. Dan tatapanku terhenti sesaat pada seorang berambut cepak dan berhidung mancung dengan kemeja putih yang dibungkus jas almamater berwarna biru awan. Ekspresinya datar. Dan aku segera mengalihkan pandanganku, berjalan lurus berdiri di samping Nurma.

Percaya atau tidak, tanpa campur tanganku, Dhede kini berada di bawahku. Iya benar dia menjadi staffku. Apa yang aku rasakan? Tidak dapat aku pungkiri aku bahagia dapat memandangnya sering-sering sekarang. Tapi aku juga kesal, sering melihatnya akan membuatku goyah lagi. Jatuh cinta lagi. Dan sakit hati lagi. Bagaimna mungkin aku mengijinkan itu terulang kembali. Entahlah.

Setelah berbagai prosesi pelantikan yang lumayan melelahkan akhirnya selesai juga. Tinggal satu agenda lagi yaitu foto perbidang. Mendengar itu hatiku tidak dapat diam. Bergemuruh. Berdetak lebih cepat. Bayangkan bagaimana aku dapat berdiri berada disampingnya saat seperti ini. Ya walaupun bukan hanya kami berdua tapi aku benar-benar tidak habis pikir. Apa pentingnya ini. Sial!

“ya sekarang bidang perusahaan. Ayo Tata dan kawan-kawan” teriak MC memekakan telinga. Aku hanya bersungut-sungut dan mengumpat dalam hati dengan ini sambil berjalan menuju ke depan lagi. Aku mengambil posisi berjauhan dengan Dhede. Bukan apa-apa takut detak jantungku terdengar jelas olehnya. Ok ini terlalu berlebihan.

“1 2 3 cekrek” terdengar fotografer yang juga teman kami sendiri bersuara.

“move” perintahnya. Aku tidak berpindah hanya berganti gaya dari tersenyum kemudian ditambah dua jari tangan kanan membentuk huruf v yang aku letakkan dekat pipiku.

“move” perintahnya lagi. Aku hanya berdiam diri, sedetik sebelum foto diambil baru aku menyadari siapa yang tepat berada disebelahku. Clap. Kilat kamera mengambil gambarku yang sedang menatap orang yang berada disampingku. Hatiku berdesir.

“gue belum siap” teriakku kesal.

“kurang cepet sih lu” teriak balik temanku. Aku mengusap wajahku kesal.

“udah, ganti redaksi” temanku berkoar kembali. Aku dan staff-staffku berjalan meninggalkan temanku yang menjadi fotografer dadakan.

“bukannya lu udah pensiun?” tanya pelan seseorang yang tiba-tiba mensejajari langkahku. Aku menatapanya. Kesal? Jelas!. Dia meremehkan aku!.

“apa maksud lu?” tanyaku kesal.

“setauku pas di depot makan kemarin kemarin lu bilang udah pensiun jadi secret admirer gue kan? Kenapa tadi masih liatin gue?” tanyanya menyeringai. Aku semakin kesal dengan pertanyaannya ini. Dia sengaja membuatku kesal atau apa?

“nggak usah ke PD an deh” kataku kesal. Dia hanya mengangkat bahunya tersenyum setan dan melangkah duluan. Gigiku gemeletuk menahan kesal yang teramat. Dia tiba-tiba berhenti. Berbalik arah.

“gue udah nglindungi wajah lu dari rasa malu kemarin di depot makan, dan lu belum kasih gue imbalan yang pantas” bisiknya pelan. Air mataku seketika menyeruak ingin keluar dari mataku. Aku menahannya dalam-dalam. Mengepalkan tanganku disamping badanku. Menyatukan gigi seperti sedang menggigit daging teralot. Aku berusaha menahan mataku agar tidak basah. Namun aku sadar sekarang aku sedang berkaca-kaca. Dia hanya tersenyum kemudian berlalu. Aku segera mencari tempat duduk paling nyaman sebelum air mataku benar-benar jatuh sekarang. Aku cepat-cepat mengusap mataku yang mulai basah. Aku malu. Aku benar-benar malu sekarang.

***

Pagi, siang, sore, malam. Tidak akan bedanya jika aku terus berada di kamar kosku. Cahaya matahari tidak mampu menembus kamar kosku hingga kamarku terlihatterang tanpa cahaya lampu. Aku menggeliat setelah memeriksa jam melalui ponselku. Masih sangat pagi. Pukul 5 pagi hari. Aku ingin segera bangun dan menunaikan shalat subuh tapi mataku benar-benar tidak dapat diajak kompromi, hingga akhirnya aku bangun dengan sangat tergesa-gesa setelah jam ponselku menunjukkan pukul 5.30. Aku terperanjat segera menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dengan masih terkantuk-kantuk aku mulai bergumam melantunkan bacaan shalat. Banyak doa yang mengalir dari mulutku setelah salat selesai. Untuk diriku sendiri, ibuku, bapakku, saudaraku, semuanya. Mengalir sesuai apa yang dipikirkan otakku, apa yang diinginkan hatiku. Kebahagiaan, keselamatan, perlindungan, rejeki, juga jodoh, semuanya. Aku mengadukannya. Semuanya.

Aku berniat untuk tidur kembali disamping karena masih mengantuk juga karena aku kuliah agak siangan. Tapi semua itu urung aku lakukan setelah membaca sms dari pimpinan umumku. Dia menyuruhku segera mengurusi pencairan dana pers yang terkenal rumit sebelum segala kegiatan lembagaku berjalan. Dia menyuruhku segera mengurusi legalitas lembaga, anggaran dana, anggaran rumah tangga, rekomendasi pembina, bla-bla-bla. Aku mulai pusing harus memulainya darimana. Ini yang membuatku tidak dapat tidur lagi. Sial!

“ masuk jam brapa ta?” tanya mbak Diah sedikit menguak pintu kamarku.

“sembilan, kenapa?” tanyaku balik sambil terduduk di ranjang.

“ya udah, gue mandi duluan deh” sambungnya lagi kemudian berlalu.

Aku berbaring lagi. Tidak ada yang aku lakukan. Aku hanya berbaring. Hanya saja tanganku dengan cekatan mengetik sms untuk sekretaris umum (baca: Tutut) agar menyiapkansegala keperluan administrasi pencairan dana. Otomatis saja aku kena semprot.

Tutut: Tata!!! >.< pertma, lu nggak punya jam? Ini jam brapa? Jam 6 pagii! Gue masih ngantuk, kedua jangan sekali-kali lu ulangin ini ok. Jangan minta sesuatu secara mendadak. Huh. Ribet harus ngumpulin ini itu.

Tata: iya2 tut, sory deh sory, abis mas Idan tu, kasih tau nya juga nddak banget. Ya udah deh tapi segera aja ya. Gue butuh banget ni. Sebelum gue kena semprot dan krisis moneter hehe

Tutut: iya cerewet!!

Hari ini rapat bidang perusahaan perdana, aku sengaja mengumpulkan ke 6 staffku hari ini untuk mensosialisasikan tugas apa yang masing-masing mereka emban. Melelahkan ternyata menjadi seorang pimpinan, perbedaan karakter masing-masing orang benar-benar memusingkanku. Belum lagi menentukan jadwal pertemuan ini, yang satu bisa yang lainnya nggak bisa. Benar-benar menjengkelkan. Belum lagi yang banyak alasan tidak bisa ikut, ada keperluan ini lah itu lah, keperluan keluargalah, emang mereka udah pada berkeluarga apa?, sakitlah. Dan alasan-alasan lainnya. Tanpa banyak bicara setelah mereka berkumpul aku segera memulai rapat.

Pertama kami memulai dengan perkenalan terlebih dahulu karena aku yakin mereka belum saling mengenal satu sama lain. Aku tersenyum sopan antusias mendengar mereka bercakap nama, jurusan, dan motivasi ikut pramorlia. Hingga dia mulai memperkenalkan diri. Aku mengalihkan pandangan. Khusus dia aku berpura-pura mencatat sesuatu dalam buku catatanku. Terlihat seperti sesuatu yang penting.

“ok, assalamualaykum wr wb, perkenalkan nama saya Dewangga Adyana, biasa dipanggil Dhede, peternakan 2012, motivasi ikut pramorlia adalah..” dia menggantungkan kalimatnya.

“yang pertama karena aku suka nulis, dan yang kedua..” dia menggantungkan lagi kalimatnya. Aku mulai berdebar entah karena apa. Tapi firasatku mengatakan setelah ini ia akan mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan.

“karena aku pingin tahu seperti apa sebenarnya secret admirerku” katanya santai sambil tersenyum santai pula. Aku terperanjat, menatapnya tajam, hatiku berdebar-debar takut ia akan mengatakan akulah secret admirer yang dia maksud. Semua staffku terlihat kaget penuh tatapan menyelidik padanya. Aku terpaku tidak dapat mengatakan apa-apa. Seharusnya sebagai komando jalannya perkenalan ini setidaknya atau normalnya aku berkata “wow, siapa hayo?” atau “ceileh Dhede” dan kata-kata lain yang wajar orang katakan saat seperti ini tanpa mengetahui duduk permasalahannya.

Gila..

bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun