Bunga Anggrek, Desember, dan Kamu
Sudah lama kami bersama sudah hampir setengah tahun sejak ia mengungkapkan perasaannya padaku. Sebatas mengungkapkan saja tanpa ada komitmen yang dapat mengikat kami berdua menjadi sepasang kekasih. Jujur, cukup lama aku menunggunya untuk mengajakku berkomitmen. Mana mungkin aku yang harus mengajaknya terlebih dulu. Aku pihak yang seharusnya di- bukan me-. Itu prinsipku sebagai perempuan.
“selamat pagi anggrekku sayang” sapanya melalui pesan singkat setiap pagi. Hal-hal seperti inilah yang membuatku bersemangat melakukan aktivitas apapun. Aku menyayanginya. Sungguh.
“selamat pagi juga Can” itu adalah balasan yang sama yang aku kirim setiap pagi. Setelah itu kami akan sedikit bercerita tentang rencana kegiatan yang akan kami lakukan pada hari tersebut.
Semua orang mengira kami adalah sepasang kekasih, mereka mengira dan kami tidak pernah meng-iya-kan ataupun mengelaknya, karena kami (terutama aku) tidak pernah mengerti seperti apa sebenarnya hubungan kami. Yang aku tahu dia adalah milikku tapi juga bukan milikku sepenuhnya. Entahlah. Aku selalu pusing saat memikirkan hal seperti itu.
“mau berangkat bareng?” tanyanya.
“aku sama Tian Acan, kamu hati-hati ya brangkatnya J” jawabku menolak tawarannya.
“:* selalu begitu” balasnya. Aku hanya bisa tertawa cekikikan setelah membuatnya kecewa seperti itu. Aku memang jarang berangkat bersamanya. Bukan karena apa-apa, hanya saja aku tidak ingin jauh dari sahabat-sahabatku, walaupun sebenarnya aku ingin seperti pasangan yang lain berangkat dan pulang kuliah bersama. Tunggu, aku lupa kami belum resmi menjadi pasangan. Ya baiklah sewajarnya saja.
***
Kelaparan mulai melanda tatkala adzan duhur mulai berkumandang. Kami (aku dan ketiga sahabatku Tian, Caca, dan Selen) sedang menunggu makanan yang telah kami pesan saat tepat dihadapanku duduk seorang cowok dengan mangkok dan gelas berisi es. Hampir meloncat kaget saat mengetahui siapa cowok yang berada tepat dihadapanku ini. Aku hampir bisa melarikan diri dari tempat dudukku kalau saja tangan kanan Caca tidak menahan tasku dengan menariknya.
“duduk aja” perintahnya tanpa menatapku. Aku menggeleng takut. Caca melotot kearahku. Tidak ingin menjadi pusat perhatian aku segera duduk kembali.
“Anggrek” sapa Satya yang duduk disamping Theo, cowok yang aku maksud tadi. Theo tampak mengangkat kepalanya setelah mendengar namaku disebut.
“hai Sat” jawabku lirih sambil menunduk. Bodoh. Hanya itu kata-kata yang dapat aku umpatkan pada diriku sendiri. Theo memasang wajah biasa saja saat tidak sengaja mata kami bertemu. Bodoh bodoh, jelas jelas dia tidak bereaksi sama sekali, kenapa harus heboh dengan melarikan diri.
Kami hanya saling diam saat menikmati makanan kami masing-masing. Shit! Aku bahkan tidak dapat merasakan apa-apa pada makananku tertutup gemuruh di hatiku apalagi menikmatinya. Harusnya aku pergi saja dengan Hasan tadi. Pasti aku terselamatkan dari bertemu Theo ini. Satya dan Theo beranjak pergi setelah menyelesaikan makannya tentu saja dengan salam dari Satya, Theo? Entahlah. Aku sudah berjanji tidak akan mempedulikan dia lagi.
“lu tu, ah, malu-maluian banget deh, yang udah ya udah, gak perlu kaya gitu juga kali. Dia udah sama cewek lain kan, lu juga udah sama Hasan. Kenapa sih kudu kaya gitu, gak penting tau gak usaha melarikan diri lu tadi” cerocos Caca segera setelah mereka pergi. Aku hanya diam. Aku tau sikapku tadi bodoh sekali. Selen dan Tian hanya manggut manggut mendukung omelan Caca.
“lu masih ada rasa sama Theo?” tanya Selen polos. Aku membelalak.
“mana bisa, ya gak lah” elakku.
“gak bohong maksud lu Nggrek?” timpal Tian. Aku memukul kepalanya pelan.
“gue tu masih malu gara-gara gue ditolak sama dia dulu, jadi gue gak pernah punya muka ngadepin dia..gue udah gak punya muka di depan dia tahu lu..ah puas kan kalian sekarang..shit” umpatku pada diri sendiri. Mereka justru menertawakanku dengan puas.
“hahaha, ngaku juga lu kalo lu pernah nembak dia” goda Tian.
“eh, siapa yang nembak dia? Gue hanya mengungkapkan bukan nembak ya, bedaaaaa, bedaa jauhhh” teriakku kesal. Benar, memang aku pernah mengungkapkan perasaan ku padanya, tapi sungguh aku tidak pernah memintanya untuk menjadi kekasihku, aku hanya mengaku saja bahwa aku lah secret admirenya dulu, tidak lebih. Aku berani bersumpah atas ini.
“haha iyes iyes, jangan marah-marah dong” kata Tian santai.
Tiba-tiba rasa dingin mendera pipi kiriku. Seperti ada yang menempelkan es di pipiku. Benarlah memang ada yang menempelkan gelas berisi es teh manis. Kelakuan siapa lagi kalau bukan Hasan. Aku segera menangkap tangannya dan menyerang bagain tubuh tersensitifnya. Pinggang. Dia menggeliat memohon ampun dengan menjaga gelas yang ada di tangannya agar es yang di dalamnya tidak tumpah.
“ampun ampun ampun yang..eh salah nggrek..ampun” teriaknya saat aku sibuk menyerang pinggangnya. Aku tertawa puas melihatnya kegelian seperti ini. Aku paling suka menggodanya seperti ini, walaupun dia cowok tapi dia tergolong cowok yang sensitif ketika pingganya disentuh atau tersentuh orang lain.
“ckckckck, shit banget ni anak berdua malah mesra-mesraan di depan kita” gumam Tian.
Aku menghentikan seranganku saat ia benar-benar telah meminta ampun. Tuhan, lihatlah dia begitu menggemaskan saat meminta ampun.
“Nggrek lu mau ikut gue balik kos atau disini sama Hasan?” tanya Tian. Aku menatap Hasan sebentar, kemudian Hasan memegang lengan kiriku.
“gue pinjem sebentar ya kakak kakak yang manis” katanya meminta ijin untuk menahanku bersamanya kepada sahabat-sahabatku. Tian, selen, dan Caca hanya nyengir kuda mendengar rayuan gombal Hasan.
“ok, kembaliin ke kita jangan sampai lecet ya, adik kecil item hahaha” goda Selen. Aku menahan tawaku agar tidak meledak. Jujur memang Hasan tergolong cowok berkulit gelap alias hitam di antara teman-temannya. Hasan memonyongkan bibirnya.
“lu bilang gue item??” tanyanya garang. Sahabat-sahabatku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“emang gue item sih, hehe, udah sana gue mau berduaan dulu” katanya mengusir ke-3 sahabatku. Kemudian mereka berlalu menuju parkiran untuk balik dlu ke kos Tian sebelum kelas selanjutnya dimulai. Lumayan bisa tidur sebentar. Apalagi buat Tian tu yang kerjaannya ngebo mulu.
“nih buat kamu, anggrek” kata Hasan sambil menyodorkan bunga anggrek bulan putih kesukaanku. Aku menerimanya dengan senyum lebar. Salah satu yang selalu aku nantikan setiap hari selama 6 bulan terakhir ini. Anggrek bulan putih dari Hasan. Entah sudah berapa banyak tangkai anggrek bulan yang ada di kamar kosku sekarang.
“Trimaksih Acan sayang” kataku hendak mencium pipinya, namun aku tarik kembali karena sadar masih berada di kampus.
“lah kenapa nggak jadi ah..gak asik” gerutunya. Tuhan lihatlah sekali lagi, lucu kan dia?. Kemudian aku menguncupkan jari-jari tangan kananku dan menempelkannya ke bibirku kemudian dipipinya.
“trimakasih” katanya sambil mengulum senyum termanis yang pernah aku lihat.
***
Liburan ke Bali minggu lalu benar-benar mengacaukan jadwal kuliah yang seharusnya berakhir minggu depan. Tidak pelak tugas-tugas jadi bejibun di ujung semester yang katanya paling berat dalam kuliah ini, semester 5. Setiap hari ada deadline yang harus segera diselesaikan. Tugas, UKD take home, laporan praktikum, presentasi, ujian wawancara. Hah bisa stress kalau tidak bisa sedikit santai. Aku memang termasuk deadliner walaupun belum pada taraf sejati. Jadi ya lumayan sibuk akhir akhir minggu ini. Beberapa hari ini paling tidak aku pulang kos setelah jam 9 malam. Dahsyat sekali. Dan ini berhasil membuat Hasan marah-marah karena hanya sedikit waktu yang aku luangkan untuk bertemu dengannya. Bahkan hampir tidak ada.
“lu, gak mau buka HP lu dulu nggrek?” tanya Tian saat aku sedang fokus menghitung investasi yang harus kami tanam untuk membangun pabrik kami (ini salah satu tugas kuliah perancangan pabrik). Aku terlalu fokus hingga mengabaikan Tian. Tian terlihat geram karena aku mengabaikannya.
“Anggrek, lu liat dulu deh HP lu, cowok lu rewel banget ni pesannya gak lu bales” teriak Tian sambil menarik bahuku.
“aduh yan, apaan sih, gak usah pake teriak teriak dong” bentakku kesal.
“ya lu liat dulu geh, nih dia sms in gue terus ni” kata Tian sambil memperlihatkan sms Hasan.
Kesal akhirnya aku membuka HPku
“yang, tadi aku dengar percakapan kalian tentang Theo”
“yang?”
“yang, kamu tidur atau ngerjain tugas sih sebenernya?”
“ih, sumpah Anggrek lu dimana sih?” seenggaknya lu bales lah 1 pesan gue!”
itu adalah beberapa pesan yang ia kirimkan untukku. Kalau dia sudah menggunakan lu gue lu gue, berarti dia sudah marah tingkat dewa.
“iya-iya maaf Acan, aku masih nugas, banyak banget, maaf ya deadlinennya besok sayang :*” balasku dengan emoticon cium agar dia tidak marah lagi (aku harap ini manjur). Setelah membalasnya aku bejibaku kembali dengan investasi. Mau pecah rasanya kepalaku menghitung uang-uang tidak berwujud ini.
“HP lu nyala” kata Caca memperingatkan. Aku menengoknya sebentar. Hasan memanggil.
Ash. Dengan terpaksa aku mengangkatnya.
“apa?” tanyaku sinis. Kesal juga diganggu saat serius mengerjakan tugas.
“lah kenapa sinis gitu, gue lah yang harusnya marah pesan gue gak lu bales” baliknya.
“ya gue kan udah ijin, gue lagi sibuk, ngerti dikit dong, udah gede juga” kataku meluncur begitu saja dengan nada emosi.
“sesibuk apapun lu, lu harusnya bisa lah sekadar bales 1 sms gue” tekannya. Aku hanya berdehem malas berdebat.
“lu belum sepenuhnya sayang sama gue ya?” aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya.
“maksudnya?” tanyaku bingung.
“kamu masih suka sama Theo?” tanyanya lagi. Darimana dia tahu tentang Theo? Aku bahkan tidak pernah sekalipun menyebut namanya didepan Hasan.
“kamu ngomong apa sih aku gak ngerti, Theo siapa maksud kamu?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“kamu bohong sekarang, pura-pura nggak tahu. Aku tadi dengar kamu bicara tentang Theo sama Caca, Tian, sama Selen” Deg. Mampus, jangan-jangan dia juga tahu kalau aku yang mengungkapkan perasaan terlebih dahulu. Ya Tuhan. Aku harus jawab apa?
“owh” jawabku singkat menutupi kegugupanku.
“aku harap kamu bisa jujur sama aku, tapi kamu bohong” katanya dengan tawa sinis diseberang sana. Aku terdiam tidak dapat mengatakan apapun.
“sekarang kamu diem, berati benerkan? Nggak sepenuhnya hati kamu buat aku?” tanyanya sekali lagi. Aku ingin berucap “aku cuma sayang sama kamu Hasan”. Tapi kenapa kata-kata itu tertahan ditenggorokan. Ada perasaan yang melarangku mengatakan itu. Maafkan aku Hasan, maafkan aku. Dulu aku terlalu menyayanginya hingga setelah aku buang pun masih ada sisa tempat untuknya di hatiku.
“aku” kataku menggantung.
“jangan katakan apa-apa lagi, aku tidak mau kamu menyakiti hatiku dengan mengatakan kamu memang masih menyayanginya. Aku mohon jangan katakan apapun” pintanya dengan suara parau.
“ma..”belum sempat aku mengatakan maaf Hasan telah bicara kembali.
“termasuk permintaan maaf, tolong jangan katakan. Aku tutup” tut tut tut. Aku masih terpaku mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Bahkan aku belum mengatakan apapun untuk membela diri. Aku terdiam cukup lama hingga pecahlah tangisku.
“huaaaa, gue tu sayang sama lu begooo, tapi kenapa lu gak kasih kesempatan buat gue ngomong, gue bukannya gak jujur, tapi gue emang bener bener pingen ngubur rasa itu dalam-dalam makanya gue gak pernah cerita Theo sama lu, Hasan Ali Hamdan, lu bego banget sih, bego banget” teriakku tidak mau menahannya lagi. Seketika ketiga sahabatku berhambur menghampiriku yang sedang berada di balkon.
“ssstt..udah udah Nggrek, jangan teriak teriak gitu dong, ntar dikira ada yang mati lagi” celoteh Selen.
“Husss, Sel ngomong lu dijaga dong” bentak Tian. Selen hanya cengengesan menyadari kesalahannya.
“harusnya tadi gue gak ketemu Theo Ca, biar Hasan gak denger apapun tentang Theo” ungkapku masih berderai airmata.
“iya, gue tau, udah lu tenang dulu, nanti kita bantuin deh biar bisa baikan sama si item” jawab Caca.
“Caca, elu tu ya. Ihh” kataku sebal karena dia selalu mengatai Hasan “item”.
“lah emang Hasan item kan ya?” jawab Caca dengan tawanya.
“gue serius Ca!” teriakku.
“iya iya, kita juga serius, ntar kita bantu, nanti kita bujuk item deh ya?” jawab Caca masih terus menyebut Hasan “item”. Aku memukul kepalanya pelan namun airmataku mulai berhenti berganti dengan seulas senyum.
“ya walaupun item, lu sayang banget kok ya sama doi” timpal Selen. Aku hanya melotot ke arah mereka bertiga.
“udah, terusin investasi lu” perintah Tian.
“Tian lu tega banget sih sama gue, lagi gegana gini disuruh ngerjain tugas, lu aja sana” perintahku pada Tian.
“apaaan tu gegana?” tanyanya polos.
“gelisah galau merana” jawabku singkat. Seketika tawa mereka pecah melihat gayaku mengucapkan itu. Mirip princess Syahrini katanya. Idih.
***
Aku sedang asik bercengkrama dengan teman-temanku saat dengan tergesa-gesa Olga mengahmpiriku. Dia berusaha menghirup udara sebanyak mungkin agar dapat mengatakan sesuatu kepadaku secara jelas. Aku memandanginya dengan tatapan bingung.
“lu kudu mesti sekarang juga ke rumah sakit Dr.Oen” katanya terengah-engah.
“lah?” tanyaku.
“dengerin gue dulu, Hasan, dia kecelakaan tadi pagi pas mau berangkat kuliah” jelasnya. Seketika sendi-sendi tulangku menjadi lemas, aku tahu aku akan pingsan karena mataku mulai berkunang-kunang, tapi aku menahannya. Jangan sampai itu terjadi.
“lu ikut gue sekarang, gue anter” katanya sambil menarikku, aku bergegas mengikuti langkahnya.
“gue ikut” teriak Tian segera mengekor dibelakangku.
Jarak kampus dan rumah sakit dimana Hasan dirawat memang tidak terlalu jauh sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke rumah sakit itu. Aku berlari mengikuti Olga yang telah berlari terlebih dulu. Sampai di depan sebuah kamar dengan korden putih, aku tahu Hasan sedang terbaring lemas disana.
“bapak” sapaku pada papa Hasan. Aku memang sudah dekat dengan keluarga Hasan. Sayang sekali Hasan sudah kehilangan ibunya sejak ia lahir hingga aku tidak dapat menatap secara langsung orang yang telah sangat berjasa melahirkan Hasan untukku.
“Anggrek” jawab papa hasan, suaranya masih bergetar karena khawatir. Papa Hasan masih menggunakan seragam dinas polisinya berarti beliau langsung dari kantor.
“Hasan nggak pa-pa kan pak?” tanyaku gusar. Aku ingin pertanyaanku ini segera di jawab. Beliau mengangguk. Aku seperti dapat menghirup oksigen lagi setelah sepersekian detik tidak dapat bernafas.
“Anggrek boleh masuk pak?” tanyaku meminta ijin. Papa Hasan mengangguk. Aku segera memasuki ruangan. Hasan terlihat sangat kesakitan dengan beberapa macam alat yang dimasukkan ke dalam tubuhnya walaupun dia tertidur sekarang. Ada banyak perban yang melekat ditubuhnya sepertinya bahu yang paling parah karena perbannya paling besar. Aku mendekatinya dan duduk ditepat disamping ranjangnya. Ku raih telapak tangan kanannya yang tidak terhubung dengan infus. Ku cium beberapa kali.
“terimakasih sudah baik-baik sayang” kataku. Aku menyibakkan rambut yang menutupi dahinya dan mengecupnya sesaat. Aku ingin mengecupnya sangat lama kalau diijinkan. Sepertinya kecupanku berhasil membuatnya terbangun.
“ulangi sekali lagi” katanya tanpa membuka mata. Malu sekali rasanya, kalau tidak sedang sakit meungkin sudah aku serang pinggangnya sekarang.
“apaan sih, cari kesempatan banget” kataku pura-pura merajuk.
“yang cari kesempatan kan kamu yang, braninya cium kalau aku lagi tidur” godanya kali ini sudah dengan menatapku. Aku tahu sekarang wajahku memerah seperti tomat saking malunya.
“aku minta maaf soal semalam” kataku pelan sambil menggenggam tangannya. Dia hanya tersenyum.
“kemarin aku gak kasih kesempatan kamu buat ngomong ya? Haha” tanyanya. Aku mengangguk.
“ya udah sekarang ngomong, sekalian ceritain perasaan kamu ke Theo ya?” perintahnnya pelan sambil mengecup tanganku. Aku menggeleng.
“lah?” tanyanya bingung.
“aku udah janji sama diriku sendiri kalau aku mau buang jauh-jauh perasaanku sama Theo, apapun tentang Theo, aku Cuma mau kamu” kataku pelan. Hasan menyunggingkan senyumnya. Bangga sekali dia.
“masa?” godanya. Aku hampir memukul perutnya tapi aku ingat dia sedang sakit jadi aku urungkan.
“haha, gak boleh ada kekerasan saat ini sayang, kan aku lagi sakit wekk” goda Hasan merasa menang.
“ya..kali ini aja pas kamu lagi sakit” kataku.
“aku pingin meluk kamu yang, tapi sakit buat bangun, rasanya hancur semua badanku hadududuh” manja sekali dia ini tapi aku langsung memeluknya tanpa sadar karena entah mengapa pertengkaran semalam membuatku jadi sangat merindukanya.
“yang yang, jangan keras keras, sakit badanya” bisiknya pelan, aku tertawa sambil merenggangkan pelukanku.
“aku lupa kamu sakit, maaf ya sayang” kataku sambil melepaskan pelukan.
“hmmm, maafin gak ya?” godanya.
“gak dimaafin juga gak pa-pa wekk?” godaku balik
“dimaafin tapi lakuin sesuatu buat aku” katanya. Aku berpikir bingung.
“gak susah kok, gampang aja..sini-sini lebih deket, aku mau mandangin wajah kamu lebih deket” katanya sambil menarik lenganku agar lebih turun. Karena masih kebingungan aku menurut saja. Dan kini aku dapat merasakan nafas hangatnya menerpa wajahku. Kami bertatapan sangat dalam namun tidak dapat aku pungkiri sesekali aku menatap bibirnya yang indah itu. Jantungku berdesir, bulu kudukku merinding, dan badanku tiba-tiba menjadi panas. Jarak wajah kami mungkin tinggal 1 cm sekarang, bahkan hidungnya yang mancung hampir menyentuh kulit wajahku. Hatiku semakin bergemuruh, beberapa kali aku berusaha menelan ludah menahan rasa yang tidak karu-karuan di dadaku. Entah naluri atau apa tiba-tiba saja aku memejamkan mataku. Dan seketika pula seperti ada sesuatu yang menggores mataku. Duh sakit. Aku langsung membuka mata.
“cie, ada yang ngira mau dicium hahaha” goda Hasan yang telah berhasil mempermainkan aku. Hah. Sebal sekali, ingin sekali aku menamparnya sekarang. Aku jadi sangat malu.
“kamu tu super nyebelin, dalam keadaan sakit masih aja nyebelin” gerutuku karena malu.
“iya-iya maaf sayangku, ini buat kamu, Anggrek” katanya sambil menyerahkan sebuket bunga anggrek.
“lah? Anggrek darimana?” tanyaku bingung. Masa iya dalam keadaan kaya gini dia sempet beli anggrek.
“tadi aku pesen papa buat bawain aku anggrek” jawabnya santai.
“kamu tu ya, sakit juga, masih mikirin yang gak penting kaya gini” kataku sebal. Kadang-kadang dia ini memang terlalu drama. Walaupun aku suka dengan sikapnya yang manis ini, tapi kasihan juga melihatnya seperti ini.
“siapa bilang ngaak penting? Mana mau lah aku melewatkan 1 hari tanpa anggrek, bunga anggrek, dan kamu anggrek” katanya tulus. Hah bisa terbang ke atas awan aku saat dia mengatakan ini. Aku menerima buket bunganya kemudian mengecup pipinya.
“makasih sayang” kataku. Dia mengangguk.
“ngerasa ada yang beda nggak?” tanyanya lagi. Aku berpikir lalu mengangguk.
“apa?” sambungnya.
“kenapa bucket? Biasanya kan kamu Cuma kasih setangkai?” tanyaku bingung.
“aku yakin kamu ingat ini tanggal berapa” katanya yakin. Jelas aku ingat ini tanggal 30 Desember. Tanggal dimana 1 tahun yang lalu aku harus kehilangan ayahku. Ya itu tanggal ayahku meninggal. Tanggal kelam bagiku.
“30 desember” jawabku singkat.
“ya benar ini tanggal 30 desember, aku tau apa yang terjadi 1 tahun yang lalu pada tanggal ini?” katanya lagi. Aku diam. Dia beruasah duduk dan aku membantunya.
“aku ingin, tanggal ini menjadi tanggal yang indah buat kamu, bukan tanggal yang kelam. Mungkin selama ini kamu sebel banget sama aku, karena aku tidak segera mengajakmu berkomitmen, haha aku sering mendengarnya dari Caca, Selen, dan Tian walaupun tidak pernah mendengar langsung dari kamu. aku gak mau ada tanggal yang kamu benci, aku gak mau ada hari yang kamu benci, aku mau setiap hari kamu bisa tertawa, tertawa bersamaku khususnya, aku mau tanggal ini, hari ini, kamu jadi pacarku, bagian dariku, jadi hari yang indah buat kita, menutup tanggal dan hari yang kamu benci jadi hari bahagia untuk kita, kamu tau Tuhan menciptakan hari bukan untuk di benci umatnya, tapi hari agar umantnya dapat mengukir kebahagiaan, tersenyum bahagia, untuk itu kenapa aku kasih sesuatu yang beda buat kamu, karena hari ini akan jadi hari spesial buat kita, sebucket bunga anggrek buat kamu” jelasnya panjang lebar. Aku hampir menangis mendengarnya. Kata-kata Hasan berhasil membuatku berkaca-kaca. Seketika aku memeluknya, tak dapat kulukiskan kebahagianku sekarang. Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu selama 6 bulan. Hari ini. Benar kata Hasan aku tidak boleh membenci hari atau tanggal berapapun. Semua hari dan tanggal harus dilalui dengan senyum kebahagiaan.
“yang aku kan udah bilang jangan keras keras sakit” katanya mecoba sedikit meloloskan diri dari rengkuhanku. Namun aku menahannya. Aku menangis didadanya. Aku tidak dapat menahan kebahagian ini lagi. Aku harus mengungkapkannya dengan cara menangis.
“aduh...ya sudahlah..malah gak dijawab pas aku mengajukan komitmen, dasar” godanya. Aku langsung melepaskan pelukanku, mengusap airmataku dan mengangguk dihadapannya. Dia tersenyum lebar dan memelukku, aku membalasnya.
“udah ah, sini-sini aku mau lihat wajah kamu, kalau pelukan gak kliatan wajahnya” aku melepaskan pelukanku begitu pula dengannya. Kali ini tanpa basa basi, belum sempat aku menatap matanya dia langsung mengulum bibirku lembut aku hampir sesak nafas dibuatnya. Hanya sesekali aku membalasnya, terakhir kali ia hanya mengecup tipis ujung bibirku.
“trimakasih anggrekku sayang” dikecupnya bibirku sekali lagi. Aku masih terbengong bengong dengan kejadian yang aku alami saat ini. Aku hampir meloncat kaget saat suara cempreng Caca membelah dunia.
“item, lu nggak pa-pa kan? Ah elu, kaya gitu aja pake acara kecelakaan segala, tapi lu gak pa-pa kan? Bisa mati berdiri temen gue kalau lu kenapa-kenapa Can” cerocos Caca sambil memeriksa keadaan Hasan. Hasan hanya tersenyum kecut.
“apaan sih lu Ca, main pegang pegang pacar orang lagi” kataku sambil mengacungkan tinju pada Caca.
“wah..udah resmi? Ini tanggal berapa sih 30 ya, e cie cie Anggrek, akhirnya lu ditembak juga sama Hasan, setelah nasib lu terlunta-lunta selama 6 bulan, akhirnya lu pacaran juga sama dia hmmm hahaha” cerocos Selen ganti saat memasuki kamar rawat Hasan.
“weh..long last ya lu sama item hahaha” timpal Tian. Aku dan Hasan hanya bisa melotot kesal karena olokan itu.
“loh, emang selama ini kalian gak pacaran ?” tanya Papa Hasan yang ikut masuk. Kami berlima hanya nyengir kuda tidak menjawab pertanyaan papa Hasan.
END
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H