Mohon tunggu...
Novita Wulan Rachmawati
Novita Wulan Rachmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca cerita dari buku atau juga dari internet.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Opini Perdagangan di Malioboro

5 Januari 2025   16:42 Diperbarui: 5 Januari 2025   16:46 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pengunjung/Wisatawan Malioboro Yogyakarta

Opini

"Perdagangan di Sepanjang Jalan Maliobor0, Simbol Ekonomi dan Kebudayaan Kota Yogyakarta"

Oleh: Novita Wulan Rachmawati

Malioboro, salah satu tempat ikonik di Kota Yogyakarta, bukan hanya menjadi destinasi wisata tetapi juga menjadi pusat perdagangan yang dapat mempresentasikan dinamika ekonomi lokal. Jalan sepanjang kurang lebih dua kilometer ini dipenuhi dengan berbagai jenis pedagang, mulai dari pedagang kaki lima hingga kios ataupun toko besar yang menjual barang-barang kkhas daerah seperti batik, kerajinan tangan, hingga kuliner tradisional. Aktivitas perdagangan di Malioboro memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat lokal maupun ekonomi daerah.

Sebagai pusat perdagangan, Malioboro memberikan pengalaman yang unik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Di tempat ini, wisatawan yang berkunjung dapat menemukan berbagai barang khas Kota Yogyakarta dengan harga yang relatif terjangaku. Berbagai produk seperti kain batik, kerajinan dari kayu, perhiasan perak, hingga aksesoris kecil menjadi daya tarik utama wisatawan yang berkunjung. Keberadaan pedagang kaki lima di sepanjang trotoar memberikan nuansa tradisional yang kuat dan juga menciptakan interaksi sosial antara pedagang dan pembeli.

Namun, dinamika perdagangan di Malioboro tidak dapat lepas dari tantangan. Salah satunya yaitu persaingan yang semakin ketat antara perdagangan tradisional dan modern. Adanya toko-toko atau kios besar dan waralaba modern di sekitar Malioboro sering kali dianggap mengancam eksistensi pedagang kecil. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa identitas Malioboro sebagai pusat perdagangan tradisional dapat tergeser oleh komersialisasi.

Selain itu, isu lain yang sering muncul mengenai tata kelola kawasan. Pedagang kaki lima sering menghadapi masalah penataan lokasi dagang. Terutama karena area trotoar yang digunakan harus digunakan juga untuk pejalan kaki. Pemerintah Kota Yogyakarta beberapa kali melakukan upaya penataan ulang untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pedagang dan kenyamanan wisatawan. Misalnya, relokasi pedagang ke lokasi khusus (seperti Teras Malioboro 1 dan 2) serta pengaturan jam operasional. Meski demikian, penataan ini menimbulkan pro dan kontra, baik di kalangan pedagang maupun masyarakat luas.

Perdagangan di Maliobor menjadi salah satu sumber mata pencaharian utama bagi warga lokal. Dengan meningkatnya jumlah wisatawan setiap tahun, peluang ekonomi bagi pedagang semakin terbuka. Akan tetapi, untuk menjaga keberlanjutan kawasan ini sebagai pusat perdagangan tradisional, diperlukan upaya kolaboratif anntara pemerintah, pedagang, dan msyarakat. Mungkin salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengembangan sistem perdagangan berbasis digital. Melalui platform online, pedagang kecil di Malioboro dapat memperluas pasar mereka tanpa harus bergantung sepenuhnya pada pembeli yang datan secara langsung.

Penting bagi pemerintah untuk terus menjaga identitas budaya di Malioboro. Misalnya, dengan mengadakan festival budaya secara rutin yang melibatkan pedagang dan masyarakat lokal. Hal ini tidak hanya dapat memperkuat citra Malioboro sebagai ikon budaya Yogyakarta, tetapi juga dapat meningkatkan daya tarik wisata yang pada akhirnya mendukung aktivitas perdagangan.

Dlam konteks berkelanjutan, Malioboro juga perlu menghadapi tantangan lingkungan. Sampah yang dihasilkan dari aktivitas perdagangan dan wisata menjadi masalah serius yang perlu dan wajib ditangani. Pengelolaan limbah yang baik serta edukasi kepada pedagang dan wisatawan mengenai pentingnya menjaga kebersihan dapat menjadi langkah awal yang signifikan. Menurut saya juga dapat dilakukan seperti pemilahan sampah organik dan nonorganik pada tempat pembuangan sampag dan juga diberi keterangan.

Perdagangan di Malioboro adalah cerminan dari keragaman budaya dan dinamika ekonomi Yogyakarta. Kawasan ini tidak hanya menjadi pusat aktivitas ekonomi, tetapi juga menjadi tempat di mana tradisi dan modernitas bertemu. Dengan pengelolaan yang tepat dan kolaborasi semua pihaK, Malioboro dapat terus berkembang sebagai pusat perdagangan yang inklusif, ramah lingkungan, dan tetap mempertahankan identitas tradisionalnya. Bagaimanapun juga, Mallioboro bukan hanya tentang transaksi dagang, akan tetapi juga tentang pengalaman, cerita, dan kebanggaan masyarakat Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun